Minggu, 10 Januari 2016

“Coba Bedakan Tulisan Pertamamu Dengan Tulisan Yang Sekarang. Apakah sudah mengalami kemajuan?”

“Coba Bedakan Tulisan Pertamamu Dengan Tulisan Yang Sekarang. Apakah sudah mengalami kemajuan?”







Di postingan ini saya akan mengumpulkan naskah novel pertama saya hingga naskah novel sekarang yang sedang saya garap dengan melampirkan satu bab saja.
            Kata para penulis yang sudah sukses di dunia literasi. Kalau kamu ingin tulisanmu bagus, teruslah menulis, teruslah menulis dan teruslah menulis.
            “Semakin kamu banyak berlatih menulis, maka akan semakin cemerlang lah kemampuan kalian menulis.”
            -TERE LIYE-

Bab Pertama novel “Permintaan Hati” (Novel Pertama)

Bagian 1
Tentang “CIVIL”
Cewek bernama lengkap Revie Dinda Pratiwi, yang biasa di panggil Revie ini, dia mempunyai dua orang sahabat. Yang pertama nama sahabatnya adalah Lie, Lie ini orangnya pendiem, dia selalu jadi pendengar curhat yang baik, bahkan temen-temen sekelas kalau ada masalah langsung cerita sama Lie, tapi walaupun banyak temen-temen sekelas yang cerita sama Lie, Lie malah kebalikannya, dia nggak gampang buat curhat sama orang, kalau masalah hati dia selalu kunci rapat-rapat.
            Nah.. kalau yang kedua ini namanya Citra, Revie dan Lie biasa manggil Citra jadi Cicit, hehehehe sadis banget ya nama sebagus Citra jadi Cicit. Citra ini orangnya usil banget, dia ini berisik, kebalikan dari Lie, kalau Lie jadi pendengar curhat yang baik, nah.. kalau Citra ini yang suka nyebarin kemana-mana, alias ember. Tapi, dibalik sifat Citra yang seperti itu, Citra juga kadang bisa bersikap dewasa dan hangat, mengenai hal yang sangat serius dia bisa menjaga rahasia, Citra adalah sosok seorang sahabat yang baik dan bisa menghibur sahabat-sahabatnya ketika sedih.
            Nah kalau tentang Revie, dia itu panggilan deketnya Vie, Revie ini bisa di bilang dia paling cantik diantara Lie dan Citra, selain itu dia adalah cewek lugu, baik dan care sama orang. Revie ini Korean Lover,  apapun yang berbau tentang Korea dia ini suka banget, salah satunya adalah menonton “Drama Korea”, dari “Drama Korea” yang sering dia tonton, sampe-sampe dia jadi suka belajar bahasa Korea dan pengen kuliah jurusan Sastra Korea.
            Revie, Lie dan Citra terlahir dari orangtua yang kaya, jadi mereka bertiga sama sekali tak kekurangan sedikitpun, tapi walaupun mereka anak orang kaya namun mereka itu nggak pernah sombong, orangtua mereka telah mengajarkan kepada mereka untuk tidak sombong dan selalu rendah hati, serta tidak memilih-milih teman sekalipun teman itu terlahir dari keluarga yang tidak berada.
            Mereka itu sahabatan dari SD, mereka udah ngerasa seperti keluarga, dan sampe mereka SMA pun mereka masih tetep sekolah di sekolah yang sama, sampe bikin gelang persahabatan, di gelang itu tertulis “CIVIL”, yang singkatan dari Citra, Revie, dan Lie. Mereka selalu pake gelang persahabatan itu, kecuali kalau ada razia mereka baru ngelepas gelang itu, hehehehe, yang ada entar malah ribet kalau harus berurusan sama guru dan Kepsek, mending cari aman saja.
            Mereka janji nggak bakalan ngilangin gelang persahabatan itu, harus berusaha menjaga gelang itu dengan baik, seperti mereka menjaga persahabatan mereka dengan baik, dan apabila ada salah satu yang ngelepas gelang persahabatan dengan sengaja, berarti dia keluar dari CIVIL, dia udah memutuskan tali persahabatan.
            Walaupun mereka anak orang kaya dan terpandang, tapi kebiasaan mereka bertiga ini emang norak banget, setiap malam minggu, hang-out nya di pasar malam, bukan di mal-mal seperti orang-orang kaya lainnya yang gaya-gayaan dan ngabisin duit buat makan di restoran atau kafe yang mahal, tapi malahan mereka bertiga ini lebih seneng makan di pinggir jalan dari pada di restoran dan kafe di mal-mal, katanya masakannya nggak kalah enaknya sama restoran mahal dan harganya juga murah banget beda jauh sama restoran dan kafe. Nama pasarnya adalah Pasar Mampang, terletak di daerah Mampang, Jakarta Selatan, cukup bawa uang lima puluh ribu rupiah aja, udah bisa beli apa aja, dari mulai baju, accessories, makanan cemilan de-el-el, beda sama di mal-mal besar uang segitu mana cukup.


Prolog “Dominica” (Novel kedua)


AKITA , Januari, 2000...


Di prefektur Akita, tinggalah seorang gadis cantik bernama Dominica, gadis ini
berpostur tubuh tinggi dan berbadan ramping. Bermata bulat dan berkulit putih.
Prefektur¹ Akita atau Akita-ken terletak di wilayah Tohuku, bagian utara di Jepang,
prefektur ini memiliki musim dingin yang sangat dingin, Akita memiliki festival istana
es yang diselenggarakan akhir musim dingin sekitar akhir bulan Februari.
            Di dalam rumahnya terjadi sebuah kegaduhan, terdengar suara tembakan yang
memekakan telinga. Dominica dan ibunya terlihat panik dan ketakutan. Ia pun sontak
menghambur ke pelukan ibunya. Namun, ibunya langsung melepaskan pelukan dengan
putrinya dan menyuruh putrinya untuk segera pergi meninggalkan prefektur Akita.
Bersamaan dengan itu terdengar sirine ambulans dan mobil polisi. Dengan berat hati,
Dominica menyeret langkahnya dengan setengah berlari melewati pintu belakang.
Namun, Dominica terhenti saat ia menabrak seseorang.
            “Doumo Sumimasen²!” ucap Dominica menggunakan aksen Jepang yang kental
sambil menundukkan kepalanya berulang-ulang. Sedetik kemudian ia bergegas berlalu
dari hadapannya.
Pria itu hanya mematung dengan tatapan tajam memperhatikan kepergiannya.
Sekilas, ia seperti mengenal bola mata itu. Hanya saja ia langsung menepisnya.


Bandara Soekarno Hatta, Januari, 2000


Tergurat jelas raut kebingungan di wajahnya, Apa yang harus aku lakukan sekarang?
Desisnya lirih dalam hati. Kejadian waktu itu mengingatkannya pada ibu yang
menyuruhnya pergi ke Indonesia. Dan sampailah ia di Bandara Soekarno Hatta.
            “Oh ya?!”
            “Iya..dengar-dengar universitasnya bagus.”
            “Mudah-mudahan deh kita nggak salah pilih kampus.”
            Samar-samar terdengar dua wanita yang tengah berbincang.
            “Maaf, tadi aku dengar kalian mau kuliah, ya?” tanya Dominica menghampiri.
            “Iya..kita mau kuliah di Bandung, ngambil jurusan Sastra Indonesia,” jawab
perempuan berambut ikal tersebut.
            “Mmm.. aku boleh ikut, kebetulan aku juga mau ngambil jurusan yang sama.”
            “Oh... Boleh-boleh! Barengan aja, sekalian kita cari kos-kosan,” sambut
perempuan berambut lurus satunya ramah.
            “Terima kasih. Kenalin, aku Dominica,” seru Dominica girang sambil
mengulurkan tangan.
            “Erlina, aku asli Bogor,” balas perempuan berambut ikal tadi menyalaminya.
            “Hai, aku Ina, asli Bogor juga,” sambung wanita satunya tanpa melepas
senyumnya.
            Dalam hitungan menit, tampak ketiganya tengah saling akrab. Tanpa segan mereka
            langsung lempar canda dan berbincang hangat sepanjang perjalanan di kereta. Terukir seulas senyum kebahagiaan di bibirnya. Tersirat makna yang dalam dibalik senyuman
itu.
            Makasih Tuhan. Kau telah memberikanku teman. Tuhan, jaga dan lindungi
ibuku.


Prolog “Seratus Hari” (Novel Ketiga)


         “Titt ...Titt .. Titt!!”
         Alat pendeteksi jantung itu masih terus mengeluarkan bunyinya dengan garis membelok-belok. Gue masih berada di dalam ruang UGD sambil menggenggam sebuah buku lalu duduk di dekat ranjang pasien.
         Gue menatap nanar cewek yang ada di hadapan gue ini, lalu meletakkan buku yang gue bawa di atas meja dekat ranjang—sebuah buku tebal yang diberikan seseorang sebelum gue berkunjung ke rumah sakit ini, buku itu seperti buku harian dengan goresan tulisan tangan seseorang berhiaskan cover sebuah bangunan tua yang bersanding dengan tanaman hijau dan bunga-bunga lainnya seperti bunga cherry blossom bermekaran—berjudul “Who's My Prince?”.
         Gue meraih buku itu lagi karena membuat rasa penasaran gue memuncak, membuka lembar demi lembar buku tersebut hingga memasuki bagian pertama, gue mulai terhanyut membaca tulisan yang ada di dalamnya. Mengingatkan gue pada kejadian beberapa waktu silam—sebuah pertanyaan yang selama ini belum terjawab dan kini gue sudah menemukan jawabannya lewat buku ini.
         Suasana di kamar pasien masih terasa senyap kecuali bunyi jam dinding yang berdetak dan alat-alat medis lainnya. Gue mengusap lembut kepala cewek ini yang dibalut dengan perban sambil membisikkan sesuatu, “Buka mata lo, please! Gue ada di sini.”
         Air mata gue tiba-tiba jatuh menatap selang infus yang menutupi sebagian wajahnya. “Bangunlah!”
         Sudah hampir seratus hari, cewek ini masih tetap setia mengatupkan kedua matanya.



Prolog “Honestly” (Novel Keempat)


Perempuan dengan rambut yang terurai panjang itu tak berani lagi menoleh, dia lebih memilih meninggalkan gedung bertingkat itu. Dia tak mampu lagi melihat pemandangan yang membuat dadanya sesak. Tangisnya sudah terisak, hatinya sudah patah, marah, sakit tiada terarah.
            Dia tak sanggup lagi menahan air matanya untuk tidak mengalir, dan tak terasa langkahnya semakin jauh hingga tak ada yang mengejarnya, bersembunyi adalah jalan yang terbaik untuknya saat ini. Di tengah hamparan ibukota, kini dia berada di jalanan yang sepi, berjalan dengan langkah lunglai. Perempuan itu tak peduli jika bahaya datang menghantamnya, dia benar-benar tak peduli jika mati sekali pun! Bulir-bulir air matanya masih saja terus berjatuhan, tangannya tak henti memukul-mukul dadanya.
            “Kenapa sesakit ini, kenapa seperih ini. Tolong ajari aku, ajari aku ....”
            Kini perempuan itu duduk di bawah naungan pohon, meringkuk, dan masih terisak, sedari tadi terus mengucapkan nama seseorang yang dicintainya berulang kali.
           


 Prolog “Cewek Hujan” (Novel kelima)

            “Rezka!! Tungguuu!!” Gue sontak menoleh ke arah Mirna. Cewek itu berlari dengan keadaan basah kuyup. Gue saja yang baru keguyur air hujan sudah mulai menggigil, tapi herannya cewek yang sudah ada di hadapan gue ini nggak kelihatan kedinginan sama sekali.
            Mirna menarik lengan gue dan membawa gue ke tengah jalanan yang sepi, nggak ada kendaraan satu pun yang melewati jalan itu.
            “Rentangkan tangan kamu Rezka, lalu mendongak ke atas. Lihatlah, betapa indahnya air hujan,” katanya bak pelatih senam aerobik.
            Gue bersumpah dalam hati, cewek ini benar-benar absurd dan gue nggak mau ada di dekatnya lagi. Bisa-bisa hidup gue berantakan kalau cewek ini terus berekeliaran di sekitar gue.
            Gue beranjak meninggalkan Mirna yang sudah menggigil kedinginan, namun mendadak kedua kaki gue seperti dirantai saat mendengar Mirna bernyanyi. Gue nggak pernah mendengar lagu itu sama sekali, mungkin itu adalah lagu aneh ciptaannya sendiri.

            Hujan ... hujan ... hujan
            Mari bernyanyi bersama
            Menari ... menari ...
            syalalalaaa ....
           
            Mirna bernyanyi sambil bergoyang, tubuhnya digerakkan ke kanan lalu gantian ke kiri, tangannya lalu direntangkan lagi, menengadah, menikmati air hujan yang semakin derasnya. Saat hujan sudah mulai mereda. Ia lalu berlari ... meninggalkan gue.
            Dan herannya gue masih berdiri di tengah jalanan ini, terpaku melihat Mirna yang sudah jauh meninggalkan gue. Cewek dengan perawakan kecil itu tiba-tiba membalikkan badan, melambaikan tangannya lalu pergi lagi sampai nggak kelihatan lagi punggungnya.
            Gue di sini sendirian, nggak sengaja mulai melakukan gerakan yang sama seperti cewek aneh barusan, merentangkan kedua tangan, menengadah, memandang langit lalu menyanyikan lagu yang sama persis dinyanyikan Mirna.

            Hujan ... hujan ... hujan
            Mari bernyanyi bersama
            Menari ... menari ....
            Syalalalaa ....

            Tanpa sadar gue juga berjoget ala Mirna. Sepertinya gue memang sudah gila!
            Satu hal yang masih membuat gue penasaran sampai saat ini. Kenapa Mirna begitu suka hujan? Saat hujan turun, gue selalu menemukan cewek itu sudah ada di tempat yang sama. Di tengah jalan yang sepi, menengadah, menyanyikan lagu aneh ciptaannya itu sambil menari. Jika hujan berhenti, dia akan bergegas pergi lagi.
            Sejak saat itu .. gue selalu memanggilnya .. Cewek Hujan.
           


“By My Side” (Novel Keenam-Novel duet dengan Ragiel Jepe)


EPISODE 9
KENCAN PERTAMA


Sepulang dari pantai, Mia masih memikirkan tentang ajakan Brian. Benar juga, sekali-kali kenapa saat malam minggu tidak jalan keluar? Daripada berdiam diri di rumah. Lalu menyibukkan diri dengan melamun. Mia membuka lemari pakaiannya, mencoba memilih-milih baju mana yang akan dikenakan untuk satnight besok. Mia sudah memutuskan kalau dia akan malam mingguan dengan Brian.
Mia tiba-tiba tersenyum saat mengingat kejadian di pantai tadi, bukan hanya itu. Mia pun mulai mengingat insiden saat pertama kali mengenal Brian. Dari mulai Brian mengintip celananya, lalu merecoki dirinya saat duduk sebangku, dan terakhir... saat si cowok itu mencium pipinya di depan umum.
“Ah, Kenapa aku jadi memikirkan Brian?” gumam Mia mencoba menepis pikiran tentang Brian. Dia lalu teringat lagi akan Glen. Mia tidak ingin berpaling pada cowok manapun dan akan tetap menunggu Glen datang kembali. Tak ada cowok manapun yang bisa menggantikan Glen di hatinya. Pikir Mia dan berusaha meneguhkan hatinya. Dia tidak ingin sampai jatuh cinta sungguhan pada Brian.
Mia membaringkan tubuhnya di atas ranjang sambil memandangi langit-langit kamar. Seketika ponselnya berdering dan dia pun langsung menyambarnya. Ada nomor tak dikenal yang datang ke layar ponselnya. Mia mengerutkan kening dan bertanya-tanya nomor siapa yang menelponnya.
“Halo,” jawab Mia. Lalu tak lama terdengar suara di ujung sana.
“Hai, Mia. Ini aku Brian.” Mia begitu terkesiap saat mendengar suara Brian. Tahu dari mana Brian nomor ponselnya? Jangan-jangan ini adalah nomor yang dulu pernah menelponnya juga. Tapi tak di-save oleh Mia.
“Brian. Dari mana kamu tahu nomor ponselku?” tanya Mia. Kali ini semoga Brian tidak menutup teleponnya lagi seperti waktu itu.
“Sudahlah, itu tidak penting aku dapat nomor ponselmu darimana, yang terpenting bagiku adalah ... jadi kan besok malam mingguan denganku?”
Lagi-lagi Brian tidak memberitahu darimana dia mendapatkan nomor ponsel Mia. Mia mendengus sebal, lalu hendak mematikan panggilan. “Kalau kamu tidak memberitahuku dapat nomor ponselku darimana, aku tidak akan mau malam mingguan denganmu, Brian,” ancam Mia.
“Oke, nanti akan kuceritakan darimana aku dapat nomor ponselmu, Mia. Tapi benar kan kamu mau jalan keluar denganku besok sore?”

**
    
Mia benar-benar frustasi memilih baju yang akan dikenakannya untuk jalan keluar dengan Brian. Tidak biasanya dia seperti ini. Jarum jam di dinding kamarnya sudah menunjukkan jam tiga sore dan Brian akan datang ke rumahnya jam empat sore. Sedangkan Mia masih dilanda frustasi karena belum ada satu pun pakaian yang srek dengannya.
“Mia... kamu ngapain saja di kamar terus? Bukankah kamu ada janji dengan Brian?” teriak ibunya dari balik pintu. Mia mendesah. Kenapa ibunya bisa tahu kalau dia akan jalan keluar dengan Brian.
Tanpa permisi ibu akhirnya memasuki kamar Mia dengan kedua mata melotot melihat isi kamar Mia berantakan oleh baju yang berserakan.
“Ya ampun, Mia. Itu kenapa pakaian dari lemari dikeluarkan semua?” tanya ibunya yang sudah pusing melihat kelakuan anak gadisnya. Mia menjawab hanya dengan menyengir.
“Ibu, tolong pilihkan satu yang cocok untukku,” jawab Mia agak frustasi. Bagaiamana bisa seorang Mia yang dulunya masa bodoh dengan penampilannya, tiba-tiba sekarang malah ingin terlihat cantik di depan Brian. Ah, entahlah, gumam Mia dalam hati.
“Janji dengan Brian jam berapa?” tanya ibunya.
“Jam empat sore, Bu. Sebentar lagi dia akan menjemputku. Ayolah, Bu. Aku sudah frustasi nih.” Ibunya malah menyengir melihat ekspresi anak gadisnya saat ini. Ada rasa lega, karena akhirnya Mia mau membuka hati untuk pemuda lain.
“Baiklah, sepertinya Ibu akan me-make-over kamu, Mia. Biarkan tangan ibu menciptakan keajaiban.


**
    
Tepat jam empat sore, Brian sudah ada di depan rumah Mia. Brian masih bersandar ke motor gedenya. Seperti biasa, cowok itu selalu membiarkan rambutnya berantakan, dia mengenakan celana jeans warna cokelat dan baju kaos oblong merah lalu dibalut dengan jaket hitam. Tiba-tiba Brian tersenyum sendiri, tak menyangka kalau Mia bersedia jalan keluar dengannya. Padahal dulu saat mengenal Mia, cewek itu orang yang temperamental. Tapi kali ini Brian sangat bahagia. Karena bisa berteman baik dengan Mia, juga ... ingin lebih dari sekadar berteman.  
Mia masih agak risih dengan dress warna biru tosca yang dikenakannya. Belum juga make-up yang dipoleskan ibu ke wajahnya. Membuat Mia merasa seperti ondel-ondel, karena tak biasanya Mia berdandan sampai seperti ini. Saat mematut-matut di depan cermin. Mia merasa kalau yang ada dalam bayangan itu bukan dirinya, melainkan sosok perempuan lain.
“Ibu, Ayah. Apa penampilanku tidak berlebihan?” Mia merasa risih, karena biasanya dia memakai celana jeans dan kaos oblong saja setiap jalan keluar. Ayah dan ibunya yang melihat tingkah anaknya yang seperti cacing kepanasan hanya menyengir lebar. Mia belum sadar juga kalau dirinya sudah bertransformasi menjadi Cinderella.
“Ciee... yang mau malam mingguan. Akhirnya adikku ini bisa move-on dari Glen,” ledek Kak Prian saat keluar dari kamarnya. Mia semakin sebal diledek oleh kakaknya. Ditambah ayah dan ibu hanya menyengir dari tadi melihat dirinya yang sedang dilanda perasaan tidak nyaman karena penampilannya yang aneh.
“Sudah sana samperin pacar barunya. Ternyata adikku ini cantik juga ya,” ledek Kak Prian lagi. Mia merasa pujian itu malah berbalik mengejeknya.
“Ya sudah, aku keluar dulu bersama Brian. Aku pamit, ya,” kata Mia lalu menyalami tangan orangtuanya juga Kak Prian.
Brian begitu terkejut saat melihat cewek berjalan menghampirinya. Kemana Mia? Kenapa yang datang adalah bidadari? batin Brian. Cewek itu lalu tersenyum ke arah Brian, membuat mulut Brian menganga, hingga kedua matanya pun nyaris tak berkedip.
Mia merasa kesusahan mengenakan wedges berukuran lima senti itu. Dia hampir saja keseleo saat menginjak batu kecil. Lalu Brian dengan cepat menangkap tubuh Mia. Kedua mata mereka pun saling bertemu, lama mereka saling memandang. Brian merasakan dadanya berdesir hebat, begitu pun dengan Mia. Ada apa dengan jantungnya? Kenapa rasanya seperti disengat listrik. Apalagi saat melihat bola mata Brian yang sangat mirip dengan Glen. Membuat Mia tidak ingin lepas ingin terus melihat mata memikatnya itu.
Mia lalu bangkit berdiri dan Brian mencoba membantu Mia memapahnya. “Kamu Mia?” tanya Brian masih ragu. Mia malah menyengir melihat raut muka Brian yang benar-benar tidak mengenalinya.
“Iya, Brian. Ini aku Mia. Memangnya menurutmu aku siapa? Julia Perez?” Mia terkekeh. Brian lalu menyengir sambil menggaruk-garuk tengkuknya. “Ah, kukira kamu bukan Mia. Kamu pangling sekali, Mia. Julia Perez pun kalah cantik dan kalah seksi denganmu,” kata Brian merayu. Mereka berdua pun lalu tertawa geli bersama.

**
    
“Kamu tidak takut memakai dress selutut? Bahaya loh kalau belang-belangnya nanti sampai kelihatan,” ledek Brian lagi saat sudah di depan gedung bioskop. Mia saat itu juga langsung mengepalkan tangannya, “Brian! Kamu menyebalkan! Sudah kubilang jangan ....” Brian memberikan jari-jarinya hingga membentuk huruf V sambil nyengir. “Maafkan aku Nona belang-belang.” Mia kali ini tidak marah, dia justru malah gemas pada Brian. Lalu mencubit cowok jail itu.
Rasanya sudah lama sekali dia tidak tertawa lepas seperti ini. Terakhir kali saat bersama Glen. Ah, Mia merasa sudah mengkhianati Glen. Bagaimanapun juga, meski Brian mempunyai mata yang sangat mirip dengan Glen. Jika Glen suatu saat nanti kembali lagi, Mia akan tetap memilih Glen. Karena dia sangat mencintai Glen.
“Mau nonton film apa?” tanya Brian.
“Teserah saja. Film action boleh. Tapi awas ya! Jangan film horor,” jawab Mia sambil mengepalkan tangannya tepat di depan wajah Brian.
“Baiklah. Nona belang-belang,” rayu Brian lagi. Aih, kalau saja ini bukan di gedung bioskop dan tidak ramai begini. Mia pasti sudah melayangkan pukulan tepat ke pipi kanan Brian. Mia pun akhirnya menahan diri dan hanya mencubit lengan cowok sableng itu.
Mia disuruh duduk dulu menunggu Brian membeli tiket, karena antrean begitu panjang. Akhirnya, Mia pun mencari tempat duduk yang kosong, tapi sayangnya sudah diduduki semua. Melihat di sekelilingnya ternyata banyak anak-anak muda hampir berpasangan yang memenuhi gedung bioskop ini. Membuat Mia geleng-geleng kepala. Ternyata begini keadaan di luar saat Mia malah sedang sibuk menyendiri di rumah jika malam minggu.
Tak lama Brian pun datang menepuk bahu Mia dari belakang. Mia menoleh dan lalu mengikuti Brian dengan cepat karena filmnya sudah mau diputar.

**
Mia terlonjak kaget saat menonton film yang ternyata adalah film horor. Film yang bercerita tentang seorang paranormal yang dipanggil oleh seorang wanita yang sudah berkeluarga punya lima orang anak perempuan semua—tinggal di tengah-tengah hutan. Keluarga itu merasa sering dihantui saat tengah malam. Dan menyuruh paranormal itu untuk mengusir arwah penasaran yang sering mengganggu anak-anaknya tengah malam. Sialan! Ternyata Brian sudah menipunya. Mia merasa ketakutan saat adegan ketika si anak kecil tengah membuka lemari, karena pintu lemari itu terbuka dengan sendirinya. Mia buru-buru menutup kedua matanya saat si kecil itu membuka lemari dan memastikan apa yang ada di dalam. Setiap ada adegan yang mengagetkan, dan setannya muncul, Mia selalu ketakutan dan berakhir memegang erat tangan Brian. Sedangkan Brian malah tertawa geli melihat Mia si jagoan karate ternyata bisa juga ketakutan.
“Kamu benar-benar menyebalkan, Brian. Jahat!” gerutu Mia saat film sudah selesai diputar.
“Lagian itu kan bukan setan beneran, Mia. Itu hanya bohongan. Si jagoan karate kok malah takut?” Brian gemas melihat raut muka Mia yang tampak kusut seperti pakaian yang belum disetrika.
Mia mengerucutkan bibirnya. Dia tidak habis pikir apa yang ada di otak cowok sableng ini. Kenapa dia bisa terlahir dengan tabiat super jail. “Aku mau ke toilet,” katanya karena tiba-tiba perutnya terasa mulas. “Kamu tunggu di sini.”
“Aku bisa menemanimu jika kamu takut,” Brian nyengir. “Awas kalau ada penampakan di toilet loh.”
Mia mengepalkan tinjunya tepat di wajah Brian. “Jangan kamu kira aku tidak tahu otak mesummu itu Brian. Awas saja kalau kamu mengintipku kali ini, akan kupastikan hidungmu bengkok.”
Brian terkekeh mendengarnya. Mia setengah berlari menuju toilet, entah kenapa perutnya terasa sangat sakit, seolah ada ribuan jarum yang menusuk-nusuk perutnya. Beruntung toilet di sini cukup sepi.
Sudah sepuluh menit Brian menunggu Mia. Gadis itu belum juga keluar dari toilet, dan ketika Brian hendak menghubungi Mia. Ponselnya berbunyi dengan nama Mia tertera di layar.
“Halo,” Brian mengangkat teleponnya. “Kenapa lama sekali di toilet, Mia?”
“Ada sedikit masalah, Brian,” jawab Mia di ujung telepon.
“Masalah apa?” tanya Brian sedikit khawatir. “Kenapa suaramu merintih, kamu baik-baik saja kan?”
“Aku boleh minta tolong?”
“Minta tolong apa?” tanya Brian semakin khawatir mendengar suara Mia. “Apa terjadi sesuatu?”
Mia menggigit bibir sebelum mengatakannya. Dia sebenarnya malu untuk mengatakan hal ini kepada Brian. “Aku butuh Roti Jepang.”
“Roti Jepang?” Brian mengangkat sebelah alisnya. “Jangan konyol Mia, kalau kamu lapar, cepat keluar, jangan makan di toilet.”
“Bukan Roti Jepang yang bisa dimakan,” Mia menggigit bibir mengatakannya. “Tapi Roti Jepang yang itu, yang ada sayapnya. Aku butuh yang ada sayapnya.”
“Apanya yang ada sayapnya?”
Brian melongo begitu ia mendengar apa yang dikatakan Mia tentang Roti Jepang dan sayap. Dia berlari menuju motornya menuju supermaket terdekat. Dan lima belas menit kemudian Brian telah kembali. Dia masuk ke toilet perempuan yang untungnya sepi. Dan dia mengetuk pintu toilet dan sebelumnya menelepon Mia kalau dia sudah membawa pesanannya.
Sepuluh menit kemudian Mia keluar dari dalam toilet. Mia nyengir ke arah Brian yang wajahnya tampak masam.
“Cewek macam apa yang tidak berjaga-jaga kalau hari ini adalah tanggal datang bulannya,” gerutu Brian. “Aku kan cowok, masa harus beli pembalut. Belum lagi tadi pembelinya cewek semua lagi.”
“Kita impas kan?” kata Mia nyengir. “Itu karena tadi kamu mengajakku nonton film horor. Tapi, biar bagaimanapun, terima kasih Brian.” Mia tersenyum.
Brian akhirnya luluh juga melihat senyum tulus Mia. Semua rasa sebal karena disuruh membeli pembalut lenyap sudah.
    



“Dongeng Untuk Raja” (Novel Ketujuh-Novel Duet dengan Lisma Laurel)


Raja akhir-akhir ini sering mendapat migrain. Sudah seminggu jadwalnya benar-benar padat. Sampai dia pun melupakan tugasnya sebagai seorang ayah. Pernah dia berpikir, ingin meninggalkan pekerjaannya demi dua putri kembarnya, Rubi dan Ruwi. Tetapi  manajernya—Mbak Yuni, juga produser yang banyak berjasa bagi karir Raja membantah habis-habisan ide konyol Raja untuk berhenti dari dunia hiburan, sedangkan di luar sana, masih banyak yang mengantre ingin menjadi artis bahkan menjadi idola seperti Raja saat ini.
Setelah selesai syuting, Raja memutuskan untuk pulang. Kebetulan jadwalnya sudah kosong. Raja tidak pulang ke apartemennya, melainkan rumahnya. Meski terkadang, kenangan di masa lalu masih membuatnya sesak.
Sampai di kawasan kompleks perumahan elit di Pondok Indah, mobilnya berhenti tepat di depan rumah bercat hijau muda. Sang supir yang sudah bekerja dengan Raja selama lima tahun itu membuka gerbang. Raja tersenyum mengangguk kepada supir yang selalu setia mengantar jemput kedua putrinya itu.
Raja sudah memasuki rumahnya melewati halaman rumah yang cukup luas. Dia lalu memarkir mobilnya. Saat keluar mobil, kedua alisnya terangkat ketika melihat seorang wanita yang masih asing di penglihatannya, wanita berambut panjang pirang, kulitnya putih, matanya sipit dan tidak terlihat seperti orang Indonesia kebanyakan.
Wanita yang dipandang oleh Raja itu mengerjap-ngerjapkan matanya. Dia tak percaya jika akan bertemu Raja—sang aktor yang sedang menjadi idola banyak cewek. Bahkan wajahnya sering dia lihat di poster-poster produk makanan dan minuman. Juga, tak kalah selalu terpampang di halaman depan majalah dan sering menjadi bintang iklan di stasiun televisi nasional.
Bahkan belum lama ini, Raja mendapat penghargaan sebagai aktor terbaik di acara movie award yang diadakan di salah satu stasiun televisi nasional.
“Anda siapa? Kenapa Anda tiba-tiba keluar dari rumah saya?” Raja menghampiri Sonia. Membuat Sonia harus mendongak bahkan berjinjit agar bisa menatap Raja yang tingginya jauh beda dengannya.
“Saya... eh, saya,” jawab Sonia patah-patah. Raja menyeringai. Lalu berjalan terus mendekat ke arah Sonia, membuat wanita itu nyaris terjengkang. Tetapi untungnya ada tembok yang menjadi sandarannya.
“Ah, saya tahu. Pasti kamu wartawan, kan? Ngaku!” bentak Raja sambil kedua tangannya memegang kedua bahu Sonia.
Sonia terkejut. Raja berada tepat di depan wajahnya, pria ini menatap kedua matanya seperti ingin membunuhnya saja. Sonia semakin gelagapan dipandang seperti itu. Dia tak percaya jika Raja—sang aktor yang menjadi idola ini adalah seorang pria yang kasar. Saat Sonia berusaha memberontak, terdengar suara Rubi dan Ruwi memecah perseteruan mereka.
Raja mengangkat kedua tangannya yang barusan menahan Sonia agar wanita itu tidak kabur.
“Papa....!!” Rubi dan Ruwi langsung berlari kegirangan saat melihat papanya.
Raja pun berjongkok, dia merebahkan kedua tangannya ketika Rubi dan Ruwi menghambur ke pelukannya. Sonia mendadak terkesima dengan adegan itu, tak disangka jika Raja sudah menjadi seorang ayah. Bahkan, pria ini begitu hebatnya menutup tentang kehidupan pribadinya jika dia masih pria lajang kepada media.
Oh, ini sungguh berita besar! Sonia bersorak dalam hati. Bu Mira pasti senang jika tahu berita heboh ini.
“Papa, itu Tante Sonia. Dia adalah guru mendongeng di taman baca," ujar Ruwi.
"Tadi Tante Sonia cerita tentang Putri Laura." lanjut Rubi, sang kakak yang lahir beda lima menit dengan adiknya—Ruwi.
Raja masih bergeming, berusaha mencerna kata-kata Rubi dan Ruwi. Meski begitu, dia tak akan semudah itu percaya. Semenjak menjadi aktor, dia selalu didatangi paparazzi.
“Saya ke sini hanya membacakan dongeng, bukan war....” Sonia menghentikan ucapannya. Jika dia memberitahu kalau dia adalah seorang wartawan apalagi di majalah gosip. Bisa-bisa dia celaka!!
Raja memicingkan mata saat menilai Sonia dari ucapan dan juga gestur tubuhnya. Sepertinya, wanita ini memang menyembunyikan sesuatu, pikir Raja. Dari dulu dia tidak ingin mudah mempercayai orang. Baginya, sebelum mempercayai seseorang, terlebih dahulu harus mencurigai orang itu. Bahkan, banyak wanita yang besikap alim, tetapi nyatanya menyimpan seribu rencana busuk.
“Maafkan saya, saya sudah salah mengira. Sebelum Anda pergi dari rumah ini, saya boleh meminta kartu nama Anda. Saya tidak mau media tahu jika saya sudah mempunyai seorang anak, bahkan dua.”
Dugh! Sonia tersentak. Lidahnya seakan kelu. Apa yang harus aku lakukan?
Tapi untung saja sang supir yang mengantarnya barusan ke rumah ini membelanya.
“Jangan khawatir Pak Raja, Nona Sonia ini adalah orang baik. Dia tidak akan bertingkah yang aneh-aneh seperti wartawan yang sebelum-sebelumnya. Lagi pula, Nona Sonia bukan seorang wartawan. Jadi, dia tidak akan menyebarkan ke media jika Pak Raja adalah....”
“Stop!” belum sempat sang supir meneruskan kata-katanya. Raja sudah menyela duluan.
“Mana saya tahu kalau orang ini adalah orang baik, Pak Ali. Sedangkan saya baru mengenalnya, juga kalian Rubi dan Ruwi. Bukankah Ayah sudah mengingatkan pada kalian, jangan sembarangan membawa orang asing ke rumah kita meski itu guru  balet atau guru dongeng sekali pun!” bentak Raja. Suasana seakan mencekam seperti film horor. Bahkan Pak Ali pun tak berani membantah lagi jika majikannya itu sudah naik pitam.
Sonia semakin ketakutan, celakalah dia jika memberikan kartu namanya pada Raja. Oh, Tuhan ... sekali ini saja Kau bantu aku, kumohon!
Dan benar saja, Rubi dan Ruwi saat itu juga menangis, bahkan tangisnya lebih keras dibanding  yang tadi saat di depan taman baca.
“Papa jahat!! Kenapa Papa nggak pernah ngaku kalau Papa adalah Papa Rubi sama Ruwi. Papa jahat!” Rubi dan Ruwi langsung lari ke dalam rumah setelah menatap ayahnya dengan cemberut.
Saat itu juga, Raja langsung mengejar kedua putrinya. Pak Ali sang supir, menyuruh Sonia pulang.
“Saya pamit dulu, Pak.” Sonia pun secepat kilat pergi dari rumah bercat hijau itu dengan perasaan lega.
           


Bab 1 Novel “Misteri Silo Panganten” (Novel Kedelapan-Novel duet dengan Ragiel Jepe)

Matahari bersinar cukup cerah. Tiga orang mahasiswa tengah asik berada di taman depan rumah Mei. Dika mendirikan tripod lalu memasang kameranya. Sebelum jarinya menekan tombol rekam, ia mengatur fokus lensa agar refleksi buram jadi terlihat jernih. Setelah menyetingnya, Dika lalu menekan tombol rekam.
   Dika memutar kameranya dan menyorot pemandangan taman yang cukup indah. Dari mulai air mancur yang berada di tengah-tengah taman yang diisi beberapa ikan koi, pohon-pohon kelapa, dan tanaman lain. Kemudian kameranya mulai menangkap sosok cewek berambut ikal panjang dengan postur tubuh tinggi sedang, dan cowok berkulit putih dengan tinggi sekitar 170 cm. Kedua orang itu sedang berpura-pura menghirup udara di pagi hari, Mei tersenyum menampakkan lesung pipit di kedua pipinya, kemudian si cowok pemilik kulit putih yang berada di samping Mei tersenyum menampilkan gigi ginsulnya. Dika mengatakan dalam hati, Bagus! Tetapi saat kameranya mulai menangkap sepatu butut yang dikenakan si cewek lesung pipit, Dika langsung menghentikan rekamannya.
   “Mei, kenapa kamu mengenakan sepatu itu? Sudah kubilang untuk hari ini kamu memakai sepatu yang lain.” Dika mendesah.
   Mei melirik ke bawah, ke arah sepatu butut yang sebenarnya adalah pemberian dari Dika. Ia lalu menyengir sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Opss! Sory Dika. Aku lupa.”
   Mei adalah cewek yang sangat menghargai pemberian orang dan tidak peduli barang yang diberikan sepasang sepatu butut dan jaket butek sekali pun.
   Si cowok pemilik gigi ginsul bernama Gilang itu tertawa cekikikan. “Sudah untung Mei tidak mengenakan jaket butek pemberianmu juga, Dik. Kalau begitu kamu tidak usah menyorot sepatu Mei.”
   “Baiklah. Ayo mulai lagi aktingnya.” Dika kali ini tidak ingin berdebat. Yang penting tugas dari mata kuliah Editing membuat video berdurasi selama tujuh-delapan menit cepat selesai dan segera ia kumpulkan sebelum ujian akhir semester supaya ia bisa mengikuti ujian.
            Sebenarnya Dika adalah orang yang selalu ingin menghasilkan film sempurna, tetapi karena minggu lalu ia sibuk membuat film dokumenter berskala nasional yang diadakan oleh Greenpeace, di mana festival film itu digelar dua tahun sekali dan lumayan bergengsi, jadi Dika tidak mau melewatkan festival itu meski harus mengorbankan tugasnya yang terbengkalai.
   “Siap Bos!” Mei dan Gilang tertawa sambil memberi hormat pada Dika.
   Dika tanpa sadar menaikkan sudut bibirnya. Ia mengenal Mei dan Gilang sejak duduk di bangku kelas satu SMA. Sedangkan Mei dan Gilang sudah berteman sejak mereka SD.
   Mereka kuliah di Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta. Dika ingin seperti sineas keren legendaris John Grierson dalam filmnya berjudul Song of Ceylon, film yang merupakan laporan perjalanannya di negeri sekarang yang bernama Sri Lanka. Serta sineas Errol Morris dalam filmnya The Thin Blue Line. Dika bertekad akan membuat film keren seperti sineas-sineas legendaris itu. Sedangkan Mei sangat mengidolakan penulis skenario andal Jujur Prananto yang membuatnya mengambil peminatan skenario. Sedangkan Gilang, ia ingin sekelas sutradara Hanung Bramantyo memutuskan mengambil peminatan sutradara.
   Setelah selesai syuting, Mei dan Gilang menjatuhkan kedua pantatnya di atas rumput hijau yang masih terlihat segar. Sedangkan Dika masih sibuk mengedit hasil rekamannya.
   Gilang lalu berdiri dan mengambil tiga botol air mineral di lemari pendingin di dalam rumah Mei. Mei tersenyum ke arah Gilang saat cowok itu menyodorkan minuman untuknya.
   “Terima kasih sahabatku yang suka kentut sembarangan.” Mei tertawa, Dika pun ikut mengangkat sudut bibirnya tetapi tidak tergelak seperti Mei.
   “Sama-sama Mei si tukang ngupil.” Gilang kali ini membalas dengan cengiran lebar.
   Aib Gilang yang dijuluki sering kentut sembarangan terbongkar sejak insiden renungan malam saat masa SMA dulu. Kala itu Gilang, Mei, dan Dika ikut eksul Paskibra. Saat mengadakan pelantikan, dari segelintir kegiatan berpindah dari pos satu sampai menuju pos terakhir, hingga di penghujung acara renungan malam. Di saat semua orang sedang terdiam dengan mata terpejam yang diterangi lilin kecil di tengah-tengah lingkaran. Ketika semua anggota paskibra sedang mulai menitikkan air mata, menangis sesenggukan sambil mengelap ingus ketika kakak senior ceramah bayangkan jika besok kalian mati. Saat itu juga, Gilang mengeluarkan gas dengan suara keras. Semua anggota pelantikan spontan terdiam, memandang satu sama lain, ketika menangkap sosok Gilang yang nyengir lebar, akhirnya semua anggota tertawa terbahak-bahak.
   “Lucu ya, kalau ingat kejadian itu.” Mei mengulang lagi cerita itu saat mereka kini sudah berada di dalam rumah. “Gilang, kamu memang manusia unik.”
   “Aku anggap itu sebagai pujian, Putri Upil,” kata Gilang lalu menyalakan televisi dan mencari channel di mana film yang laris di pasaran diputar.
   “Haha sialan kamu, biar suka ngupil, aku tetap cantik, 'kan?” Mei mengibaskan rambut ikalnya untuk meledek Gilang. “Iya kan tampan?” Mei tergelak melihat kegelian di wajah Gilang. Ketika Gilang sudah asik dengan tontonannya, Mei meghampiri Dika yang sedari tadi masih sibuk mengedit hasil rekamannya.
   “Kapan dikumpulin?”
   “Sebelum ujian akhir semester, Mei.”
   “Semoga nilainya bagus.”
   “Semoga saja tidak A minus.”
   “Bakal hujan badai kalau kamu sampai dapat nilai itu, Dika. Aku yakin kamu bakal dapat nilai sempurna dan mendapat kecupan mesra dari dosen kepala botak itu.” Mei menyengir dan terus memandangi Dika yang keningnya tampak berkerut-kerut.
    Dika tertawa mendengarnya, ini adalah salah satu sifat Mei yang disukai Dika yang mampu mencairkan suasana. “Kamu terkadang lucu juga, Mei. Tapi coba kamu buang jauh-jauh kebiasaan ngupil di dalam kelas. Apa kamu tidak malu?”
   Oh, sial! Kenapa pula Dika harus membuka aibnya. Mei malas membahas itu dan menghampiri Gilang yang ternyata sudah teler saking bosannya dengan acara televisi. Mei menyandarkan punggungnya di sofa sebelah Gilang, ia membaca majalah sinematografi yang dibelinya minggu lalu. Sepasang matanya berbinar ketika melihat info di majalah itu.
   “Lomba Film Dokumenter dengan jenis film 'investigasi'”
   Mei membaca sampai tuntas, matanya semakin berbinar ketika membaca hadiah di lomba itu.
   Juara satu = Total uang senilai 100 juta rupiah dan film dokumenter akan diputar di acara festival bergengsi di negara-negara maju.
  
   Mei langsung teriak kegirangan. “Dika, Gilang!! Aku punya info keren!”
 Gilang yang sedang tertidur terbangun karena teriakkan Mei mengagetkannya. Sedangkan Dika yang saat itu tengah mengotak-atik hasil rekamannya, jantungnya bertalu-talu begitu melihat sosok yang berdiri tidak jauh darinya.
“Ya Tuhan…” Dika menutup mulutnya untuk mencegah tidak berteriak. “Bukankah sosok itu…?”
“Info apa?” tanya Gilang.
“Ini, Lang.” Mei menyodorkan majalah pada Gilang yang masih menahan kantuk.
“Kak Mei.”
Pemilik suara cempreng bertubuh mungil dengan rambut pendek sebahu itu tiba-tiba muncul dari dalam kamar. Ia Bonita—adik Mei. Bonita senang sekali mengurung diri di kamar—memuaskan hidupnya dengan membaca ratusan komik yang dikoleksinya. Dan yang jelas Bonita sangat membenci Mei
“Ada apa, Nit?” Tanya Mei tersenyum.
Bonita duduk di sofa sebelah Mei. “Apa papa dan mama sudah memberi kabar kalau sudah sampai di Cirebon?”
Seolah ada yang menghantam kepala Mei dengan bola. Kenapa ia bisa begitu bodoh melupakan papa dan mamanya. “Belum. Sebentar, Kak Mei akan coba menghubungi nomor Papa.” Mei mengambil ponsel dari saku jaketnya.
“Percuma!” Bonita mengembuskan napas berat. “Nomornya nggak ada yang aktif.”
Mei mendesah. Rasa khawatir tiba-tiba menjalarinya. Tidak biasanya mama dan papanya tidak memberi kabar jika berpergian. Apalagi mereka pergi ke Cirebon, menjenguk nenek yang sedang sakit.
   “Telepon kakekmu, Mei.” Gilang yang telah selesai membaca majalah memberikan ide. “Tanyakan apakah orangtuamu sudah sampai atau belum.”
   “Aku sudah menghubungi keluarga di sana. Kata mereka, mama dan papa belum sampai di Cirebon,” Bonita menatap kakak perempuannya dengan tatapan sebal. “Kalau sampai terjadi sesuatu dengan papa-mama, aku tidak akan memaafkanmu, Kak.”
“Jaga bicaramu, Nit,” tegur Gilang. “Mei ini kakakmu.”
“Aku tidak peduli.” Jawab Bonita apatis. “Sebaiknya aku tidur.”
“Bonita belum bisa memaafkanmu ya, Mei,” tanya Dika begitu Bonita masuk ke dalam kamar.
Mei menggeleng. “Aku memang pantas mendapatkan itu, Dika. Aku paham kenapa Bonita begitu membenciku.”
“Tapi kan semua itu bukan salahmu.”
“Dika, cukup. Aku tidak mau membahas itu sekarang.”
Dika hanya terdiam mendengarnya. Ia kembali melirik ke sosok yang tadi dilihatnya dan menyadari bahwa sosok itu telah lenyap. Dika menggelengkan kepalanya, berusaha memberikan argumen kontra pada diri sendiri, bahwa apa yang tadi ia lihat bukanlah sesuatu yang nyata.


Bab 1 Novel “Valentine Serenade” (Novel Kesembilan)

Namaku Valentine. Panggil saja Tina. Mom yang memberikan nama itu. Tentunya aku lahir di tanggal 14 Februari dimana kata orang-orang tanggal 14 Februari diperingati sebagai hari kasih sayang. Tapi sayangnya, seseorang yang memberikan nama Valentine sudah meninggalkan aku dan Pap duluan ke surga saat aku lahir ke dunia. Mom curang, kenapa tidak menunggu aku dan Pap bersama pergi ke tempat indah yang disebut surga itu. Tapi setidaknya sebelum Mom meninggal, ia sudah menuliskan surat sebanyak dua puluh tujuh surat dimana surat-surat itu harus dibaca sesuai usia kelahiranku.
            Setiap membaca surat dari Mom, aku selalu merasa Mom ada di dekatku. Aku tidak pernah menangis di depan Pap ketika melihat foto Mom, pun ketika merindukannya. “Open your eyes, you will see,” kata Pap.
            And this is amazing! I can see my Mom. Aku bisa merasakan kehadirannya, memeluknya dan bercerita tentang banyak hal.
            Now, sekarang usiaku 26 tahun. Biasanya aku selalu penasaran dan bersemangat membaca surat dari Mom, tapi sekarang tidak lagi ketika usiaku sudah menginjak kepala dua. Mom lagi-lagi menyuruhku untuk segera menikah. Oh, this is crazy!! Aku belum mau menikah, Mom. And I still feel too young for marriage.
            Pap seperti biasa hanya tersenyum geli ketika aku menceritakan isi surat Mom. Aku belum tertarik untuk berumahtangga seperti teman-temanku yang bahkan sudah sibuk menggendong anaknya. Aku masih ingin mengejar mimpiku, sesuatu yang membuatku tenggelam dengan duniaku sendiri. Yah meski sebenarnya alasan utamanya bukan itu. Aku belum bisa menjelaskannya.


Saya pikir ternyata tulisan saya mengalami perkembangan. Tetapi, tetap saja yang menilai adalah kalian—pembaca. Karena apa yang menurut saya bagus, belum tentu menurut kalian bagus pula.

Salam Karya ^_^





















           



2 komentar: