Selasa, 12 Januari 2016

CONTOH KASUS ASPEK HUKUM BISNIS

Kasus Indosat-IM2 bisa nodai bisnis telekomunikasi Indonesia


Reporter : Saugy Riyandi | Selasa, 2 Juli 2013 21:30

Merdeka.com - Kasus perjanjian kerjasama Indosat dengan IM2 yang dinilai mengandung tindak pidana korupsi terus mengundang polemik dari berbagai pihak. Kasus ini saat ini sudah masuk ke ranah hukum dan pengadilan.
Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Setyanto Santosa mengatakan tuduhan pelanggaran Peraturan Pemerintah nomor 53 tahun 2000 tentang penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang dialamatkan kepada IM2 bisa berdampak luas kepada terhentinya seluruh usaha layanan terkait internet di Indonesia. Termasuk pelayanan di bidang konten, manufaktur, perbankan, pemerintahan, warnet serta penunjang TIK lainnya.
"Saat ini terdapat 280 ISP (Internet Services Provider) yang pola kerjasamanya sama dengan yang dilakukan IM2 dengan Indosat," ujar dia kepada wartawan di Jakarta, Selasa (2/7).
Menurut Setyanto, telekomunikasi merupakan salah satu infrastruktur yang tidak pernah menggunakan anggaran belanja negara karena keterbatasan dana milik pemerintah. "Menurut saya kasus ini bermula dari salah paham penegak hukum yang mengatakan bahwa jaringan tidak termasuk frekuensi," tegas dia.
Sementara, Mantan Dirut IM2 Indar Atmanto mengatakan para pelaku sektor komunikasi harus memberikan penjelasan rinci kepada publik mengenai bisnis telekomunikasi sehingga kasus ini tidak terus bergulir dan merugikan pemerintah.
"Untuk itu, saya akan menjelaskan melalui buku yang mengupas tuntas permasalahan kasus ini lengkap dengan peraturan perundang-undangan di bidang telekomunikasi," pungkas dia.
[bmo]



 

Penyelesaian Kasus Bank Century dan Solusinya





Penjabaran Kasus Bank Century

Krisis yang dialami Bank Century bukan disebabkan karena adanya krisis global, tetapi karena disebakan permasalahan internal bank tersebut. Permasalahan internal tersebut adalah adanya penipuan yang dilakukan oleh pihak manajemen bank terhadap nasabah menyangkut:
Penyelewengan dana nasabah hingga Rp 2,8 Trilliun (nasabah Bank Century sebesar Rp 1,4 Triliun dan nasabah Antaboga Deltas Sekuritas Indonesia sebesar Rp 1,4 Triliiun)
Penjualan reksa dana fiktif produk Antaboga Deltas Sekuritas Indonesia. Dimana produk tersebut tidak memiliki izin BI dan Bappepam LK.
Kedua permasalahan tersebut menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi nasabah Bank Century. Dimana mereka tidak dapat melakukan transaksi perbankan dan uang mereka pun untuk sementara tidak dapat dicairkan.
Kasus Bank Century sangat merugikan nasabahnya. Dimana setelah Bank Century melakukan kalah kliring, nasabah Bank Century tidak dapat melakukan transaksi perbankan baik transaksi tunai maupun transaksi nontunai. Setelah kalah kliring, pada hari yang sama, nasabah Bank Century tidak dapat menarik uang kas dari ATM Bank Century maupun dari ATM bersama. Kemudian para nasabah mendatangi kantor Bank Century untuk meminta klarifikasi kepada petugas Bank. Namun, petugas bank tidak dapat memberikan jaminan bahwa besok uang dapat ditarik melalui ATM atau tidak. Sehingga penarikan dana hanya bisa dilakukan melalui teller dengan jumlah dibatasi hingga Rp 1 juta. Hal ini menimbulkan kekhawatiran nasabah terhadap nasib dananya di Bank Century.
Setelah tanggal 13 November 2008, nasabah Bank Century mengakui transksi dalam bentuk valas tidak dapat diambil, kliring pun tidak bisa, bahkan transfer pun juga tidak bisa. Pihak bank hanya mengijinkan pemindahan dana deposito ke tabungan dolar. Sehingga uang tidak dapat keluar dari bank. Hal ini terjadi pada semua nasabah Bank Century. Nasabah bank merasa tertipu dan dirugikan dikarenakan banyak uang nasabah yang tersimpan di bank namun sekarang tidak dapat dicairkan. Para nasabah menganggap bahwa Bank Century telah memperjualbelikan produk investasi ilegal. Pasalnya, produk investasi Antaboga yang dipasarkan Bank Century tidak terdaftar di Bapepam-LK. Dan sudah sepatutnya pihak manajemen Bank Century mengetahui bahwa produk tersebut adalah illegal.
Hal ini menimbulkan banyak aksi protes yang dilakukan oleh nasabah. Para nasabah melakukan aksi protes dengan melakukan unjuk rasa hingga menduduki kantor cabang Bank Century. Bahkan para nasabah pun melaporkan aksi penipuan tersebut ke Mabes Polri hingga DPR untuk segera menyelesaikan kasus tersebut, dan meminta uang deposito mereka dikembalikan. Selain itu, para nasabah pun mengusut kinerja Bapepam-LK dan BI yang dinilai tidak bekerja dengan baik. Dikarenakan BI dan Bapepam tidak tegas dan menutup mata dalam mengusut investasi fiktif Bank Century yang telah dilakukan sejak tahun 2000 silam. Kasus tersebut pun dapat berimbas kepada bank-bank lain, dimana masyarakat tidak akan percaya lagi terhadap sistem perbankan nasional. Sehingga kasus Bank Century ini dapat merugikan dunia perbankan Indonesia.

Solusi Kasus Bank Century
Dari sisi manager Bank Century menghadapi dilema dalam etika dan bisnis. Hal tersebut dikarenakan manager memberikan keputusan pemegang saham Bank Century kepada Robert Tantular, padahal keputusan tersebut merugikan nasabah Bank Century. Tetapi disisi lain, manager memiliki dilema dimana pemegang saham mengancam atau menekan karyawan dan manager untuk menjual reksadana fiktif tersebut kepada nasabah. Manajer Bank Century harus memilih dua pilihan antara mengikuti perintah pemegang saham atau tidak mengikuti perintah tersebut tetapi dengan kemungkinan dia berserta karyawan yang lain terkena PHK. Dan pada akhirnya manager tersebut memilih untuk mengikuti perintah pemegang saham dikarenakan manager beranggapan dengan memilih option tersebut maka perusahaan akan tetap sustain serta melindungi karyawan lain agar tidak terkena PHK dan sanksi lainnya. Walaupun sebenarnya tindakan manager bertentangan dengan hukum dan etika bisnis. Solusi dari masalah ini sebaiknya manager lebih mengutamakan kepentingan konsumen yaitu nasabah Bank Century. Karena salah satu kewajiban perusahaan adalah memberikan jaminan produk yang aman.
Dari sisi pemegang saham yaitu Robert Tantular, terdapat beberapa pelanggaran etika bisnis, yaitu memaksa manajer dan karyawan Bank Century untuk menjual produk reksadana dari Antaboga dengan cara mengancam akan mem-PHK atau tidak memberi promosi dan kenaikan gaji kepada karyawan dan manajer yang tidak mau menjual reksadana tersebut kepada nasabah. Pelanggaran yang terakhir adalah, pemegang saham mengalihkan dana nasabah ke rekening pribadi. Sehingga dapat dikatakan pemegang saham hanya mementingkan kepentingan pribadi dibanding kepentingan perusahaan, karyawan, dan nasabahnya (konsumen). Solusi untuk pemegang saham sebaiknya pemegang saham mendaftarkan terlebih dahulu produk reksadana ke BAPPEPAM untuk mendapat izin penjualan reksadana secara sah. Kemudian, seharusnya pemegang saham memberlakukan dana sabah sesuai dengan fungsinya (reliability), yaitu tidak menyalah gunakan dana yang sudah dipercayakan nasabah untuk kepentingan pribadi.
Dalam kasus Bank Century ini nasabah menjadi pihak yang sangat dirugikan. Dimana Bank Century sudah merugikan para nasabahnya kurang lebih sebesar 2,3 trilyun. Hal ini menyebabkan Bank Century kehilangan kepercayaan dari nasabah. Selain itu karena dana nasabah telah disalahgunakan maka menyebabkan nasabah menjadi tidak sustain, dalam artian ada nasabah tidak dapat melanjutkan usahanya, bahkan ada nasabah yang bunuh diri dikarenakan hal ini. Solusi untuk nasabah sebaiknya dalam memilih investasi atau reksadana nasabah diharapkan untuk lebih berhati-hati dan kritis terhadap produk yang akan dibelinya. Jika produk tersebut adalah berupa investasi atau reksadana, nasabah dapat memeriksa kevalidan produk tersebut dengan menghubungi pihak BAPPEPAM.
Dikarenakan kasus ini kinerja BI dan BAPPEPAM sebagai pengawas tertinggi dari bank-bank nasional menjadi diragukan, karena BI dan BAPPEPAM tidak tegas dan lalai dalam memproses kasus yang menimpa Bank Century. Dimana sebenarnya BI dan BAPPEPAM telah mengetahui keberadaan reksadana fiktif ini sejak tahun 2005. Untuk Bank-bank nasional lainnya pengaruh kasus Bank Century mengakibatkan hampir terjadinya efek domino dikarenakan masyarakat menjadi kurang percaya dan takut bila bank-bank nasional lainnya memiliki “penyakit” yang sama dengan Bank Century dikarenakan krisis global, dengan kata lain merusak nama baik bank secara umum. Solusi untuk BI dan BAPPEPAM sebaiknya harus lebih tegas dalam menangani dan mengawasi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh bank-bank yang diawasinya. Selain itu sebaiknya mereka lebih sigap dan tidak saling melempar tanggung jawab satu sama lain. Dan saran untuk Bank Nasional lainnya, sebaiknya bank-bank tersebut harus lebih  memperhatikan kepentingan konsumen atau nasabah agar tidak terjadi kasus yang sama.


sumber : http://sanya-alliairani.blogspot.com/2012/06/permasalahan-dan-solusi-dalam-bank.html
http://atikaa08.student.ipb.ac.id/2010/06/18/permasalahan-bank-century-dan-solusinya




 

KASUS HUKUM BISNIS



Penyelesaian kasus Bank Century tampaknya mulai memasuki episode baru lagi setelah Komisi Pemberantasan Korupsi meminta keterangan Wakil Presiden Boediono beberapa waktu lalu. Boediono dimintai keterangan oleh KPK dalam kapasitasnya sebagai gubernur Bank Indonesia ketika kasus tersebut menyeruak enam tahun silam.


Langkah yang diambil KPK rupanya ikut menggoda Tim Pengawas Century DPR. Mereka pun tak mau kalah. Para wakil rakyat di gedung parlemen Senayan itu langsung menangkap kesempatan dengan ikut nimbrung hendak memanggil Boediono. Meski Boediono sudah menyatakan menolak panggilan tersebut, Tim Pengawas tetap ngotot. Ada apa lagi gerangan? Bukankah DPR sendiri sudah memutuskan bahwa kasus Century diserahkan ke proses hukum?

Sungguh luar biasa praktik politik di negeri ini. Politik sudah menjadi panglima dan hukum berada di belakangnya. Logika hukum akhirnya sering dikalahkan oleh syahwat dan logika politik tadi. Benar juga pepatah Belanda : “Met juristen je geen revolotie maken“. Kalau kemudian penyelesaian kasus Century berlarut-larut hingga kini, itu tidak heran karena kasus ini memang sudah telanjur masuk ranah politik. Penyelesaian kasus pun akhirnya terseok-seok. Banyak waktu dan energi terbuang percuma hanya untuk mengutakutik kasus ini.

Padahal, jika sejak awal kasus Century sudah ditempatkan pada logika dan doktrin hukum bisnis, persoalannya takkan berlarut-larut seperti sekarang ini. Ini terjadi karena antara satu peraturan dan peraturan lainnya saling bertabrakan. 

Di sini saya lebih suka menggunakan istilah tidak harmonis. Teori hukum memberi pelajaran bahwa hukum itu merupakan satu kesatuan sistem. Ilmu hukum tidak melihat hukum sebagai suatu chaos atau mass of rules, tetapi lebih sebagai suatu structured whole. Hukum sebagai structured whole berarti hukum sebagai sebuah tatanan yng utuh yang terdiri atas bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan satu sama lain, dan harus saling berinteraksi secara harmonis untuk mencapai tujuan kesatuan sistem tersebut Jalankan Amanat UU Terkait Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dalam sejumlah kesempatan saya sering mengatakan bahwa lembaga ini menjalankan perintah undang-undang, dan tak ada kerugian negara dalam penanam modal sementara sebesar Rp 6,7 triliun kepada Bank Century.

Berdasarkan UU No 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, sudah merupakan tugas LPS dalam menyelamatkan bank yang gagal berdampak sistemik seperti Century. Keputusan pengucuran dana itu pun tidak dilakukan atas dasar pertimbangan LPS sendiri melainkan dilaksanakan setelah mendapat mandat dari Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Jadi, apa pun persoalan selanjutnya, pengucuran dana talangan Bank Century telah sah di mata hukum. Apa yang dilakukan LPS semuanya atas amanat UU LPS.

Dengan begitu, LPS telah menjalankan kebijakan yang sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku, berlandaskan kepentingan rakyat secara konkret dan transparan. Kebijakan penyelamatan Bank Century sudah tepat demi menjaga kestabilan ekonomi agar tidak menularkan kepanikan psikologis di sektor keuangan. Tentu tidak berhenti di situ saja. 

Dana yang dikucurkan LPS untuk penyelamatan bank gagal, Bank Century, tidak hilang melainkan menjadi bagian dari penyertaan modal sementara pada bank gagal tersebut. Selanjutnya, berdasarkan pasal 30 (1) UU LPS, lembaga ini wajib menjual saham yang dimilikinya kepada pihak ketiga. Menurut rencana tahun 2014 LPS sudah harus menjual sahamnya kepada pihak ketiga . Dengan kepemilikan dana LPS saat ini sebesar sekitar Rp 36 triliun rupiah, lalu disandingkan dengan penyertaan modal pemerintah sebesar Rp 4 triliun atau bail out sebesar 6,7 triliun rupiah, di manakah sesungguhnya letak kerugian negara itu?

Dari sudut pandang hukum bisnis tak ada kerugian negara dalam kasus Century. Dana LPS, termasuk yang disetorkan pemerintah sebagai penyertaan modal, sudah atau menjadimodal institusi ini dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenang sebagai penjamin  impanan nasabah bank. Semua itu bukan lagi keuangan negara, melainkan kekayaan sendiri dari badan hukum tersebut.

Kalaupun kemudian LPS menderita kerugian, maka berdasarkan doktrin badan hukum, kerugian tersebut adalah kerugian badan hukum. Ini krena LPS merupakan badan hukum yang independen dengan kepemilikan asset/kekayaan sendiri. LPS memang bukan PT, tapi dia adalah institusi yang mempunyai skim bisnis sendiri. Di Amerika Serikat disebut Federal Deposit Insurance Corporation. Roh LPS sebenarnya adalah korporasi, tapi anehnya disebut lembaga (institution) yang kemudian sering dipahami secara keliru dalam melihat tugas, fungsi, dan wewenang LPS dalam menyelamatkan bank gagal.

Disharmoni Antar-Regulasi Namun, di balik karut marut penyelesaian hukum kasus Century, saat ini, sesungguhnya ada persoalan besar dalam sistem dan praktik hukum di negeri kita, yakni ketidakharmonisan (disharmonis) antar- regulasi. Sebut saja, misalnya, UU Perseroan Terbatas, UU Pasar Modal, UU Perbankan, UU BUMN di satu pihak dengan UU lain misalnya UU Tipikor, UU BPK, UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara di pihak lain. Peraturan yang masuk lingkungan hukum bisnis itu kerap saling bertentangan pada segi tertentu.

Terkait kekayaan BUMN misalnya. Jika mengacu pada UU Keuangan Negara, UU BPK, UU Tipikor, UU Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN, dan UU No 49/Prp/1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (sebelum di judicial review ke Mahkamah Konstitusi), maka kekayaan BUMN masuk bagian dari kekayaan negara.

Namun, jika merujuk pada UU BUMN, UU Perseroan Terbatas, UU Perbankan, UU Pasar Modal yang terkait lingkup bisnis secara tegas menyatakan kekayaan BUMN adalah kekayaan perusahaan. Ketidakharmonisan peraturan seperti itu memang sudah berlangsung sejak masa Orde Baru. Ini terjadi karena konsep pembangunan di masa lalu lebih diarahkan kepada pertumbuhan ekonomi, dengan meninggalkan bingkai hukum yang memadai.

Sayangnya, pascareformasi tak ada perubahan signifikan terhadap sistem dan praktik hukum kita. Walaupun perbaikan-perbaikan telah dilakukan, permasalahan-permasalahan hukum dan politik yang terjadi di Tanah Air membuat pembangunan hukum di negara hukum ini masih belum seperti yang diharapkan..

Jika semua disharmoni perundang-undangan tak segera diselesaikan secara tuntas, Indonesia bisa terancam krisis undangundang, bahkan krisis konstitusi. Ini tentu saja akan menimbulkan ketidakpastian hukum, yang pada gilirannya akan sangat memengaruhi iklim investasi yang sedang gencar-gencarnyadilakukan pemerintah. Karena itu, tak ada pilihan lain kecuali menjadikan hukum sebagai panglima, bukan politik.

Langkah paling penting untuk ini adalah review terhadap semua peraturan perudangan yang disharmonis. Pemerintah dan DPR harus segera duduk bersama untuk mengkaji ulang semua perundang-undangan yang saling berseberangan tersebut. Hanya dengan begitu pertengkaran hukum yang hanya menghabiskan waktu takkan terjadi lagi, dan virus politik pun menjadi tak mempan untuk menjalankan aksinya.



0 komentar:

Posting Komentar