Sabtu, 13 Februari 2016

Review Novel Perahu Cinta



Penulis: Nuniek KR
Penerbit: Zettu
Ukuran: 13 x 19cm
Cover: Soft Cover
Isbn: 9786027999152



Oke. Kembali lagi dengan saya Revalina S. Temat yang akan menamani kalian. Kali ini saya akan mengupas novel Perahu Cinta karya Nuniek Kharisma setajam SILETT! Haha. Sudahlah, serius, Dev. Oke, FOKUS!

Setelah novel Perahu Kertas karya Dee Lestari yang dulu sempat booming, ternyata ada novel yang berjudul Perahu lainnya seperti Perahu Cinta. #Eaak.
Baiklah, saya akan mulai me-review novel si Teteh geulis asal Banjar ini. Kalau gak salah sih. :3

Novel ini menceritakan tentang gadis bernama Mai yang hidup dengan seorang neneknya tanpa orang tua. Dia adalah anak yatim piatu. Bersetting di sebuah desa yang terpencil bernama Desa Cikahuripan, Ciamis. Di mana kalau mau menyeberang masih harus pakai getek. Tahu kan gimana ribetnya nyeberang pakai rakit kayak zaman dulu itu?

Mai gadis berjilbab yang tekun beribadah, setiap sore Mai mengaji di pesantren dan harus menyeberang menggunakan rakit. Dan si penggerek rakit ini adalah seorang pria yang sebatang kara juga. Berkulit hitam dan misterius. Membuat Mai penasaran termasuk saya juga. Jujur saja, tokoh si penggerek rakit ini mengingatkan saya akan tokoh Ambo di novelnya Tere Liye, Rindu.

Seperti biasa, novel ini dihadirkan anak baru yang ganteng seperti novel-novel remaja lainnya. Tetapi si penulis berhasil meraciknya dengan bagus. Sekolah Mai kedatangan anak baru bernama Mirza yang juga sekaligus tetangga Mai. Orangtua Mirza sama-sama dokter. Keluarga mapan.

Novel Perahu Cinta mengingatkan saya akan kampung halaman, jadi ingat saat dulu belajar ngaji kitab bareng santri-santri lain. Suasana di kampung pun sangat saya rasakan. Ceu Nuniek mampu membuat saya masuk ke dalam cerita yang ia suguhkan. Kerinduan akan kampung halaman pun sedikit terobati.

Novel ini tadinya saya kira adalah novel remaja yang menceritakan kisah cinta anak-anak ABG seperti biasanya. Ternyata novel ini masuk genre romance Islami.

Saya membaca buku ini dalam sekali duduk saja. Kadang-kadang saya tertawa ketika membaca novel ini, Ceu Nuniek bukan hanya pintar bercerita, tetapi juga punya bakat melawak. Dan itulah yang harus dimiliki oleh setiap penulis agar pembaca tidak merasa bosan saat membacanya.

Novel ini juga bukan hanya sekadar berisi cinta-cintaan saja, tapi kaya akan ilmu, termasuk akhlak dan ilmu agama. Mai digambarkan sebagai gadis yang santun dan polos. Bahkan saya pun gemas sekali. Dia banyak melamun ketika sosok Mirza dekat dengannya. Dari mulai menolong Mai yang terkena pecahan beling, kemudian Mirza ikut belajar kitab di pesantren bersama Mai, lalu dia pun ikut mengajar di sekolah RA bersama Mai, dan Devi—teman Mai.

Ada adegan ketika Mai mengantarkan obat untuk si penggerek rakit dengan Mirza, Mai terkejut ternyata si penggerek rakit sedang mengajar anak-anak dengan mengenakan baju koko. Dan sejak saat itulah Mai mulai memerhatikan si penggerek rakit misterius yang ternyata namanya adalah Hafidz.

Mai dilanda kebingungan ketika ia dilamar oleh Mirza. Ia pun shalat istikharah karena perasaannya selalu mengarah pada Hafidz. Lelaki yang dewasa, selalu menjaga pandangannya apabila bertemu dengan Mai. Apalagi ketika melihat perahu yang Hafidz buat, meninggalkan tanda tanya besar di kepala Mai. Karena saat itu ketika melihat kaki Nai diperban, Hafidz memberikan kantong plastik agar kaki Mai tidak infeksi. Bentuk perhatian itu membuat Mai merasa kalau Hafidz juga menyukainya. Namun sayang, ketika Mai memutuskan untuk memilih Hafidz, tapi neneknya malah melarang Mai bertemu dengan Hafidz. Dengan embel-embel Hafidz adalah anak sebatang kara yang tidak jelas asal-usulnya. Intinya nenek Mai ingin yang terbaik untuk Mai.
Hmm. Kira-kira gimana, ya, ending dari novel ini?
Yang penasaran, baca saja novelnya. :p


Tetapi di balik kelebihan pasti tak lepas dari yang namanya kekurangan. Maaf, ya, Ceu. :D
Banyak penempatan tanda baca yang diletakan seenaknya. Dan menurut saya novel ini memang bagus dan recomended. Tapi sayang sekali, si penulis terkesan seperti terburu-buru menyelesaikan novel ini. Padahal novel ini akan sangat bagus jika ditulis lebih tebal lagi. Banyak yang menarik untuk diceritakan. Contohnya tentang kehidupan Resti yang masih sekolah tapi sudah dijodohkan. Tentang Ustadz Furqon. Atau tentang kehidupan Devi misalnya. Haha. *Yang ini abaikan :v Apalagi tentang Hafidz. Chemistry antara Mai dan Hafidz itu kurang diperdalam lagi. Konflik batinnya juga perlu ditambah biar bikin pembaca bisa sampai menitikkan air mata. #Eaak.

Oh, sungguh Ceu Nuniek, saya sangat menyayangkan sekali novel ini ditulis sangat tipis. Saya pikir Ceu Nuniek cocok di genre Romance Islami, ditambah saya suka gaya bahasanya yang mengalir dan apa adanya, kalau terus dilatih Insya Allah lama-kelamaan akan seperti karya Habiburahman.
Semangat, ya, Ceu!
Sekian review dari Revalina S. Temat. Haha.

Salam karya. ^_^


2 komentar: