Selasa, 12 Januari 2016

Etika dan Etiket Dalam Berbahasa

KOMPAS, 13 Apr 2012. K. Bertens, Guru Besar Emeritus Unika Atma Jaya, Jakarta


Beberapa waktu lalu dalam rubrik ”Klasika” Kompas edisi 5 Maret 2012 dimuat artikel singkat, ”Etika Berbicara di Telepon”. Di situ dijelaskan bagaimana operator telekomunikasi di perusahaan harus menjalankan tugasnya. Misalnya, ia tidak boleh bicara dengan nada tinggi. Nada bicara harus selalu dijaga dan tetap tenang. Sebagai pembuka percakapan, ia harus mengucapkan salam dan menyebutkan namanya kepada lawan bicara. Sebelum menutup pembicaraan, ia tidak boleh lupa mengucapkan terima kasih kepada lawan bicara, dan seterusnya.

Tidak disangkal, semua petunjuk itu berguna dan malah penting karena penampilan seorang operator telepon untuk sebagian menentukan ”wajah” perusahaan bagi dunia luar. Namun, tidak benar bahwa hal-hal itu menyangkut etika. Petunjuk-petunjuk tadi bicara tentang etiket saja, bukan tentang etika. Mestinya penulis memakai judul ”Etiket Berbicara di Telepon”.

Seperti sering terjadi, di sini pun etika dicampuradukkan dengan etiket. Padahal, dua pengertian itu sangat berbeda: etika mengacu ke ranah moral, sedangkan etiket mengacu ke ranah sopan santun. Memang benar, ada alasan juga mengapa etika dan etiket sering disamakan. Pertama, bentuk kedua kata itu dalam bahasa Indonesia sangat mirip, seolah-olah yang satu hanya sekadar variasi dari yang lain. Kedua, dan lebih penting lagi, baik etika maupun etiket mengandung norma bagi tingkah laku kita.
Menurut etiket, kita sebagai pegawai perusahaan tidak boleh berbicara dengan pelanggan di telepon dengan nada tinggi atau dengan cara tidak sabar. Menurut etika, kita tidak boleh berdusta melalui telepon (ataupun dengan cara lain). Dalam dua contoh ini etiket dan etika memberi norma tentang perilaku yang sama, tetapi dari sudut pandang yang sangat berbeda.
Etiket menyoroti baik-buruknya perilaku dalam arti sopan santun. Etika menyoroti baik-buruknya perilaku dalam arti moral.
Di sini tentu tidak dimaksudkan bahwa segi sopan santun tidak penting dalam pergaulan di masyarakat. Hanya mau dikatakan bahwa segi moral jauh lebih penting lagi. Mengapa demikian? Karena etiket hanya memandang manusia dari luar, sedangkan etika menilai manusia dari dalam dengan melihat ke dalam hatinya. Misalnya, kita menyaksikan bagaimana seorang koruptor melalui pembicaraan di Blackberry-nya dengan pejabat pemerintah merencanakan suatu usaha korupsi besar-besaran. Perilakunya sangat sopan. Berulang kali kita dengar, ”Ya, Pak”, ”Tidak, Pak”, ”Terima kasih, Pak” dengan nada halus dan hormat. Namun, bagaimana dari sudut etika? Walaupun kita tidak mengerti isi pembicaraan karena orang itu terus pakai kode, pada kenyataannya perilakunya sangat tidak etis.
Barangkali sekarang sudah jelas mengapa etika dan etiket tidak boleh dicampuradukkan. Kalau kita lakukan begitu, kita bisa membuat kesalahan fatal dalam menilai tingkah laku orang. Banyak penipu berhasil dalam melakukan kejahatan justru karena berlaku sangat halus dan sopan. Sambil sepenuhnya memenuhi norma etiket, orang tetap bisa munafik. Etiket bisa menjadi kedok untuk menyembunyikan perbuatan yang tidak etis sekalipun. Dalam konteks etika, hal itu tidak mungkin.



KOMPAS, 30 Mar 2012. Taufik Ikram Jamil, Sastrawan Berbahasa Ibu Melayu Riau


Bagaimana perasaan Anda jika sesuatu yang Anda miliki tiba-tiba asing, padahal dari segi fisik, benda tersebut tak berubah sama sekali, bahkan Anda masih menyandang sebutan sebagai pemiliknya? Orang Melayu Riau memiliki pengalaman mengenai hal ini dari berbagai segi. Tak saja berkaitan dengan ekonomi dan politik, juga bahasa.
Ringkas cerita, bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu Riau. Kenyataan ini tentu saja menyebabkan tak sedikit orang Melayu Riau di bawah ambang sadarnya beranggapan bahwa bahasa Indonesia juga bahasa Melayu Riau. Tepat sekali yang dikatakan Sapardi Djoko Damono, salah seorang bintang sastra Indonesia, dalam bukunya bahwa besar kemungkinan hanya orang Melayu Riau dan Jakarta saja yang telah menjadikan bahasa Indonesia bahasa ibu sejak kecil.
Cuma tentu saja, banyak hal yang membedakan antara Melayu Riau dan Jakarta ketika berhadapan dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu. Pasalnya, dalam diri Melayu Riau, ketika menggunakan bahasa Indonesia, ada perasaan kepemilikan asal. Tak demikian halnya bagi orang Jakarta yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu dengan latar belakang keragaman.
Sekarang bayangkan saja diri Anda sebagai orang Melayu Riau yang sedang membaca koran atau majalah. Bagaimana perasaan Anda ketika bertemu dengan kata seronok dalam lembaran yang sedang Anda baca. Dalam bahasa Melayu Riau, seronok berarti sesuatu yang menyenangkan, sementara dalam media yang Anda baca mengarah pengertian pada pornografi.
Mungkin juga Anda menemukan frasa sumpah serapah yang dalam bahasa Indonesia cenderung bermakna sebagai suatu keadaan tindakan berkaitan dengan marah. Namun, dalam bahasa Melayu Riau, kumpulan dua kata itu berhubungan dengan jampi-jampi. Kalau berhubungan dengan marah, sebutannya adalah sumpah seranah. Jadi, keduanya dibedakan oleh satu fonem: antara -p- dan -n-, serapah–-seranah.
Alkisah, banyak lagi contoh yang dapat disebutkan. Namun, contoh-contoh tersebut sudah memadailah menunjukkan arah perkembangan bahasa Indonesia yang tak merujuk pada asal bahasa Indonesia itu sendiri. Hal semacam ini juga terjadi pada memasukkan serapan baru dalam bahasa Indonesia yang mengesampingkan bahasa asalnya, termasuk bahasa daerah lain—tentu saja perlu tulisan tersendiri untuk memperkatakannya.
Sebagai orang Melayu Riau, apa yang Anda lakukan berhadapan dengan kenyataan ini, apalagi kalau Anda seorang penulis? Pasalnya, di Riau sendiri, akhirnya kebanyakan orang mengikuti arus penggunaan kata-kata yang maknanya tak sesuai dengan kata asalnya dan menjadi bahasa ibu Anda dengan tujuan agar dapat dipahami. Di sisi lain, Anda menolak keadaan tersebut dengan alasan-alasan kebahasaan itu sendiri baik ditinjau dari psikologi maupun sosial, disadari atau tidak.


Antara Indonesia Melawan Qatar


Lampung Post, 21 Mar 2012. Kiki Zakiah Nur, S.S.
Menonton pertandingan sepak bola sebenarnya bukan kegemaran saya. Tetapi, demi menemani suami yang menggemari sepak bola, saya ikut menyaksikan pertandingan sepakbola kesebelasan Indonesia melawan Qatar yang disiarkan secara langsung oleh sebuah stasiun televisi swasta beberapa waktu lalu. Pertandingan babak pertama berakhir seri dengan kedudukan masing-masing 2.
Sebelum diselingi jeda iklan, reporter olahraga mengatakan kalimat yang bunyinya begini, “Baik, pemirsa. Jangan ke mana-mana. Kita saksikan pertandingan berikutnya antara Indonesia melawan Qatar setelah iklan yang berikut.”
Pemakaian pasangan antara…, melawan…, dengan contoh kalimat seperti itu sangat sering digunakan oleh reporter atau wartawan olahraga pada acara pertandingan sepak bola. Secara sepintas memang sepertinya tidak ada yang salah pada kalimat tersebut.
Namun, jika kita amati lebih lanjut, akan tampak kesalahannya. Kesalahannya adalah penggunaan kata antara yang dipasangkan dengan kata melawan.
Dalam bahasa Indonesia ada beberapa kata yang memiliki pasangan tertentu. Salah satunya kata antara yang berpasangan dengan dan. Kata antara dipasangkan dengan melawan tidak tepat. Jadi, seharusnya kalimat yang diucapkan oleh reporter olahraga tadi adalah: “Baik, pemirsa. Jangan ke mana-mana. Kita saksikan pertandingan berikutnya antara Indonesia dan Qatar setelah iklan yang berikut.”
Selain dengan kata melawan, kata antara juga sering dipasangkan dengan kata dengan, misalnya pada kalimat: Ternyata ada perbedaan yang sangat jelas antara keinginan saya dengan kenyataan yang saya hadapi. Pasangan antaradengan… pun salah. Kalimat itu harus diperbaiki menjadi kalimat: Ternyata ada perbedaan yang sangat jelas antara keinginan saya dan kenyataan yang saya hadapi.
Pasangan kata lain yang juga sering digunakan secara salah adalah baikataupun… seperti pada kalimat: Baik yang tua ataupun yang muda harus bisa menahan emosi. Pasangan kata baik adalah maupun. Kalimat itu seharusnya menjadi: Baik yang tua maupun yang muda harus bisa menahan emosi.
Contoh lainnya adalah tidak…, melainkan dan bukan…, tetapi. Kedua pasangan kata itu mempertentangkan dua hal, yakni mengingkarkan sesuatu dan mengiyakan yang lain. Yang diingkarkan oleh kata bukan ialah benda. Oleh sebab itu, untuk mengiyakannya harus digunakan kata yang cocok untuk kata benda, yaitu kata melainkan. Sementara itu, yang diingkarkan oleh kata tidak adalah kata selain kata benda, yakni kata kerja dan kata sifat. Jadi, kata yang tepat untuk menyatakan kebalikan kata kerja dan kata sifat adalah tetapi. Dengan demikian, pasangan yang benar adalah tidak…, tetapi… dan bukan…, melainkan… seperti pada kalimat: Gadis itu tidak cantik, tetapi menarik. Dan kalimat: Dia bukan kakak saya, melainkan saudara sepupu saya.
Media massa memang bisa menjadi alat pembelajaran yang sangat baik bagi masyarakat. Reporter atau wartawan di media massa mana pun memiliki peranan yang sangat besar dalam pembinaan berbahasa pada masyarakat.
Pemakaian bahasa yang tepat dalam media massa adalah guru yang paling berpengaruh dan akan memiliki dampak yang positif dalam pemakaian bahasa masyarakat. Sebaliknya, jika bahasa dalam media massa kacau, akan memberikan pengaruh yang negatif, terutama bagi mereka yang tidak tahu akan kaidah bahasa.


Rumah Sang Pendeta


Majalah Tempo, 19 Mar 2012. Putu Setia, Nama baptis Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda
Beberapa hari sebelum saya dibaptis sebagai pendeta pada 2010, ada ritual yang jelimet di rumah tinggal saya. Rumah saya dinaikkan “statusnya” menjadi griya. Ini sebutan tempat tinggal yang dianggap suci, karena penghuninya tak lagi tergoda urusan duniawi. Begitulah formalnya.
Saya sempat bergurau: “Di Jakarta saya pernah tiga tahun tinggal di griya.” Banyak orang tertawa dan ada yang menuduh saya “tak tahu aturan”. Tapi saya ngotot: “Ya, betul, saya tinggal di Griya Wartawan Cipinang Muara.” Orang menjadi maklum setelah saya jelaskan itu kompleks perumahan wartawan.
Griya atau kadang ditulis geriya memang untuk tempat tinggal para Brahmana, pendeta di kalangan umat Hindu. Banyak aturan yang dikenakan, baik untuk penghuninya maupun untuk tetamunya.
Dari mana istilah itu berasal? Orang langsung menyebut Sanskerta. Maklumlah, pendeta Hindu akrab dengan bahasa Sanskerta karena semua mantra pemujaan memakai bahasa itu. Sanskerta adalah bahasa Weda (Veda).
Dalam bahasa Sanskerta–kalau memang itu asal-usulnya–kata itu ditulis grhya dengan huruf “r” berisi titik di bawahnya. Bagi orang yang memahami Sanskerta, huruf “r” dengan titik di bawahnya dibaca “ri” sehingga grhya harus dibaca grihya. Namun orang Melayu yang tak mempelajari bahasa yang tak dipakai sebagai bahasa pergaulan itu lebih condong membaca dengan grahya, bahkan graha.
Ada Kamus Sanskerta-Indonesia karangan Dr Purwadi dan Eko Priyo Purnomo (keduanya pengajar di UGM Yogya) yang menyebutkan ada kata griya dalam bahasa Sanskerta yang berarti: rumah, wisma. Namun kamus ini dalam kata pengantarnya sudah merancukan bahasa Sanskerta dengan bahasa Kawi (Jawa Kuno), seolah-olah kedua bahasa itu sama.
Dalam Kamus Jawa Kuno-Indonesia susunan L. Mardiwarsito ditemukan kata grha (juga dengan huruf “r” memakai titik di bawahnya) dan diberi arti rumah. Grha (Jawa Kuno versi Mardiwarsito) ini lebih mirip dengan grhya (Sanskerta). Tapi grhya tidak berarti rumah, melainkan: suatu desa atau perkampungan dekat kota (antara lain di Kamus Sanskerta-Indonesia karya I Made Surada, lulusan S-2 Sanskerta Universitas Allahabad, India).
Yang hendak saya katakan adalah kata-kata yang muncul belakangan, apakah itu ada di bahasa daerah (lokal) atau bahasa nasional, banyak menyerap kata yang ada dalam bahasa sebelumnya. Bisa jadi griya yang dipakai dalam bahasa Indonesia saat ini adalah serapan dari grha (Jawa Kuno) dan grhya (Sanskerta).
Boleh jadi pula, kata graha yang banyak digunakan saat ini untuk arti yang sama, yakni rumah atau wisma, adalah serapan yang “salah paham soal bunyi”.
Dalam hal umat Hindu tetap memakai griya untuk rumah pendeta (padahal jika mengacu pada Sanskerta artinya tak pas) barangkali mewarisi kesalahpahaman ketika kata itu diserap ke Jawa Kuno. Harap dipahami, bahasa Kawi pun menjadi bahasa ritual umat Hindu–selain bahasa untuk seni sakral.
Tapi bisa pula pemakaian kata griya itu dengan kesadaran memasukkan kiasan–sebagaimana kekhasan orang Bali yang tecermin dalam bahasa daerahnya–karena para Brahmana di masa lalu memang harus dekat dengan kota karena mereka menjadi Bhagawanta (penasihat) kerajaan.
Kalau begitu halnya, saya berpikir sederhana, biarkan saja kata serapan itu dipakai apa adanya sesuai dengan kenyataan saat ini. Jadi, biarkan griya tetap dipakai sesuai dengan bunyi versi Sanskerta, sementara graha juga tetap dipakai dengan arti yang sama: rumah atau wisma.
Masalahnya adalah kata graha nyata-nyata ada dalam bahasa Jawa Kuno yang berarti buaya, sehingga Bina Graha adalah tempat untuk membina para buaya.
Namun berapa banyak pemakai bahasa Jawa Kuno saat ini? Kata graha sudah dianggap “bukan buaya”. Selain ada Bina Graha, ada Graha Pena (gedung Jawa Pos), Lila Graha (wisma pemda Bali di Bedugul), dan banyak lagi. Begitu pula kata griya sudah mulai “tak suci lagi”, istilah ini dipakai oleh banyak pengembang. Bahkan di Bali sendiri ada hotel dan perumahan memakai nama griya, padahal di sana tak ada pendeta yang tinggal.
Menyederhanakan serapan kata Sanskerta yang rumit itu sebenarnya sudah dilakukan sejak dulu tanpa ada masalah. Para pengamat mencatat, sudah sekitar 800 kata Sanskerta diserap ke bahasa Melayu dengan pengucapan versi Melayu.
Kita kadang lupa kalau payudara itu berasal dari kata payodhara (Sanskerta). Mungkin kita agak rikuh memakai kata yang lahir dari kiasan: buah dada.


Komedian?


KOMPAS, 16 Mar 2012. Kurnia JR, Cerpenis

Sekarang ada sebutan yang lebih populer bagi seniman panggung pengocok perut: komedian. Istilah pelawak mulai ditinggalkan tanpa alasan jelas kecuali kecenderungan masyarakat yang mudah terkesima oleh kosakata keinggris-inggrisan. Ini gejala peyorasi dalam linguistik. Dalam hal ini, kata pelawak mengalami degradasi semantik.
Peminjaman atau penyerapan kosakata dari bahasa asing adalah situasi alamiah dan wajar dalam suatu bahasa. Yang celaka jika proses itu berakibat pembonsaian khazanah bahasa kita sendiri. Kosakata asing diserap seraya merendahkan derajat makna padanannya yang sudah ada dalam bahasa kita tanpa urgensi sama sekali.
Apabila orang berpikir bahwa comedian memiliki spesifikasi makna yang lekat dengan konteks profesi, sesungguhnya begitu juga pelawak. Sejak TVRI berdiri dan menghibur kita, banyak sudah bermunculan pelawak atau grup lawak, yakni orang atau sekelompok orang yang pekerjaannya melucu, baik dengan alur cerita maupun berupa sketsa. Sekadar contoh, ada Srimulat, BKAK, Warkop Prambors (Warkop DKI), dan Jayakarta Group.
Sesungguhnya terminologi pelawak tak terasing dari kompetensi intelektual individual—jika itu yang dianggap tidak ada oleh mereka yang melebih-lebihkan istilah komedian di atas pelawak dewasa ini.
Kita memiliki Bing Slamet, Eddy Soed, Bagyo, Gepeng, Teguh (Srimulat), Dono-Kasino-Indro, dan lain-lain yang tak melucu dengan kepala kosong. Saat diwawancara wartawan, mereka mampu mengekspresikan penghayatan artistik sekaligus intelektual atas profesi mereka. Saat berbicara sebagai pelawak, mereka mengungkap sisi intelek yang dingin dan berjarak sehingga orang pantas tercengang menyadari bahwa dalam kelucuan mereka tersembunyi keseriusan profesional yang tak main-main.
Mungkin orang melongo kagum pada sejarah seni drama Barat yang berasal dari Yunani Kuno berupa tragedi dan komedi. Dari situ berkembang seni pertunjukan modern dalam aneka bentuk. Apa yang disebut comedian dalam seni pertunjukan modern Barat pun tak lagi terpatok pada makna pelakon sandiwara jenaka bertendensi filosofis. Kini motifnya hiburan belaka: sekadar berbagi keriangan dengan lelucon ringan. Secara historis itulah yang juga terjadi pada seni pertunjukan kita.
Dalam seni pertunjukan tradisional seumpama ketoprak, ludruk, topeng Betawi, wayang kulit dan golek, terselip humor, parodi, sindiran, kritik sosial, lelucon, dagelan. Wayang kulit yang notabene bertendensi filosofis dengan ajaran moral adiluhung bahkan memberi tempat khusus bagi para punakawan, tokoh-tokoh bijak di jagat wayang dengan tampang rakyat jelata yang naif dan kocak.
Seni pertunjukan humor mengiringi dinamika sosial kita ke bentuk yang sekarang. Tiada tuntutan bahwa lawakan harus meramu kritik sosial, apalagi mengemban elemen filosofis yang ”tidak praktis” pada masa ini.
Pelawak adalah profesi yang sejajar dengan penyanyi, musisi, pemain sinetron, sutradara, dan lain-lain di dunia hiburan dengan sejarah panjang seni pertunjukan sebagaimana comedian di negeri asalnya.

Hemat Perlu Cermat


Lampung Post, 14 Mar 2012. Chairil Anwar, Alumnus FKIP Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Universitas Lampung

Jika dalam artikel-artikel sebelumnya banyak dicermati tentang pemborosan dan kemubaziran kata yang seharusnya dihindari, tulisan kali ini akan membahas tentang penghematan satuan bahasa yang justru harus dihindari karena tidak sesuai dengan aturan kebahasaan.
Penghematan dilakukan untuk menciptakan tuturan atau tulisan yang efektif. Namun, kita sebagai pemakai bahasa jangan terlalu over dalam menyingkat, bahkan menghilangkan suatu unsur kebahasaan. Alhasil, alih-alih ingin menciptakan komunikasi yang efektif, bahasa yang digunakan justru meyimpang dari kaidah kebahasaan.
Tuturan atau satuan bahasa yang lazim digunakan oleh pemakai bahasa terkait dengan penyingkatan yang keliru di antaranya pada kata “pom bensin”, “promo”, “rinci”, “optimis”, “bra”, “relawan”, dan lain-lain.
Pada bentuk “pom bensin” terdapat kekeliruan pada salah satu unsurnya, yakni “pom”. Bentuk sebenarnya ialah “pompa”. Memang tidak dapat dimungkiri bahwa pemakai bahasa umumnya mengucapkan “pom bensin”, tapi hendaknya kita tetap menggunakan bentuk yang benar: “pompa bensin”. Memang terkesan janggal, karena kita sudah terbiasa dengan kesalahan itu.
Kemudian, kita kerap melihat spanduk, papan iklan, brosur, atau media iklan lainnya yang menggunakan kata “promo” berukuran besar untuk merayu konsumen membeli produk atau memakai jasa penyedia iklan tersebut. Ternyata, bentuk “promo” juga merupakan kekeliruan terkait dengan penyingkatan kata.
Dalam pemasangan iklan, space atau ruang memang perlu dipertimbangkan untuk menekan biaya. Namun, alangkah baiknya jika kita tetap menggunakan bentuk yang sudah dibakukan ketimbang mengorbankan bahasa Indonesia yang benar.
Menggunakan kata “promosi” tentu lebih menunjukkan kita sebagai bangsa yang bangga akan bahasa nasionalnya. Jangan sampai kesalahan berjamaah ini semakin mengesankan bentuk yang salah itu seolah-olah benar.
Pada kata “rinci” kita bahkan telah salah sampai pada bentuk turunanya, yakni “rincian”. Dalam KBBI tidak ada lema “rinci”, yang ada ialah “perinci”. Dengan demikian, bentuk turunannya yang benar ialah “perincian”.
Sama seperti kesalahan pada bentuk “rinci”, bentuk “bra”, “optimis”, dan “relawan” pun tidak terdapat dalam senarai KBBI. Kata yang sesuai dengan bahasa Indonesia yang telah dibakukan ialah “braseri”, “optimistis”, dan “sukarelawan”.
Sebelum kita semakin larut dengan kesalahan-kesalahan serupa, sebagai pemakai bahasa hendaknya kita harus lebih cermat dan teliti dalam menggunakan kosakata. Untuk itu, dalam memahami aturan kebahasaan, kita harus sedikit demi sedikit memahami aturan tersebut secara keseluruhan. Alhasil, overgeneralisasi akibat dari kekurangsempurnaan pemahaman terhadap bahasa yang baik dan benar dapat diminimalisasi.

 

Hafalan Shalat Delisa

Lampung Post, 7 Mar 2012. Suheri, Guru SMAN Sukadana, Lampung Timur


Hafalan Shalat Delisa adalah judul film berdasar novel karya Tere Liye. Film tersebut berkisah tentang seorang gadis cilik yang periang bernama Delisa. Perawan kencur itu berasal dari Desa Lhok Nga, Aceh Timur. Saat tsunami melanda Aceh, 26 Desember 2004, pada saat yang sama Delisa akan mengikuti ujian praktik salat yang ia pelajari.
Kemudian, tsunami mengubah jalan hidupnya. Delisa terpisah dari keluarganya, kakinya mengalami cedera saat gelombang air itu datang. Beruntung ia ditemukan oleh prajurit Smith saat pingsan. Kaki Delisa kemudian diamputasi dan dalam tenda penampungan korban bencana pascatsunami ia menjadi inspirasi dan penyemangat hidup bagi sesama korban bencana itu.
Tulisan ini tidak bermaksud mengomentari film tersebut, tetapi secara khusus akan membahas gugus konsonan /sh/ yang digunakan dalam kata “shalat” pada judul film tersebut. Selain kata “shalat”, kita kerap menjumpai (dalam bahasa tulis) gugus konsonan /sh/ yang digunakan dalam kata seperti shahur, shalawat, shubuh, shahih, shaf, dan lain-lain sebagai kata dari serapan bahasa Arab yang seolah-olah bergugus konsonan /sh/.
Penggunaan gugus konsonan /sh/ itu perlu dicurigai akibat dari analogi adanya gugus konsonan /kh/, seperti dalam kata khalayak, khalifah, khalik, khamar, khas, khawatir, khazanah, dan lain-lain sebagai kata serapan dari bahasa Arab bergugus konsonan /kh/. Pertanyaan yang muncul, benarkah analogi tersebut?
Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBI) Edisi III (2008) menyebutkan bila dua konsonan terdapat dalam satu suku kata yang sama (suku kata KKV), konsonan pertama terbatas pada konsonan hambat /p/, /b/, /t/, /d/, /k/, /g/, dan konsonan frikatif (bunyi desis) /f/, /s/, sedangkan konsonan keduanya terbatas pada konsonan /r/ atau /l/, /w/, /m/, /n/, /t/, /k/.
Menyoal konsonan frikatif /s/, gugus konsonannya adalah /sl/, /sr/, /sw/, /sp/, /sm/, /sn/, /sk/, /st/, /sf/ seperti pada kata slogan, sriwijaya, swalayan, spora, smokel, snobisme, skala, status, sferoid.
Gugus konsonan /sh/ pada contoh kata serapan asing itu diserap dari huruf “shad” huruf ke-14 abjad Arab. Konsonan itu dianggap sama dengan konsonan /kha/, huruf ke-7 abjad Arab. Karena /kha/ terdapat gugus konsonan /kh/, hal ini diperlakukan sama pada konsonan /sh/ huruf “shad” sehingga terjadilah penulisan kata serapan bahasa Arab tersebut yang sesungguhnya menyalahi kaidah TBBI, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.
Jika merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III (2005), penulisan kata shalat, shahur, shalawat, shubuh, dan shahih ditulis tanpa konsonan /h/ karena memang frikatif /s/ bahasa Indonesia tidak atau belum mempunyai gugus konsonan /sh/.
Hal ini dipertegas oleh Ratih Rahayu yang menyimpulkan bahwa dari sekian banyak kata yang berawalan huruf /s/ dalam KBBI, tidak ada satu pun kata yang berawalan /sh/, (lihat Ratih Rahayu dalam Laras BahasaFobia Bahasa Indonesia, hlm. 76, Kantor Bahasa Provinsi Lampung, 2008).
Sehingga shalat, shubuh, dan shahih jika ingin memenuhi kaidah penggunaan bahasa yang baik dan benar seharusnya ditulis salat, sahih, dan subuh.
Kesalahpahaman atau ketidakhirauan terhadap penggunaan tata bahasa, ejaan, dan penulisan unsur serapan dari bahasa asing tampaknya sudah mengakar kuat dalam diri masyarakat Indonesia. Sehingga, untuk mewujudkan pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar serta bangga berbahasa Indonesia masih berupa jalan yang sangat panjang.

Bahasa Indonesia sebagai Cermin?

Majalah Tempo, 20 Feb 2012. Berthold Damshauser, Kepala Program Studi Bahasa Indonesia, Universitas Bonn; Pemimpin Redaksi Orientierungen, dan redaktur Jurnal Sajak
Suatu hari pada jam mata kuliah bahasa Indonesia di Universitas Bonn, Jerman, kami berdiskusi tentang penerjemahan. Saya memberikan tugas kepada para mahasiswa untuk memahami dan menerjemahkan teks berita di sebuah harian Indonesia yang bukan saja mengandung kesalahan tata bahasa, tapi ditulis demikian kacau alias mengabaikan logika kalimat. Setelah 10 menit, para mahasiswa begitu putus asa dan menyatakan mogok.
“Pak, teks ini tak dapat kami terima. Sajikan dong teks yang ditulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kalau tidak ada, kami mohon kuliah ini digunakan untuk membahas tema lain. Bukankah telah lama Bapak berjanji menyampaikan renungan Bapak tentang perkembangan bangsa Indonesia?“
Merasa bersalah telah memilih teks yang tak bermutu–padahal memang itulah yang saya peroleh dari kebanyakan harian di Indonesia–saya menjawab: “Indonesia adalah bangsa muda yang telah mencapai kemajuan yang mengagumkan. Negara-bangsa RI, yang terdiri atas ratusan suku bangsa, sudah mencapai kesatuan yang kukuh dalam suasana demokratis, dan semakin berhasil mewujudkan prinsip keadilan, termasuk keadilan sosial. Bahkan dalam hal pendidikan dan teknologi….“
“Maaf, Pak,“ tegur sebuah suara, “mungkin lebih menarik bila Bapak kaitkan dengan bahasa. Misalnya, sejauh mana bahasa Indonesia jadi cermin perkembangan atau perubahan budaya Indonesia!”
“Baik,” jawab saya santai. “Tapi apa maksud Anda dengan ‘bahasa sebagai cermin’?”
“Begini, Pak, misalnya penyerapan kosakata asing yang terjadi pada abad lampau. Apa kira-kira kesimpulan Bapak jika mengamati kata serapan seperti politik, demokrasi, presiden, parlemen, konstitusi, republik, legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Apakah telah terjadi westernisasi bahasa Indonesia? Apakah itu seiring dengan westernisasi pemikiran. Soalnya, kata-kata tadi bukan kata sembarangan, kata-kata itu menyangkut dasar-dasar kenegaraan.“
“Westernisasi pemikiran? Jangan gegabah menyimpulkan. Itu cuma dampak penjajahan, juga di bidang bahasa. Bahasa Belanda ikut menjajah hingga kata-kata tadi, yang sebenarnya berasal dari bahasa Latin atau Yunani, ditanam paksa di tubuh bahasa Indonesia. Jangan lupa, itu cuma kata, tak berarti bangsa Indonesia kurang mandiri dalam menemukan konsep dan jati diri!”
“Saya setuju, Pak!” kedengaran suara mendukung. “Bapak betul. Itu  hanya istilah. Orang Jerman dulu juga dipaksa menyerap kata-kata Latin atau Yunani, termasuk kata demokrasi. Hal ini tidak berarti orang Jerman langsung demokratis. Tak jarang, kata cuma baju, cuma topeng. Contoh sebaliknya tentu ada, misalnya kata serapan yang  populer di Indonesia: korupsi.“
Wah, saya senang punya mahasiswa sepandai itu. Apalagi muncul suara dukungan berikutnya: “Saya juga setuju, Pak! Khususnya apa yang Bapak sebut jati diri dan kemandirian itu. Sebab, setelah westernisasi kosakata, bahasa Indonesia mulai haus akan kata serapan dari bahasa lain, khususnya bahasa Jawa yang feodal itu. Sehingga ada istilah seperti tut wuri handayani, prinsip mulia yang dulu suka diterapkan ABRI. Ada juga bina graha, tempat mukim seorang presiden yang berpedoman pada aja kagetan atau mikul dhuwur mendhem jero. Ketika presiden itu mengundurkan diri–resminya: berhenti–istilah yang dipakai adalah lengser keprabon alias turun takhta, seolah-olah ia seorang raja. Barangkali ia memang lebih seperti seorang raja daripada presiden. Tapi, ya, kalau begitu, bahasa juga cermin sesuatu….”
“Iya,” saya mencoba bersikap arif, “segala sesuatu selalu mungkin. Apakah ada komentar atau tambahan dari  yang lain?“
“Saya, Pak! Andai bahasa itu cermin, apa yang kira-kira dapat disimpulkan dari gejala terbaru bahasa Indonesia, yakni makin banyaknya kata serapan Arab?”
“Penggunaan dan penyerapan kosakata Arab wajar saja,” jawab saya. “Bahasa Arab adalah bahasa Al-Quran. Wajar kalau muslim di Indonesia berkiblat pada bahasa itu. Telah ratusan tahun itu terjadi. Sama seperti umat Katolik yang tetap menghargai bahasa Latin sebagai bahasa sakral.“
“Tapi, Pak, arabisasi bahasa Indonesia yang terjadi itu bukan pada istilah teologi, melainkan pada pembicaraan sehari-hari, misalnya sapaan afwan atau ukhti. Bahkan kata ibu mulai diganti dengan umi!” demikian sang mahasiswa kembali bertanya.
“Lho, bagus kan! Daripada mummy, lebih menarik umi,“ saya mencoba bergurau untuk melunakkan suasana. Percuma, serangan semakin jadi:
“Pak, saya kira rekan mahasiswa berhak diberi jawaban serius. Apa Bapak ragu akan peranan bahasa sebagai cermin? Apa Bapak tak merasa perlu memikirkan kemungkinan bahwa arabisasi kosakata bahasa Indonesia adalah penanda zaman, cermin arabisasi budaya Indonesia? Andai itu yang terjadi, adakah pengaruhnya pada toleransi orang Indonesia dalam beragama? Apa itu akan diganti oleh dogmatisme ala (Saudi-)Arab?”
Ngawur kan, pertanyaan begitu. Tak sudi kujawab! Tiba-tiba lonceng berbunyi, jam kuliah sudah selesai.

‘Kamseupay’

Lampung Post, 15 Feb 2012. Febrie Hastiyanto, Bloger, peminat bahasa media sosial


Awal tahun 2012 ditandai dengan kembali populernya akronim “kamseupay” di media sosial kita. Kabarnya akronim ini pernah populer pada tahun 1980-an, bersamaan dengan lahirnya bahasa gaul kala itu semacam “doski”, “kawula muda” atau “yoi”—sebelumnya lema “yoi” diucapkan “yoa”, misalnya dapat kita simak dalam percakapan di seri-seri film Catatan Si Boy (Cabo).
Akronim dan kata bahasa gaul remaja Ibu Kota kala itu produktif diintroduksi antara lain melalui corong radio Prambors Jakarta. Kamseupay secara umum dipanjangkan menjadi “kampungan sekali uh payah”, sejumlah variasi tafsir kamseupay lahir seperti “kampungan sekali udik payah”, atau menganggap kamseupay sebagai kata, bukan akronim. Kalangan yang menganggap kamseupay sebagai kata umumnya mengartikannya sebagai “kampungan”.
Baik dimaknai sebagai kata maupun akronim, kamseupay bertitik tolak pada kata “kampungan”. Kampungan sendiri menurut KBBI daring diartikan sebagai ‘berkaitan dengan kebiasaan di kampung, terbelakang (belum modern), juga kolot’; serta dapat juga diartikan sebagai ‘tidak tahu sopan santun, tidak terdidik, atau kurang ajar’.
Sudah tentu makna ini bersifat konotatif dan tidak selalu merepresentasikan karakteristik penduduk yang tinggal di kampung yang sering disinonimkan dengan desa dan dusun. Secara administratif, kampung merupakan satuan wilayah pemerintahan terkecil di bawah kecamatan dengan kata generik desa. Dari empat arti lema “kampung” dalam KBBI, salah satunya diartikan sebagai kelompok rumah yang merupakan bagian kota (biasanya dihuni orang berpenghasilan rendah).
Ketika digunakan sebagai media komunikasi, bahasa bersifat etis. Artinya, selain memiliki makna denotatif, bahasa—dalam hal ini kata—memiliki makna konotatif. Dalam konteks lema “kampung”, konotasi atau nilai rasa kebahasaan yang ada celakanya semua bersifat negatif, meskipun konotasi memungkinkan nilai rasa kebahasaan yang positif.
Makna paling netral dari lema “kampung” bersifat denotatif, yakni kata untuk menyebut satuan administrasi dan wilayah di Tanah Air.
Berbeda dengan antonimnya, makna lema “kota” menurut KBBI justru secara relatif memiliki konotasi positif, misalnya sebagai wilayah yang penduduk di dalamnya bergiat di sektor industri, atau mencerminkan kebudayaan dan pemikiran internasional (kosmopolitan).
Makna konotatif kampung dan kampungan sebagai tidak tahu sopan santun, tidak terdidik, dan kurang ajar sesungguhnya dapat berlaku kepada siapa saja, bahkan lebih banyak diidap oleh orang kota, sebagai antonim orang kampung. Pada praktiknya, pewarisan nilai-nilai, filsafat kehidupan, maupun tradisi justru berlangsung lebih intensif pada orang kampung. Meskipun makna kampung lebih banyak bersifat konotatif-negatif, tampaknya orang kampung lebih banyak bersikap cool. Kalau orang kampung disebut sebagai kampungan, mungkin pikir mereka: dasar kamu kekota-kotaan!

Sesuatu

Lampung Post, 8 Feb 2012. Dian Anggraini.


“Selamat Lebaran ya, semoga bisa menjadi sesuatu, Alhamdulillah bisa jadi sesuatu di bulan Ramadan ini.” “Sesuatu enggak menurut kamu?”
Bisakah Anda menebak kutipan kalimat siapakah itu? Saya yakin, dari anak kecil hingga orang tua bisa menjawab pertanyaan ini. Penutur tersebut pasti Syahrini, mantan teman duet Anang Hermansyah yang kini fenomenal.
Demam Syahrini kini menjangkiti masyarakat kita. Tidak hanya eksistensi berbusananya yang ditiru, gaya bicara juga menjadi tren. Kata “sesuatu” begitu populer. Rekan-rekan selebritas Syahrini pun mulai ketularan dan latah mengucapkannya saat disorot kamera.
Ia mengaku banyak orang yang mengikuti kata “sesuatu.” Namun, salah menggunakan kata tersebut dalam kalimat. Lalu, ia pun mengajari bagaimana cara memakai kata “sesuatu” yang benar menurutnya. “Kalau habis dandan aduh cantiknya, sesuatu banget,” ujar Syahrini. Ia juga mencontohkan bagaimana pengucapan kata sesuatu itu dilontarkan. “Harus lemah gemulai ngomongnya,” kata Syahrini.
Selain “sesuatu”, kata “alhamdulillah” juga tak kalah meledaknya. Saking populernya, sebuah penyedia layanan telekomunikasi memintanya untuk menjadi catatan suara. “Saya diminta oleh salah satu provider, karena banyak yang meminta dan mengunggah kata ‘Alhamdulillah yah, sebentar lagi Lebaran dan Alhamdulillah yah, Lebaran tahun ini dapat THR’,” ujarnya.
Menurut saya, entah apa yang istimewa dari ungkapan yang sering sekali diucapkan Syahrini ini. Sampai-sampai saat ini sudah menjadi buah bibir di mana-mana. Rasa-rasanya kata sesuatu dan alhamdulillah bukanlah kata yang asing untuk kita. Ah, mungkin (pikir saya), Syahrini publik figur sehingga apa yang dikatakannya menjadi sorotan banyak orang.
Sebenarnya apa sih arti sesuatu sebenarnya. Mari kita tengok Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Dalam kamus ini, sesuatu berarti barang atau hal yang tidak tentu (untuk menyatakan benda yg kurang tentu). Contohnya sesuatu yang ada padanya sangat dibutuhkan oleh orang lain.
Dari pengamatan saya di beberapa kalimat yang dilontarkan Syahrini, sesuatu-nya bisa berarti baik atau bagus. Semisal ya, alhamdulillah ya, berarti banyak orang senang dengan logat saya. Dan kata-kata saya dianggap sesuatu. Namun, tak jarang pula “sesuatu” bermakna abstrak. Contohnya semoga menjadi sesuatu banget.
Ini berbeda saat artis Peggy Melati Sukma memomulerkan kata pusing. Pusing versi Peggy berarti ungkapan kalau dia memang benar-benar pusing, di suatu kondisi atau pada lawan bicaranya. “Pusiiiiiingg…!” ujarnya, dengan intonasi panjang dan centil.
Setiap sisi publik figur memang selalu menjadi sorotan. Mereka menjadi contoh bahkan teladan masyarakat. Andai syarat menjadi artis harus mampu berbahasa yang baik, niscaya bahasa Indonesia tidak begitu abstrak di telinga kita. Semoga menjadi sesuatu. Salam.

 

 

‘Agama Sejati’ dan Celana Jins

Majalah Tempo, 30 Jan 2012. Rohman Budijanto, Wartawan
APA kira-kira reaksi publik kita ketika ada secarik produk mode diberi merek “Agama Sejati”? Besar kemungkinan akan gempar. Sulit terpikirkan bagaimana gaya berpakaian bisa diberi label “Agama Sejati”. Tapi, dari kawasan dunia bebas, produk berlabel True Religion ini malah sukses.
Saat masuk ke Indonesia, produk denim kelas atas karya suami-istri dari Los Angeles, Jeffrey dan Kym Lubell, ini tidak menimbulkan kehebohan. Salah satunya karena merek itu tak diindonesiakan, tetap True Religion. Ada jarak psikologis berbahasa yang menjaga agar yang memakai merek itu tidak dianggap sedang “mengamalkan agama sejati”.
Jika dicermati, ada banyak merek produk fashion dari negara Barat yang kalau diterjemahkan bisa aneh sekali. Ada produk laris berlabel Poison (parfum dari Christian Dior), Opium (parfum, Yves Saint Laurent), Agent Provocateurs (lingerie, parfum), Envy Me dan Guilty (keduanya parfum dari Gucci), Bathing Ape (produk fashion, lengkapnya A Bathing Ape in Lukewarm Water, disingkat BAPE), atau Urban Decay (mode).
Andaikan itu semua produk Indonesia, apa reaksi pasar ketika ada merek-merek produk gaya hidup berlabel Racun, Opium, Agen Provokator, Silakan Cemburu, Anda Bersalah, Monyet Mandi atau Monyet Mandi di Dalam Air Suam-suam, dan Busuknya Kota? Tentu bagian pemasaran harus bekerja lebih keras untuk meyakinkan pasar bahwa produk itu baik-baik saja, bahkan berkelas premium.
Bahasa Inggris dan bahasa-bahasa (negara) Barat yang berekonomi mapan memang memiliki pengalaman dan perkembangan tersendiri. Kebebasan, yang dibela melebihi agama, memungkinkan bahasa dimanfaatkan sejauh mungkin, termasuk ke wilayah yang diejek dan disakralkan. Itu semua demi gaya hidup, “agama” yang kini paling banyak pengikutnya, terutama di perkotaan.
Hebatnya, ketika masuk ke Indonesia, produk-produk bernama “subversif” itu tak mengalami masalah. Kita tak pernah mendengar, misalnya, kasus penolakan Opium dan Poison dalam pemeriksaan Bea dan Cukai. Padahal opium dan racun biasanya menimbulkan masalah serius bagi pembawanya.
Tak hanya dari permainan makna, kadang nama merek diambil dari ungkapan tabu yang dipermainkan. Misalnya produk SpEX Symbol dan FCUK, yang juga top di dunia gaya hidup. Kuat sekali terkesan bahwa merek ini dibuat agar orang menoleh ke arahnya karena refleks persepsi seksual. Setelah mencermatinya, bisa jadi orang akan tersenyum. Kecele, tapi gemas.
Di Indonesia, merek lokal juga mulai mengadopsi ide “nakal” seperti itu. Ketika baru diluncurkan, Es Teler 77 menimbulkan kernyit di dahi. Apa kaitan es campur berbahan dasar santan, avokad, dan nangka ini dengan “teler” alias mabuk? Ternyata tak ada. Itu hanya pilihan nama.
Di Yogyakarta ada Dagadu. Ini adalah kata prokem dari “matamu”. Di sana, itu berarti umpatan. Tapi, setelah nama prokem berlambang mata ini dijadikan merek aneka suvenir, terutama kaus, ternyata sangat terkenal. Memang ada jarak psikologis yang membuat kata “matamu” terasa empuk bila berbentuk prokem: Dagadu.
Di Surabaya juga ada “merek” kuliner yang jadi ikon: Rawon Setan. Rawon ini diembel-embeli setan, konon, karena bukanya menjelang tengah malam. Berbagai kalangan, termasuk para agamawan (lawan abadi setan), ternyata menyukai makanan berbahan kuah hitam dan empal daging serta kecambah ini. Peduli setan namanya, yang penting enak.
Fenomena lain, di mal juga ditemukan minuman Air Mata Kucing. Orang mulai menerima produk mirip teh dari kelengkeng kering ini setelah menepis anggapan sedang menyesap cairan dari mata kucing. Ada juga produk distro Patahati bersimbolkan hati retak. Selain itu, ada resto Mbah Jingkrak, berlogo nenek berkebaya sedang berjingkrak.
Tentu masih banyak produk kreatif bernama di luar kotak kelaziman. Mereka menyerap anggapan negatif untuk memberi energi positif dalam dunia komersial yang memerlukan kejutan.
Pabrik rokok telah mendahului memakai nama “sepele” yang akhirnya jadi hebat. Djarum, Gudang Garam, dan Bentoel (bentul adalah sejenis talas) bisa menjadi contoh.

Tentu saja produk sukses tak hanya mengandalkan nama aneh. Nama keluar dari pakem hanyalah bahasa penggoda, agar orang menoleh ke produk itu di tengah rimba persaingan. Selebihnya, kesuksesan ditentukan kualitas dan penerimaan pasar.

0 komentar:

Posting Komentar