Selasa, 02 Mei 2017

Review Novel GAJAH MADA "Perang Bubat"


Sebenernya sudah lama pengin baca novel Perang Bubat—gara-gara pernah disindir kalau orang Sunda itu pemalas juga mengait-ngaitkan “gak boleh nikah sama orang Sunda dengan alasan bla-bla-bla”. :D Cuma bisa nyengir. *tergantung orangnya kali. :v
Ternyata setelah ditelusuri alasan bla-bla-bla itu, mereka masih mengaitkan dengan tragedi Perang Bubat. J Meski sering dengar cerita ini dari orang, tapi kurang seru kalau saya nggak baca sejarahnya secara langsung. J
==
Saya melahap novel ini kurang lebih 3 hari. Ngerasa aneh saja, padahal sejak duduk di bangku SD paling malas kalau baca buku sejarah, ngantuk. :D Tapi kok sekarang malah suka banget. Pergantian selera. :”D

==
Novel ini bercerita tentang ambisi Mahapatih Gajah Mada yang ingin membuat semua kerajaan bergabung dan tunduk pada Majapahit—kelompok yang lebih besar. Majapahit sudah berhasil menundukkan dompo, juga ingin membuat Sunda Galuh—kerajaan yang dipimpin oleh Maharaja Linggabuana lalu digantikan oleh putrinya Sekar Kedaton Dyah Pitaloka tapi tidak berlangsung lama karena Dyah Pitaloka meninggal—bunuh diri di lapangan bubat.
Mahapatih Gajah Mada memberikan dua pilihan, mau tunduk atau berdiri sendiri. Jika tetap kukuh berdiri sendiri dan tidak ingin bergabung dengan Majapahit, itu artinya Sunda Galuh memilih perang. Tapi keinginan Gajah Mada ini ditolak oleh Ibu Suri Gitaraja karena leluhurnya terlahir dari Sunda. Sunda sudah seperti keluarga, dengan Hayam Wuruk menikahi Dyah Pitaloka saja, sudah menjadi tanda Sunda Galuh mau bergabung dengan Majapahit.
Saya baca di Wikipedia, dan sumber-sumber lain sih, Dyah Pitaloka naik pitam dan Maharaja Linggabuana merasa terhina karena putrinya bukan dijadikan permaisuri, melainkan selir—sebagai persembahan Sunda Galuh tunduk pada Majapahit. Tapi di novel ini, perang bubat terjadi karena Dyah Pitaloka murka terhadap Gajah Mada yang sombong dan tidak ingin tunduk pada Majapahit.
==
Kisah Dyah Pitaloka dan Hayam Wuruk ini bagi saya menarik banget. Jadi ceritanya Hayam Wuruk sedang mencari permaisuri, dari semua lukisan putri kerajaan yang direkomendasikan oleh Ibu Suri … hanya lukisan Dyah Pitaloka-lah yang membuatnya tertarik. Tapi sayangnya, Dyah Pitaloka dan Hayam Wuruk tidak sempat bertemu karena Pitaloka bunuh diri di lapangan bubat sebelum pernikahannya. L
Si penulis berhasil, bahkan sangat berhasil membawa saya masuk ke dalam cerita yang ia suguhkan. Penggambaran Majapahit dan Sunda Galuh juga dikemas dengan apik sehingga saya bisa ikut merasakan seolah sedang berada di Majapahit dan Sunda Galuh.
==
Novel ini masuk daftar novel favorit saya di tahun 2017. Karakter tokohnya kuat, gak ada tokoh yang hanya sekadar numpang lewat. Tadinya saya sempat kesal karena tokoh Saniscara bagi saya gak penting-penting amat kenapa harus dihadirkan, saya ingin fokusnya cerita di novel ini lebih ke kisah cinta Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka Cirtarasmi, tapi setelah membaca sampai selesai, oh … jadi Saniscara ternyata …
==
Tokoh favorit saya di novel ini Sang Prajaka aka Riung Sedatu aka Saniscara yang saya sebutkan di atas tadi. Saya suka karakternya yang unik, tidur berjalan dan setiap bangun berada di tempat yang tidak ia kenali. Tapi sayang, Sang Prajaka di novel ini hanya fiktif belaka. L
Kedua, Dyah Pitaloka. Putri yang pintar menunggang kuda dan pemberani. Ia suka pergi diam-diam keluar istana menggunakan pakaian pria. Saya suka saya suka. :D
Saya juga suka dengan karakter Gajah Enggon dan Ibu Suri Gitaraja yang menyikapi persoalan di kerajaan dengan bijak. Kayaknya hampir semua tokoh saya suka termasuk Mahapatih Gajah Mada yang punya kekuatan angin lesus.
Meski novel ini jadi novel favorit saya, tetap saja ada bagian yang tidak saya suka dan masih ada yang mengganjal.
1.      Kenapa harus ada adegan sinetronnya, sih?
Jujur, waktu Saniscara teriak di telaga, “Citra, aku mencintaimu!”
Rasanya pengin lempar nih novel. Terus Dyah Pitaloka-nya juga dibuat jadi kayak perempuan gampangan. L  
Okelah, si penulis mungkin memang mau kasih penyedap novel ini, tapi gak perlulah selebay itu. Dengan perhatian dan perbuatan keduanya yang saling mencintai juga sudah cukup kok. Seperti Prabasiwi dan Kuda Swabaya yang saling menundukkan pandangan karena malu, lalu keduanya saling melirik dan tersenyum.
Cukup!
Untuk Saniscara dimaklumilah karena dia sakit jiwa, tapi untuk Sekar Kedaton Dyah Pitaloka yang digambarkan begitu saya gak terima! L
2.      Ini yang paling mengganjal. Si penulis gak menceritakan kenapa Sang Prajaka meninggalkan rumah. Kenangan pahit apa yang menyebabkan Sang Prajaka sampai kehilangan ingatannya. Saya pikir mungkin jawabannya ada di seri sebelumnya, atau juga di seri setelah Perang Bubat ini, tapi pas kepoin Goodreads katanya memang gak ada penjelasannya. L
3.      Sosok guru Kiai Pawagal yang misterius gak diceritain lagi. Mungkin ada di seri selanjutnya. Hmm talah. L
==
Selesai membaca novel ini, jujur sebagai orang Sunda saya tidak memihak Kerajaan Sunda Galuh, juga tidak berpihak ke Majapahit. Menurut saya, keduanya memang sama-sama salah. Sama-sama ingin menjadi orang yang paling berkuasa. Ini sudah lumrahlah, ya, di dunia kerajaan maupun politik.
Saya masih belum puas sebenarnya, pengin baca novel yang menyangkut Perang Bubat lagi yang ditulis oleh penulis lain. Masih kecewa sama penggambaran karakter Dyah Pitaloka karena dihadirkan tokoh fiktif Saniscara. Tapi sayang, saya sudah keliling cari buku Dyah Pitaloka dan Perang Bubat yang bukan ditulis Langit Kresna, gak ketemu. Belum jodoh. L Soalnya itu novel sudah langka.
Semoga suatu saat berjodoh. J






1 komentar:

  1. keren mbak ulasannya, tapi mengenai alasan kaburnya Prajaka saya rasa ada di seri sebelumnya. dia kabur karena kesalahpahaman pradhabasu. mungkin krn emg punya gangguan jiwa si prajaka lngsung kabur ketika mndapat tuduhan keliru dari ayannya. mengenai Dyah Pitaloka, mungkin sebenarnya pak Langit pengen Dyah Pitaloka mendapatkan kemerdekaannya sebagai seorang remaja yg lagi jatuh cinta berat. emang sih, agak keterlaluan kesannya kalo seorang Putri (apalagi sosok yg jd junjungan banyak oranng) digambarkan "gampangan". tapi klo dr sisi lain, tindakan itu cukup sesuai dg Psikologi seorang remaja putri yg masih labil plus lg jatuh cinta berat. jadilah perilaku yg aneh2 sampe lupa norma. hehehe. Tapi dengan penggambaran itu, Putri Dyah Pitaloka (versi novel ini) jadi perempuan yang merdeka, perpandangan terbuka krn tidak mau terkungkung pada norma yg mmbatasi haknya sebagai individu. dia berhak dong buat dapetin cintanya, tindakannya itu sebagai usaha untuk mendapatkan kepuasan dalam hal percintaan, tapi karena masih remaja ting-ting dan (biasanya) labil, jadilah superego dlm diri Dyah Pitaloka tidak mampu mengontrol perilakunya (ego). itu menurut saya, heuheuheu..... salam kenal

    BalasHapus