Selasa, 12 Januari 2016

Kode Etik Profesi

Kode etik sebetulnya bukan merupakan hal yang baru. Sudah lama diusahakan untuk mengatur tingkah laku moral suatu kelompok khusus dalam masyaraat melalui ketentuan-ketentuan tertulis yang diharapkan akan dipegang teguh oleh seluruh kelompok itu. Salah satu contoh tertua adalah “Sumpah Hippokrates” yang bisa dipandang sebagai kode etik ternama untuk profesi dokter. Hippokrates adalah dokter Yunani kuno yang digelari “bapak ilmu kedokteran” dan hidup dalam abad ke-5 S.M. 

Menurut ahli-ahli sejarah belum tentu sumpah ini merupakan buah pena Hipokrates sendiri, tapi
setidak-tidaknya berasal dari kalangan murid-muridnya dan meneruskan semangat profesional yang diwariskan panjang, namun belum pernah dalam sejarah kode etik menjadi fenomena yang begitu banyak dipraktikkan dan tersebar begitu luas seperti sekarang ini. Jika sungguh benar zaman kita diwarnai suasana etis yang khusus, salah satu buktinya adalah pernanan dan dampak kode-kode etik ini. Profesi adalah suatu moral community (masyarakat moral) yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama. Mereka yang membentuk suatu etika profesi disatukan  juga karena latar belakang pendidikan yang sama dan bersama-sama memiliki keahlian yang tertutup bagi orang lain. 

Dengan demikian profesi menjadi suatu kelompok yang mempunyai kekukasan tersendiri dan karena itu mempunyai tanggung jawab khusus. Karena memiliki monopoli atas keahlian tertentu, selalu ada bahaya profesi menutup diri bagi orang dari luar dan menjadi suatu kalangan yang sukar ditembus. Bagi klien yang menggunakan jasa profesi tertentu keadaan seperti itu mendapatkan kecurigaan jangan-jangan ia dipermainkan. Kode etik dapat mengimbangi segi negatif profesi ini. Dengan adanya kode etik, kepercayaan masyarakat akan suatu profesi dapat diperkuat, karena setiap klien mempunyai kepastian bahwa kepentingannya akan terjamin. Kode etik ibaratkan kompas yang menunjukkan arah angin suatu profesi dan sekaligus juga menjamin mutu moral profesi itu di mata masyarakat.

 Dalam konteks ini etika terapan memegang peranan penting. Kode etik bisa dilihat sebagai produk etika terapan, sebab dihasilkan berkat penerapan pemikiran etis atas suatu wilayah tertentu, yaitu profesi. Tapi setelah kode etik ada, pemikiran etis tidak berhenti. Kode etik tidak menggantikan pemikiran etis, tapi sebaliknya selalu didampingi oleh refleksi etis. Kode etik yang sudah ada, sewaktu-waktu harus dinilai kembali dan jika perlu direvisi atau disesuaikan. Hal itu bisa mendesak karena situasi yang berubah.

Dalam dekade-dekade terakhir ini timbulnya komputerisasi, misalnya bagi banyak profesi menciptakan suatu situasi yang baru yang menimbulkan implikasi-implikasi etis baru pula. Kode etik bisa diubah juga—atau dibuat baru, jika sebelumnya tidak ada—setelah terjadi penyalahgunaan yang meresahkan masyarakat dan membingungkan profesi itu sendiri. Ini terbukti suatu cara ampuh untuk memulihkan kembali kepercayaan masyarakat yang sedang tergoncang. Sebuah contoh konkret dapat menjelaskan maksudnya. Di beberapa negara hubungan antara para dokter dan industri farmasi diatur dengan kode etik. Hal itu dianggap perlu, setelah dalam rangka promosi obat-obatan industri farmasi mulai memberikan hadiah kepada dokter (berupa tiket pesawat, laptop, dan sebagainya), bila ia mencantumkan obat tertentu dalam resep-resep yang ditulisnya bagi pasiennya. Dari sudut etis, praktik seperti itu patut diragukan. Sebab, di satu pihak, jika mau berobat, pasien tergantung pada dokter yang menulis resep. Pasien sendiri tidak tahu-menahu tentang obat dan seluk-beluknya. Bagi dia tidak ada jalan lain daripada menyerahkan diri sepenuhnya kepada dokter yang merupakan profesional di bidang ini. Di lain pihak, justru dasar profesinya dokter harus mengambil keputusan—juga dalam menulis resep—semata-mata demi kepentingan pasien dan bukan karena kepentingan lain. Adalah tidak etis, jika dokter mengambil keputusan demi kepentingan pribadi yang diperolehnya melalui industri farmasi. Apalagi, dalam hal ini pasien mudah dirugikan, karena obat yang satu ini agaknya lebih mahal dari obat lain, obat genetik, umpamanya. Kesulitan moral seperti itu dan keresahan yang diakibatkannya dalam masyarakat bisa diatasi dengan membuat kode etik, yang berlaku bagi profresi dokter, bagi industri farmasi atau keduanya. Dalam kasus-kasus serupa itu kode etik sudah sering membuktikan kegunaannya dalam memberi arah moral yang betul kepada profesi dan menjamin kepercayaan masyarakat.

Supaya dapat berfungsi dengan semestinya, salah satu syarat mutlak adalah bahwa kode etik itu dibuat oleh profesi sendiri. Kode etik tidak akan efektif, kalau didrop begitu saja dari atas—dari instansi pemerintah atau instansi lain—karena tidak akan dijiwai oleh cita-cita dan nilai-nilai yang hidup dalam kalangan profesi itu sendiri. Instansi dari luar bisa menganjurkan membuat kode etik dan barangkali bisa membantu juga dalam merumuskannya, tapi pembuatan itu sendiri harus dilakukan oleh profesi bersangkutan. Supaya bisa berfungsi dengan baik, kode etik harus menjadi hasil self-regulations (pengaturan diri) dari profesi. Dengan membuat kode etik, profesi sendiri akan menetapkan hitam atas putih niatnya untuk mewujudkan nilai-nilai moral yang dianggapnya hakiki. Hal itu tidak pernah bisa dipaksakan dari luar. Hanya kod etik yang berisikan nilai-nilai dan cita-cita yang diterima oleh profesi itu sendiri bisa mendarahdaging dengannya dan menjadi tumpuan harapan untuk dilaksanakan dengan tekun dan konsekuen.
                
Syarat lain yang harus dipenuhi agar kode etik berhasil dengan baik adalah bahwa pelaksanaannya diawasi terus-menerus. Pada umumnya kode etik akan mengandung sanksi-sanksi yang dikenakan pada pelanggar kode. Kasus-kasus pelanggaran akan dinilai dan ditindak oleh suatu “dewan kehormatan” atau komisi yang dibentuk khusus untuk itu. Karena tujuannnya adalah mencegah perilaku yang tidak etis, sering kali kode etik berisikan juga ketentuan bahwa profesional berkewajiban malapor, bila ketahuan teman sejawat melanggar kode etik. Ketentuan ini merupakan akibat logis dari self-regulations yang terwujud dalam kode etik: seperti kode etik itu berasal dari niat profesi mengatur dirinya sendiri, demikian juga diharapakan kesediaan profesi untuk menjalankan kontrol terhadapa pelanggar. Namun demikian dalam praktik sehari-hari kontrol ini kerap kali tidak berjalan dengan mulus. Karena rasa solidaritas tertanam kuat dalam anggota-anggota profesi, seorang profesional mudah merasa segan melaporkan sejawat yang melanggar. Tetapi dengan perilaku semacam itu solidaritas antar kolega ditempatkan di atas etika profesi dan sebetulnya maksud kode etik dengan itu tidak tercapai. Sebab, maksudnya adalah menempatkan etika profesi di atas segala pertimbangan lain. Sebagai contoh profesi yang mempunyai kebiasaan menyusun kode etik dapat disebut : dokter, perawat, petugas pelayanan kesehatan lainnya, pengacara, wartawan, insinyur, akuntan, perusahaan periklanan, dan lain-lain. Suatu gejala agak baru adalah bahwa sekarang ini bukan saja profesi, tapi juga perusahaan-perusahaan cenderung membuat kode etik sendiri. Rasanya, dengan itu mereka ingin memamerkan mutu etisnya dan sekaligus meningkatkan kredibilitasnya. Surat kabar Amerika terkenal, The Washington Post, yang antara lain mendapat nama karena mulai membongkar “The watergrate affair” yang akhirnya memaksa Presiden Nixon mengundurkan diri, membuat suatu kode etik terkenal yang berlaku khusus untuk karyawan surat kabar itu. Banyak perusahaan lain, khususnya di Amerika Serikat, menyusun kode etik sendiri, sampai-sampai bisa timbul kesan bahwa pemilikan kode etik menjadi semacam mode saja, sama seperti memiliki logo atau pakaian seragam. Biarpun bahaya mode itu memang ada, namun upaya memiliki kode etik bisa sungguh-sungguh menunjukkan mutu etis suatu perusahaan dan karena itu pada prinsipnya patut dinilai positif.


Sumber : K. Bertens, Etika, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993.

0 komentar:

Posting Komentar