Selasa, 16 Februari 2016

Resensi Novel di Bawah Langit Jakarta






Judul: Di Bawah Langit Jakarta

Pengarang: Guntur Alam
Tahun Terbit: 2014
Penerbit:Noura Books
Jumlah Halaman: 308




Ini adalah kali pertamanya saya membaca karya Guntur Alam. Mengingat banyak teman saya sesama pecinta buku yang memuji-muji karya Guntur Alam. 
Sebenarnya saya sudah lama ingin membeli novel ini di toko buku, tetapi lagi-lagi karena faktor 'U' akhirnya saya gagal lagi membaca novel ini. Dan Alhamdulilah, saat itu ada teman saya yang menjual novel ini dengan harga yang murah. Saya tak banyak berpikir lagi dan langsung membeli novel ini. :D


Novel ini diangkat dari kisah Bapak Sugiharto, mantan menteri BUMN Republik Indonesia periode  2004-2007. Dan sekarang menjabat sebagai Komisaris Utama Pertamina. Meski semuanya bukan kisah nyata, tetapi ada beberapa bagian yang memang kisah nyata hidup Bapak Sugiharto dari mulai menjadi pembantu rumah tangga, pengasong, tukang parkir bioskop, dan kuli di Pelabuhan Tanjung Priok termasuk menunggak SPP berbulan-bulan, jalan kaki berkilo-kilometer dan naik gerbong kereta api barang karena tidak punya ongkos.


Saat membaca novel ini, saya sudah bisa masuk ke dalam cerita. Karena memang gaya bahasanya Guntur Alam yang mengalir dan yah begitulah, sedikit nyastra meski kadang membuat saya mengantuk. Cerita dimulai ketika Pak Sugi sudah menjadi orang sukses, saat di dalam mobil ingin mengunjungi Pak SBY, Pak Sugi melihat seorang anak laki-laki sekitar berusia 12 tahun yang sedang menawarkan payung kepada para pejalan kaki. Dimana bocah laki-laki kurus, hitam dan ceking itu telah mengingatkan Pak Sugi pada kehidupan masa kecilnya.

Dulu, Pak Sugi dengan keluarganya tinggal di Medan hidup berkecukupan, tetapi karena ada suatu alasan Sugi dan keluarganya pindah ke Jakarta. Hidup miskin. Bahkan dibilang sangat miskin. 7 bersaudara. Karena SPP yang menunggak selama 6 bulan, Ayah Sugi terpaksa menitipkan Sugi kecil ke Pak Sukir dan Bi Karminah--bagian anggota keluarganya. 

Di sini Sugi akan dibiayai sekolahnya asalkan Sugi mau membantu pekerjaan rumah Bi Karminah. Setiap hari Sugi harus mencuci pakaian, piring-piring kotor, mengepel, dan menyiram bunga. Ada bagian yang membuat saya sampai menitikkan air mata. Ketika Sugi pulang sekolah dan harus berjalan kaki berkilo-kilometer karena Bi Karminah lupa memberikan ongkos. Berjalan kaki menggunakan sepatu butut yang bahkan sudah jebol, kakinya sampai berdarah. Di tengah jalan dia bilang, jangan menangis, Gi. Jangan menangis. Ini tak seberapa. Para pejuang kemerdekaan terluka lebih parah. Mereka tidak menangis karena mereka berjuang untuk hidup lebih baik.

Kemudian, Sugi kecil pun dibelikan sepatu baru oleh Bu Karminah karena merasa bersalah.

Ternyata, bahagia itu sederhana. Setidaknya bagi anak miskin seperti kami. Tak perlu sepatu mahal untuk ke sekolah atau motor baru. Kami hanya butuh sepatu yang layak pakai. Hanya itu.


Novel ini mengajarkan saya untuk tidak menyerah saat ditimpa ujian. Membuat saya berpikir ketika sedang mengeluh-eluhkan hidup. Ternyata ada yang lebih menderita dari saya. Dan saya belum ada apa-apanya dibanding dengan perjuangan hidup Pak Sugi. Tapi pada akhirnya, Allah pasti akan membalas segala kerja keras yang kamu lakukan dengan sempurna.

Novel yang sangat menginspirasi. Untukmu para anak muda, ayo baca novel keren ini. 


Kenangan ternyata sering begitu menyebalkan. Ia acap kali muncul tanpa belas kasihan, mengiris-iris hatiku dan mengingatkan betapa dulu kami memiliki hidup yang jauh lebih menyenangkan daripada sekarang. (hlmn 29).



Masa depan itu buah peristiwa yang kalian hadapi saat ini. Ia laksana puzzle, potongan cerita kalian pada masa akan datang. Puzzle-puzzle itu  akan membentuk kalian nantinya. Agar ceritanya menjadi utuh, kalian harus mengumpulkan sejak sekarang. (hlmn 38).



Ternyata hidup memang  tak pernah bisa berbaik hati pada orang miskin. Ia selalu saja memberikan pilihan-pilihan sulit. Dan, mau atau tidak, kita harus memilih yang paling baik di antara yang paling buruk. (hlmn 79).



Hidup  itu pilihan. Semua tergantung pilihan kita. Menjadi tukang bubur, pengayuh becak, kuli panggul, atau bahkan menjadi menteri kita yang memutuskan dan memilihnya. Bukan siapa-siapa. Tidak bapak, ibu, atau saudara-saudaramu. Semua terserah kamu. Mau menjadi apa dan siapa. Dan, setiap pilihan memiliki konsekuensi. Ketahuilah, tidak ada konsekuensi yang buruk. Semua baik, tergantung sudut pandang kita melihatnya. (hlmn 87).



Percayalah, Nak. Gusti Allah akan membalas segala kerja kerasmu dengan sempurna.  (hlmn 131).












1 komentar: