Minggu, 07 Juli 2019

REVIEW PUTRI RAJAPATNI


taken by Wulan Kenanga


Judul
: PUTRI RAJAPATNI
Penulis
: Putu Felisia
Tebal
: 275 halaman
Ukuran Buku
: 14 x 21 cm
ISBN
: 978-602-5509-52-0
Terbit
: Juni 2019
Genre
: Fiksi (Novel)
Harga
: Rp69.500,-

Blurb:
Lahir di dalam istana Kerajaan Singasari tidak lantas membuat Gayatri jadi putri raja yang penurut. Gayatri tumbuh menjadi seorang perempuan yang tangguh dan memegang teguh prinsip. Sifatnya yang berbeda dengan putri-putri lain membuat Raden Wijaya jatuh hati lalu melamarnya di hadapan orang banyak.
Namun keruntuhan Singasari menghancurkan segalanya.
Hidup dalam pelarian perlahan-lahan membuat Gayatri melupakan kerajaan dan Raden Wijaya. Meski kemudian Raden Wijaya datang kembali, dan menyatakan tekad mendirikan kerajaan baru: Majapahit.

*

Ini adalah cerita sejarah yang diceritakan dalam sudut pandang perempuan. Kerasnya peperangan, kotornya politik istana, hingga cinta… semua mewarnai hidup Gayatri Rajapatni. Seorang perempuan yang merebut hati pendiri Majapahit.

===

Terakhir saya membaca novel fiksi sejarah itu berjudul Perang Bubat karya Langit Kresna. Putri Rajapatni ini adalah novel historical romance kedua yang saya baca.
Jujur, sejak sekolah saya tidak suka atau tidak tertarik belajar sejarah. Ngantuk. Akan tetapi, belajar sejarah lewat novel I think this is so fun. Saya menikmati banget kedua novel sejarah ini.
Dari novel Perang Bubat, saya jadi tahu tragedi Perang Bubat. Kisah hidup Dyah Pitaloka yang bunuh diri di lapangan bubat karena suatu konflik yang pelik. Namun, yang menarik buat saya adalah kisah cinta Hayam Wuruk terhadap Dyah Pitaloka yang hanya tahu dari lukisan dan belum pernah bertemu. Kalian bisa membaca kisah mereka langsung dengan membaca novelnya, ya.
Nah, Gayatri Rajapatni ini adalah nenek dari Hayam Wuruk. Menceritakan kehidupan Gayatri dari seorang putri menjadi gadis jelata, hingga menjadi perempuan yang berpengaruh terhadap suksesnya Majapahit. Rajapatni mengingatkan saya akan Dong-yi. Novel ini menurut saya sangat rekomen bila kamu ingin belajar sejarah. Asal-usul Gajah Mada pun diceritakan di sini. Tak hanya itu, kamu akan tahu sejarah Kerajaan Singasari, Kadiri, dan tentunya Majapahit. Novel ini semakin manis dengan hadirnya kisah cinta Gayatri dan Raden Wijaya. Saya mengucapkan terima kasih kepada penulisnya karena sudah menulis Putri Rajapatni. Semoga makin banyak penulis yang menulis novel sejarah seperti Mbak Putu Felisia dan Langit Krisna, ya. đź’•


#putrirajapatni #putufelisia #reviewbuku #penerbitlokamedia #bukulokamedia #bookstagram #bookworm #booklover

Selasa, 02 Mei 2017

Review Novel GAJAH MADA "Perang Bubat"


Sebenernya sudah lama pengin baca novel Perang Bubat—gara-gara pernah disindir kalau orang Sunda itu pemalas juga mengait-ngaitkan “gak boleh nikah sama orang Sunda dengan alasan bla-bla-bla”. :D Cuma bisa nyengir. *tergantung orangnya kali. :v
Ternyata setelah ditelusuri alasan bla-bla-bla itu, mereka masih mengaitkan dengan tragedi Perang Bubat. J Meski sering dengar cerita ini dari orang, tapi kurang seru kalau saya nggak baca sejarahnya secara langsung. J
==
Saya melahap novel ini kurang lebih 3 hari. Ngerasa aneh saja, padahal sejak duduk di bangku SD paling malas kalau baca buku sejarah, ngantuk. :D Tapi kok sekarang malah suka banget. Pergantian selera. :”D

Jumat, 06 Januari 2017

Semua Berawal dari Doa

Sudah lama tidak mengisi Blog. Kali ini saya akan menulis “Semua Berawal dari Doa”. Tulisan ini adalah hasil dari perbincangan dengan pengusaha Percetakan—Mbak Rina Rinz di Facebook. Gara-gara komentarnya yang menggelitik saya, saya jadi teringat sesuatu.
Jadi dahulu kala, tinggallah seorang gadis pemimpi. Duh, pembukanya sudah seperti dongeng. :’D

Kamis, 08 Desember 2016

Kamis, 17 November 2016

REVIEW NOVEL JANJI BUNGA MATAHARI

taken by Rizky Kurniawan. Design cover Janji Bunga Matahari


Blurb:

Aku tidak pernah cukup paham tentang cinta
Bertemu denganmu, bisakah kukatakan adalah suatu kebetulan?
Kau menyeretku begitu dalam, hingga membuat ruang di dada serta pikiranku hanya tertuju padamu
Tatapanmu dingin dan menyimpan luka teramat dalam.
Bisakah aku menjadi penghapus akan sedihmu itu?
Namun, ketika aku berlari dan mencari tahu banyak hal tentangmu,
Aku justru kian menyadari, bila kita ditakdirkan bertemu namun tidak untuk bersatu.

Selasa, 15 November 2016

REVIEW NOVEL HEIDI


Blurb:

Heidi adalah cerita dari Swiss tentang seorang gadis periang berhati lembut. Kisah ini terus digemari pembaca sejak diterbitkan lebih dari 100 tahun lalu.
Sepeninggal orang tuanya, Heidi tinggal dengan Bibi Dete. Saat usianya delapan tahun, dia ditiitipkan pada kakeknya di Gunung Alm. Heidi menghabiskan hari-harinya di gunung dengan riang bersama kakek, Peter si gembala dan neneknya, juga kambing-kambingnya.
Belum lama merasakan kebahagiaan di pegunungan, Bibi Date kembali dan membawanya ke Frankfurt untuk menemui Clara, anak perempuan sakit-sakitan dari keluarga kaya. Walaupun keluarga Clara memperlakukannya dengan baik, tetapi Heidi begitu merindukan gunungnya yang indah.
Dengan kelembutan dan kebaikan hatinya, Heidi mengubah hidup orang-orang yang dekat dengannya dan membuat segalanya menjadi lebih baik.

Minggu, 23 Oktober 2016

LOKA MEDIA AKHIRNYA BERDIRI SENDIRI



Menjalani Usaha Penerbitan

Menjalani usaha memang tidak selalu jalannya mulus, apalagi jika perusahaan baru. Kita harus merintis dari bawah dulu, menikmati proses sampai suatu saat benar-benar ada di puncak.
Buku pertama yang Loka terbitkan adalah When I Open My Eyes dan I Miss You hasil dari event cerpen yang kami adakan. Sebenarnya itu adalah lomba cerpen yang saya adakan di penerbit teman yang pernah menipu saya. Karena saat itu saya jadi PJ Event-nya, maka saya ingin bertanggung jawab membukukan cerpen mereka.
Pertama, masalah yang kami alami adalah mengenai ISBN. Entah kenapa semenjak saya masuk jadi lini Penerbit X, ISBN keluarnya lama. Biasanya paling lama satu minggu, ini sampai dua minggu, tapi tetap bersyukur karena ISBN keluar.
Berhubung penerbit indie dan kami baru berdiri, Loka memberikan paket penerbitan Rp100 ribu dulu. Tadinya ingin memberikan harga 200-300 ribu, tapi takut kemahalan. Setelah posting paket penerbitan, kemudian ada yang komentar katanya terlalu murah, biasanya yang murah itu tidak berkualitas. Gimana perasaan saya saat itu ketika ada yang komentar seperti itu? Tentu saja rasanya sakit. Niat baik memberikan paket penerbitan murah, tetap saja ada yang tidak suka. Ya, memang, sih, niat baik tidak selalu disambut dengan baik juga. 
Klien pertama yang kami tangani saat itu adalah penulis bernama Adinda Amara. Suatu kebanggaan bagi kami karena mendapatkan klien di awal penulisnya ramah. Mau diajak kerja sama. Tentunya saya juga tambah senang ketika Adinda sering curhat mengenai kepenulisan. Membuat saya semakin dekat dengannya. Dinda menerbitkan novel perdananya di penerbit yang baru berdiri.
"Kenapa memilih Loka? Loka, kan, baru berdiri. Saat itu kami juga belum mengeluarkan cover terbitan kami. Apa karena harganya yang murah?" tanya saya.
Dinda menjawab, "Saya menerbitkan di Loka bukan karena harganya, Kak. Tapi saat melihat logo Loka, saya langsung suka. Keren. Yang ada di pikiran saya pasti nanti desain cover-nya juga keren."
Lalu masalah kedua setelah ISBN, naskah yang katanya dicetak hanya menghabiskan waktu 2 minggu malah jadi 3 minggu. Ditambah pengiriman yang memakan waktu sebanyak 10 hari. Membuat saya rasanya ingin berubah jadi monster. Ribut-ributlah saya dulu dengan si X. Kesal karena buku belum sampai-sampai. Kalau itu buku pesanan saya, sih, tidak masalah, tapi ini pesanan orang lain. Ditambah karena dulu saya pernah trauma, tiga kali cetak hasilnya tidak memuaskan. Membuat saya semakin takut kalau para pemesan akan kecewa.
Saya coba tenangkan Dinda dan para pemesan yang lain, minta maaf. Untunglah mereka mengerti dan menjawab, "Tidak apa-apa, Kak. Yang penting bukunya sampai dengan selamat."
Syukurlah, ketakutan dan kesabaran saya menunggu kiriman buku cetak terbitan Loka hasilnya memuaskan. Kertas awal yang saya bayangkan warnanya abu-abu seperti koran, ternyata warnanya kuning seperti novel terbitan Gagasmedia. Saya ikut bahagia ketika penulis yang menerbitkan naskahnya di Loka saat memegang buku hasil cetaknya. Rasanya seperti memosisikan diri sebagai penulisnya.

**

Berhubung banyak yang memuji cover Loka bagus, akhirnya saya menaikkan paket penerbitan jadi 200 ribu. Mengingat saya juga harus menggaji Wulan, Rizky, dan Lisma. Saya ketemu klien kedua, kali ini penulisnya laki-laki. Dia sudah kirim naskahnya dan saya serahkan kepada Lisma untuk di-edit. Namun, belum apa-apa penulis ini sudah meributkan cover. Dia ingin cover-nya buatan sendiri. Oke, saya coba lihat dulu hasil cover-nya. Kemudian saya dan tim Loka pun kaget karena cover-nya terlihat asal-asalan. Berhubung penulis ini juga belum bayar, saya sudah kasih nomor rekening, mengingatkan juga tapi cuma diam saja. Ya sudah, saya lepas penulis ini. Sudah ada perasaan tidak enak. Saya yakin masih banyak yang mau menerbitkan naskahnya di Loka. Dan benar saja, setelah seminggu kemudian ada dua penulis yang minta nomor rekening untuk bayar biaya penerbitan.
Dulu naskah Dinda, Lisma yang edit. Namun berhubung Lisma sudah saya berikan naskah Pelangi di Langit Mendung—cerpen yang dikembangkan jadi novel yang saya tawarkan kepada Rositi untuk terbit gratis karena saya suka. Kepala saya pusing saat meng-edit naskah yang EBI-nya kacau.
Naskah seterusnya yang saya edit pun begitu. Akhirnya saya dan Wulan membuat program #LOKABahasa, share Ejaan Bahasa Indonesia.


Novel Reach Out to Me karya Adinda Amara

Masalah selanjutnya adalah masalah yang membuat saya sempat patah semangat. Masalah internal. 
Saat itu saya baru sampai kampus, ada BBM yang masuk dari Rizky Dewi. Dia bilang, "Mbak, ada sesuatu yang mau saya bicarakan."
Saya balas, "Apa, Ky?"
Rizky balas BBM saya lama, membuat saya dag dig dug. Dalam hati saya sudah ada perasaan tidak enak. Pikiran saya Rizky pasti mengundurkan diri. Dan beberapa menit terbuang ketika saya menunggu balasan Rizky Dewi, dugaan saya benar.
"Maaf Mbak, saya mau mengundurkan diri dari Loka."
Oh, Demi apa Rizky keluar? Aset berharga saya keluar? Karena apa? Masalah apa?
"Saya lagi banyak tugas kuliah, Mbak. Saya cuma merasa tidak enak saja, soalnya pasti kalau desain cover bakalan lama."
Saya coba tenangin diri dulu. Tarik napas. Saya tidak bisa melepaskan Rizky Dewi. Dia sudah masuk dalam sejarah didirikannya Loka. Dia sudah saya anggap seperti keluarga sendiri.
"Begini, Ky ... kalau memang kamu lagi sibuk, tidak apa-apa kamu istirahat sementara dulu saja. Kamu fokus nugas dulu. Loka nanti-nanti. Kamu desain sebulan juga tidak masalah, tapi jangan keluar, ya. Itu bukan solusi yang tepat. Saya anggap kamu cuti saja. Jangan keluar. Loka baru berdiri, saya sudah anggap kamu kayak keluarga sendiri. Bantu saya merintis Loka bareng Kak Wulan sama Lisma, ya?"
Rizky pun tak berapa lama membalas BBM saya, yang sempat membuat saya dag dig dug dia tetap ingin keluar.
"Makasih atas pengertiannya, ya, Mbak. Jujur, saya merasa tidak enak. Iya, itu pasti. Loka sudah jadi keluarga saya. Oke, semangat!"
Alhamdulillah. Rizky tidak keluar. Akan tetapi beberapa hari kemudian ... saya ribut-ribut dengan Lisma karena kesal dia menyerah menyunting naskah yang saya suruh. Dia juga akhir-akhir ini malas dan lebih suka mendesain. Saya memberi dia pilihan, mau jadi editor atau jadi desain cover? Lisma tidak pilih dua-duanya. Dia minta maaf dan memilih mengundurkan diri. Rasanya bagai ditimpa batu raksasa. Saya dengan sangat kecewa harus melepaskan Lisma meski sudah menahannya untuk tidak keluar. Kecewa. Marah. Bukan marah pada Lisma, tapi marah pada diri sendiri karena terlalu berharap pada manusia.
Namun, saya coba ikhlaskan dan menerima keputusan yang dia ambil. Bila memang berjodoh di Loka, suatu saat dia kembali. Seperti Steve Jobs yang dipecat dari Apple oleh dewan direksi karena ketidaksetujuannya tentang masalah bisnis, tapi pada akhirnya dia kembali lagi ke Apple. Setelah itu, saya mencari pengganti Lisma, Idha Febriana.
Semua pun kembali baik-baik saja, tapi setelah itu masalah-masalah lain pun datang. Masalah yang lebih besar. Membuat Lokamedia berada di ujung tanduk.
"Kenapa, ya, dari awal buka usaha, kok, Loka dapat masalah terus?" kata Wulan sambil menyelipkan emoticon :'(
"Allah hanya mengetes kita, Say. Mau sungguh-sungguh atau tidak di bidang ini."


Loka Media Akhirnya Berdiri Sendiri
Saya sudah membahas masalah internal maupun eksternal. Pertama, menunggu buku cetak dan pengiriman dalam jangka waktu yang lama, ISBN pun keluar lama. Sampai masalah internal ada satu partner Loka yang keluar, hingga masalah paling besar yang membuat Loka berada di ujung tanduk.
Semenjak ISBN keluar sampai sebulan, saya mulai curiga. Kemudian saya coba tanya-tanya ke rekan yang memiliki usaha penerbit indie juga. ISBN katanya keluar maksimal 3 hari. Wow! Saya kaget dong, ya. Lantas, apa masalahnya dengan kami yang ISBN-nya kok bisa keluar sampai sebulan?
Oke, sebelum menguak misteri ISBN kenapa keluarnya lama, mari bertualang dengan saya dulu mencari payung sebelum hujan. (Baca: solusi).

==
Di Sejarah Didirikannya Penerbit Loka Media, saya membahas jika kami mendirikan penerbit indie berawal dari lini. Kami (saya, Lisma, Wulan, dan Rizky Dewi) patungan untuk membayar pendaftaran menjadi lini. Sebagai lini, kami hanya terima beres soal pengurusan ISBN, tidak boleh cetak di tempat lain, dan aturan lainnya karena induknyalah yang mengurusnya. Jadi ... ilmu saya masih nol besar soal ISBN, bagaimana cara mendaftar dan lain-lain. Saya hanya disuruh mengirimkan layout naskah yang kami terbitkan—tidak lupa mencantumkan kata pengantar/ucapan terima kasih yang katanya sebagai syarat pendaftaran ISBN. Dan ... ini dia yang mencurigakan, saya harus bayar lima puluh ribu setiap daftar, padahal daftar ISBN itu GRATIS TIS TIS! (Saya tahu setelah mengobrol dengan Nerin Richa).
Berhubung masih menyisakan kecurigaan, saya coba ngobrol dengan Anisa—owner Penerbit AE Publishing. Saya bertanya seputar syarat pendaftaran ISBN. Nisa memberikan saya beberapa file pdf. Dia kemudian meminta layout naskah kami. Nisa menemukan kejanggalan, makin kaget ketika saya bilang harus bayar untuk daftar.
"Kamu sudah bayar jadi lini sekian, terus suruh bayar juga saat daftar ISBN. Ini namanya ...."
"Mungkin untuk cetak buku buat ke PNRI seperti Kak Nisa bilang," jawab saya masih tetap berprasangka baik.
"Ya sudah, cerita saja kalau ada yang aneh lagi."
"Oke, Kak. Makasih atas ilmunya."
Setelah chatting dengan Nisa, saya coba bertanya ke pemimpin induk mengenai lini apakah masuk akta notaris atau tidak? Jawabannya malah membuat saya curiga lagi.
"Rugi kamu daftar jadi lini sekian rupiah kalau nggak masuk akta notaris. Lini yang sudah masuk akta bisa daftar ISBN sendiri. Kalau tidak, pakai logonya dua. Cantumkan di back cover dua logo, induk dan lini. Pun sama dengan kerja sama."
Oke, sudah bisa ditarik kesimpulan kalau Loka Media tidak masuk akta notaris induk. Judulnya adalah ... saya ditipu. Saya, Ariny, Dhesfi, dan Reyhan, sudah tahu jika lini-lini tidak masuk akta notaris. Jadi biaya pendaftaran untuk jadi lini sekian rupiah itu lantas untuk apa? Bisnis? Seharusnya dijelaskan di awal dan ada hitam di atas putih (surat perjanjian kerja sama). 
Oke, ini salah saya juga karena tidak riset dulu soal penerbitan sebelum membuka usaha. Kemudian, kesalahan kedua yang fatal, saya mudah (terlalu percaya) pada orang. Perang dimulai. Kami minta pertanggungjawaban penerbit induk. Syukurlah, pemimpin induk mau memperbaiki kesalahannya. Dia buat akta perubahan dan memasukkan lini-lini ke akta. Setelah akta jadi, lini yang didaftarkan Arsha Teen, Reybook & Loka Media dulu. Dia bilang validasi akun menunggu waktu maksimal 3 hari. Di saat kondisi yang kacau-balau, Ariny masih sempat-sempatnya mengajak saya taruhan. Validasi atau ditolak?
Dua minggu berlalu, ada kabar baik datang. Akun Arsha Teen sudah divalidasi. Namun, akun Loka dan Reybook belum valid juga. Pupus harapan, waktu sebulan sudah berlalu. Akun Loka belum juga divalidasi. PNRI bilang, peraturan sekarang lini yang divalidasi hanya satu akun. Pemimpin induk minta maaf dan akan mengganti uang para lini.
==
Masih ada satu jalan keluar. Saya keluar dan menjadi lini AE Publishing. Akan tetapi, tetap saja saya tidak bisa daftar ISBN sendiri karena tentunya lini AE sudah dua yang divalidasi PNRI. Saya minta tolong Nisa untuk membuatkan kami akta notaris. Namun, harus mewakilkan satu orang ke Malang. Oh, bukan cara efektif. Saya tidak bisa ke Malang. Wulan juga tidak bisa. Mau tidak mau saya harus menyelesaikan masalah ini sendiri. Di sini. Membuat akta notaris di Jakarta.
Jujur, saya benar-benar awam menyangkut urusan ini, tetapi mau bagaimana lagi. Sudah telanjur basah, mandi sekalian. Meski sudah pupus harapan, saya yakin setiap masalah ada jalan keluarnya. Saya coba tanya-tanya biaya membuat akta. Nerin—dari Riau. Di sana membuat akta 5 juta. Kak Nisa—dari Malang, 1 Juta. Katanya sekarang mungkin biayanya sudah naik.
Jakarta ….
Saya belum berani datang ke notaris jika belum paham betul mengenai ini. Saya sampai beli buku tentang "Hukum Bisnis", perbedaan cara membuat PT dan CV. Meski sebelumnya saya sudah tanya Google dan dibantu oleh Nisa. Oke, saya sudah mulai paham.
Saya minta tolong Mondy—kantornya dekat notaris. Tanya biaya membuat akta berapa. Mondy memberikan kartu nama notarisnya beserta rincian biayanya. Seketika saya ingin pingsan, 7 JUTAAA! Uang dari mana 7 JUTAA?
Tanya lagi ke Nisa, kenapa di Jakarta biayanya sampai mahal.
"Itu paket lengkap kayaknya. Cobalah kamu saja yang ke kantor notarisnya langsung, tanya biaya buat akta saja berapa. NPWP, dan lain-lain kamu saja yang urus."
Oke, meski masih enggan ke kantor notaris, pada akhirnya kedua kaki saya menginjakkan kaki di sana juga. Deg-degan. Dalam hati saya berharap angka yang disebut 1 juta. Namun, setelah ketemu dengan karyawannya, mbak itu menyebutkan angka 3 JUTA. Hanya untuk akta notaris saja?
WOW! 
Pulang. 
Menangis di kamar. Bahkan uang tiga juta saja saya tidak punya. Ingin meminjam uang pada Ayah, saya sudah tahu jawabanya beliau tidak akan memberikan saya uang pinjaman. Ayah dan Ibu sampai saat ini belum sepenuhnya setuju saya terjun ke dunia literasi dan penerbitan. Naskah yang antre terbit banyak. Sementara saya selaku Pemred Loka sedang sibuk menggalau vakum atau lanjut.
"Semangat, Mbak. Usaha itu tidak selalu jalannya mulus. Banyak yang mau menerbitkan di Loka. Jangan nyerah, ya," ujar Rizky ketika saya menumpahkan masalah ini.
"Oke, semoga saya bisa menemukan jalan keluarnya."
Saat manusia sudah berusaha, hal yang dilakukan untuk terakhir kali tentu saja berdoa. Berserah diri pada Allah.
Allah, mudahkan urusan kami, jangan dipersulit.
Beberapa hari kemudian, Allah mengabulkan doa saya. Allah memberikan saya jalan keluar dengan mengirimkan perantara, Dhesfi. Teman saya di dunia maya—sama-sama lini yang dibohongi, dia mau membantu Loka berdiri sendiri.
Allah memang Mahabaik. Yang harus saya ingat, tidak mungkin ada masalah jika tidak ada jalan keluarnya dan tetap berprasangka baik pada Allah. Allah kirimkan lagi orang baik, namanya Anis. Dia sering makan di warung orang tua saya. Awalnya kami hanya mengobrol soal orang yang bekerja tidak sesuai dengan jurusan dan obrolan kami pun mulai mengarah tentang CV dan PT. Karena ternyata beliau kerja di notaris.
"Kamu buat akta lewat biro jasa saja. Tidak sampai 3 juta, kok. Palingan cuma 1 juta, tapi sepertinya tidak sampai."
Anis mencatat nomor handphone biro jasa kenalannya.
"Jadi nanti kamu terima beres. Biro jasa yang urus."
"Makasih, Mbak. Makasih banget pokoknya."
"Sip, nanti hubungi Pak Andre saja."
Besoknya saya langsung SMS Pak Andre.
"Pak, saya mau buat akta. Urus NPWP, domisili, sampai pengesahan. SIUP, TDP, dan lain-lain. Itu nanti saja. Berapa biayanya?"
"Akta saja 1 juta, kalau mau urus NPWP sampai pengesahan 1,5."
"Tidak bisa dikurangi, Pak? 1,3 deh, Pak."
"Boleh, deh." Setelah deal, saya langsung telepon Dhesfi. Dhesfi bilang oke. Besoknya dia transfer 1 juta, sisanya 300 ribu dari saya.
Karena saya malas sembunyi-sembunyi ketemuan dengan Pak Andre, akhirnya saya jujur ke orang tua saya kalau saya—buka bisnis penerbitan. Sempat takut, Ayah dan Ibu marah. Tapi ternyata mereka mendukung. Setelah menyerahkan KTP saya dan Ayah beserta kartu keluarga, akta pun diproses. Saya selaku direktur utama tanda tangan, Ayah selaku komisaris. Berkas dibawa lagi ke kantor notaris. Besoknya Pak Andre membawa map warna orange, bahwa akta CV. LOKA MEDIA sudah jadi. Saya tersenyum lega. Alhamdulillah. Namun, saya baru sadar kenapa namanya dipisah.
“Pak, saya sudah bilang ke Bapak namanya disambung, lho. Lokamedia. Kenapa jadi dipisah?”
“Peraturan sekarang membuat CV namanya harus terdiri minimal dua suku kata.”
“Oh begitu. Terima kasih, Pak.”
Saya langsung daftar penerbit ke PNRI. Tiga hari sudah berlalu, tapi akun Loka Media belum juga divalidasi. Air mata menetes lagi. Saya ingin menyerah. Bolehkah saya menyerah saja?
Saya coba tenangkan diri dulu. Mencoba daftar untuk kali kedua, dengan data yang tentunya sudah valid. Upload scan-an akta notaris dari halaman pertama sampai akhir. Itu pun setelah menemukan cara export ke pdf dengan mengatur ukurannya supaya kecil. Sudah daftar. Saya langsung telepon PNRI untuk meminta kepastian karena sudah pasti saya tidak akan tenang mengerjakan apa pun bila urusan ini belum selesai. Diangkat oleh perempuan. Saya langsung tanya soal Loka.
"Datanya tidak valid, Mbak. Harusnya akta notaris lampirkan keseluruhan dari awal sampai akhir."
"Sudah, Mbak. Saya sudah daftar ulang, kok."
"Oh, oke sebentar. Saya cek dulu."
Dag-dig-dug.
"Oh, ini sudah valid. Baik, akan segera kami validasi."
Alhamdulillah. Beberapa menit kemudian saya mendapat e-mail konfirmasi dari PNRI. Obrolan saya berlanjut mengenai apakah benar lini yang divalidasi hanya satu, sedangkan penerbit lain bisa.
"CV lingkupnya kecil, Mbak. Kecuali PT. Tolong bilang ke teman Mbak, ya. Suruh buat CV saja seperti Loka Media."
"Oh, oke, Mbak. Itu maaf, ada yang ingin saya tanyakan lagi. Apakah benar jika penerbit sudah mencapai kuota 500 judul, tidak bisa daftar ISBN lagi?"
"Wah, dapat informasi dari mana itu, Mbak?"
"Dari X."
"Itu informasi yang salah, Mbak. Sampai seribu judul pun kami layani. Asal mematuhi aturan undang-undang, mengirim bukti terbit ke PNRI dan perpustakaan daerah."
"Oh, jadi begitu, ya. Saya pikir X tidak bisa daftar ISBN karena sudah memenuhi kuota 500 judul."
Tim ISBN di sana tertawa. "Itu salah. Akunnya kami kunci dulu, makanya tidak bisa daftar ISBN. Kalau yang bersangkutan sudah menyelesaikan masalahanya, baru akunnya kami buka lagi."
Ternyata .... 
Ya Tuhan. Jadi inilah jawaban kenapa ISBN keluarnya selalu lama? 
Yang jelas, berkat masalah ini. Berkat dia menipu saya, Loka jadi berdiri sendiri.
Setiap masalah, selalu ada hikmahnya.
Allah, terima kasih.

==

Januari 2017, kami mengubah sistem penerbitan naskah berbayar menjadi seleksi seperti mayor dan gratis.
Tahun 2018 sampai sekarang, kami masih fokus di naskah novel dan nonfiksi.
Juli 2019, karena banyak permintaan dari komunitas yang ingin menerbitkan buku di Loka Media, maka kami pun mendirikan SAL (Sobat Aksara Loka), imprint dari Loka Media khusus menerbitkan naskah komunitas dengan jalur berbayar.
Naskah yang diterbitkan antara lain:
√ Kumcer √ Puisi √ Resensi √ Kutipan √ Fiksi Mini √ Novelet



  
Pencapaian Loka Media
(2016-2019)

-          Mendapat apresiasi “indie rasa mayor”
-          Berhasil menggaet penulis mayor Lovya Diany, Citra Novy, Putu Felisia, dan penulis mayor lainnya
-          Bekerja sama dengan SCOOP yang sekarang diubah menjadi Gramedia Digital
-          Buku didistribusikan di Togamas Surabaya dan Togamas Malang
-          Buku didistribusikan di Graha Media Makassar
-          Bekerja sama dengan perusahaan Tiongkok, i-Reader dalam menjual ebook
-          Artikel tentang Loka Media dimuat Kumparan dan C2live
-          CEO Loka Media, Devi, pernah menjadi bintang tamu di acara DK Show, Beritasatu TV membahas seluk-beluk buku indie dan Loka Media
-          Berhasil menggaet produser Beritasatu TV menerbitkan buku di Loka Media
-          Berhasil mendistribusikan ke seluruh toko buku nasional yakni buku berjudul Ibu Pilihan Tuhan karya Rizka Azizah (mantan redaktur Femina) bekerja sama dengan Penerbit Tiara Femina, lini Serambi
-           Berhasil mendistribusikan buku berjudul Hijrah Asmara ke seluruh toko buku nasional dengan mandiri (menggunakan logo full depan-belakang Loka Media)
-          Kolaborasi lomba menulis dengan platform menulis Tinlit.com