Rabu, 23 Maret 2016

NOVEL HONESTLY - VIE DEVH





Judul : Honestly
Penulis : Vie Devh
Genre : Teenlit (Romance)
Tebal : 215 hal.

ISBN : 978-602-389-185-9

Harga : Rp. 49.000,-


SINOPSIS BACK COVER

“Bagiku, cinta itu sebuah proses. Seperti ulat yang bermetamorfosis hingga menjadi kupu-kupu yang indah. Begitu juga dengan cinta, dia bermetamorfosis dari sebuah pertemuan, perkenalan, dekat dan kemudian saling memahami, hingga menjadi akhir yang indah.”
-Nuning-

“Bagiku ... cinta itu adalah bayangan. Bayangan yang selalu menyiksa, menghantui, dan membuatku risau karena tak pernah lelah memikirkannya.”
-Aldo-

"Mungkin aku memang ditakdirkan memiliki cinta yang kamu inginkan."
-Fira-

"Dendam akan luruh bersamaan dengan hadirnya cinta dalam hati."
-Bilal-

“Kisah Nuning dan Aldo dalam novel ini patutnya menjadi cermin bagi kita, terjebak cinta pertama bukan pilihan yang bijak untuk kebahagiaan di masa depan. Inspired youth. Salute!”
(Nuniek K. R : Penulis dan Blogger)



Novel Honestly adalah novel keempat yang saya tulis di pertengahan tahun 2013. Masih dalam tahap belajar menulis. Di novel pertama—Permintaan Hati, saya melibatkan diri saya sendiri sebagai tokoh utama, pun sama di novel ini. Cerita tentang pengalaman saya selama PKL di hotel dan dibumbui dengan unsur romance. Memang tidak semuanya nyata. Ada beberapa cerita dan konflik serta tempat yang saya bumbui dengan fiksi. Novel ini mungkin bisa dibilang seperti drama, agak lebay. Tapi inilah cerita adanya, saya selalu menulis apa yang diinginkan para tokoh. Belum sempurna memang, saya masih terus belajar berkarya lebih baik lagi.  

oOo


Saya kasih bocoran 2 Bab, ya. ^_^



Bab 1


Cewek berbalut seragam koki itu sejak dari tadi berdiri sambil menggerak-gerakkan pisaunya, dia bergelut dengan sayuran yang sedang dipotong-potong. Rambut pandeknya yang sedikit pirang diikat dan disembunyikan topi koki. Di kedua kakinya dibalut socks warna hitam untuk melindungi bila ada pisau yang jatuh ataupun alat dapur lainnya mengenai kaki. Di sini, tepatnya di kitchen, gadis dengan perawakan pendek dan berbadan kecil itu sedang menjalani masa PKL-nya di hotel. Sekarang ia ditempatkan di food product.
Sudah hampir sebulan tepatnya 3 Minggu lebih 2 hari cewek itu menjalani masa PKL-nya di kitchen. Namanya Green Hotel. Berdiri hanya setinggi dua lantai dan berukuran luas. Hotel ini didesain seperti sebuah taman karena begitu banyak pepohonan dan halaman dengan rumput hijau serta air mancur yang terpampang di depan hotel ini. Green Hotel memiliki 50 kamar saja karena masih tergolong bintang 3. Tersedia dari mulai tipe kamar standart, deluxe dan sweet room. Berbagai fasilitas melengkapi kepuasan dan kenyamanan tamu-tamu hotel. Saat memasuki koridor, tepat di depan restoran dan banquet terlihat swimming pool, lapangan bola dan fitness center. Namun hotel ini tidak mempunyai night club.

Hotel ini menggunakan dapur kombinasi, semua bagian-bagian di dapur dari mulai pantry, pastry & backery, butcher, bagian yang membuat stock (kaldu), garde manger (pengolahan makanan dingin), entrematier (pengolahan sayuran dan sup panas), dan saucer.
Terdapat alat-alat dapur yang menggantung di rel atas. Dari mulai kitchen utensil, yaitu peralatan dapur yang kecil dan umumnya dapat atau mudah dipindah-pindahkan. Serta kitchen equipment, yaitu peralatan dapur yang besar dan berat, sulit untuk dipindah-pindahkan.

Green Hotel lebih sering menyajikan masakan khas Indonesia dibanding Eropa. Meski ada juga tamu reguler orang asing, namun bule-bule itu lebih menikmati masakan Indonesia seperti bubur ayam, tempe bacem, sate, dan berbagai soto.
“Tumis bawang putihnya sampai warnanya cokelat, Ning,” perintah koki Gendon.
“Baik, Kak.” Gadis yang dipanggil Ning itu segera mengerjakan intruksi dari koki yang menjadi pendampingnya selama PKL di Green Hotel.
“Setelah itu masukkan seafood dan bahan-bahan lainnya. Terus, masukkan air secukupnya,” instruksi Gendon lagi.
“Baik, Kak.”
Dengan gesit Ning memasukkan bahan-bahan ke dalam wajan ketika bawang putihnya sudah berwarna cokelat. Setelah itu dia memasukkan garam, lada, dan gula secukupnya. Memasaknya sampai mendidih, dan tak lupa diberi maizena/sagu supaya mengental. And last, menyajikannya di mangkuk panas/hot bowl.

Setelah praktik memasak sapo tafu tadi, tak lupa Ning selalu menyempatkan untuk mencatatnya. Resep-resep itu kemudian dia akan tulis di Blog-nya. Ya, Nuning adalah penulis Blog yang cukup berbakat, hampir semua artikel yang dia posting di Blog-nya banyak dikomentari dan men-share-nya.

Selama menghabiskan banyak waktu di dapur, Ning jadi bermimpi suatu saat dia akan membuka usaha restoran juga. Atau kalau perlu mimpi yang lebih tinggi lagi, membangun sebuah hotel dan di dalamnya terdapat restoran. Ning tersenyum saat membayangkan mimpinya itu, tapi sejenak dia teringat chef-nya yang menyebalkan itu. Baginya orang itu terkenal sangar. Pria berusia kepala lima, postur tubuhnya yang tinggi, ditambah memakai topi cook, tinggi chef semakin menandingi tiang listrik saja. Banyak yang tidak suka pada chef karena di antara semua cook di sini masalah selera chef selalu beda sendiri. Namanya Pak Yanto. Saat itu Ning pernah seharian dites oleh beliau membuat brown stock, dan sialnya Pak Yanto malah mengomelinya gara-gara membuang kulit wortel, padahal kulitnya masih bisa dipakai untuk membuat brown stock.

Setelah kejadian menyebalkan itu, saat kaki Ning melangkah pergi meninggalkan dapur, ia disuruh menghadap ke ruangan Pak Yanto, rasanya jantungnya sudah mau copot. Takut-takut akan kena omelan lagi. Ah, semoga saja tidak.
Saat keluar ruangan Pak Yanto, Ning kira dia akan keluar ruangan dengan wajah yang memprihatinkan. Ternyata tidak.
“Ini buku tentang food product untuk kamu pelajari. Saya suka karena kamu adalah murid yang paling rajin dan mau berusaha untuk bisa.”
Kata-kata Pak Yanto masih saja terngiang. Dengan senyum sumringah sambil memegang buku pemberian chef, Ning kembali lagi ke ruang kitchen. Dan kali ini mengerjakan tugas dari koki Faizal. Pria yang masih seumuran dengan Gendon, sama-sama mempunyai postur tubuh tinggi, yang membedakan adalah badan Faizal lebih besar dari Gendon.
Harus Ning akui, Faizal ini orangnya asyik diajak bergurau. Pada saat chef belum datang, Faizal selalu menyuruhnya untuk memutar lagu di HP.
“Memangnya boleh, Kak?”
“Tidak apa-apa. Kau bisa matikan lagunya saat Pak Yanto masuk.”
“Ta-taapii, kalau aku yang dimarahi bagaimana?”
“Tenang saja, Kak Faizal yang akan tanggung jawab. Oke,” ujar Faizal sambil mengedipkan ekor matanya.
Ning hanya mengangguk tanpa perlu lagi membantah perintah kokinya, Faizal memang tipe orang yang tidak suka bekerja terlalu serius, lebih enjoy sambil mendengarkan lagu dan sesekali ikut bernyanyi. Dengan meringis melihat tingkah Faizal saat menyanyikan lagu Geisha “Jika Cinta Dia”, entah kenapa Ning malah terhipnotis untuk mengikuti Faizal bernyanyi.

Di tengah keasyikannya bernyanyi, seketika dapur menjadi hening saat kedatangan orang asing. Dua laki-laki seumuran dengan Ning masuk dan menyapa para senior di kitchen. Mata Ning mulai memerhatikan salah satu laki-laki itu, postur tubuhnya tinggi dan saat berjalan tegap, rahangnya tegas, kulitnya pun putih, juga ... lesung pipitnya. Ning buru-buru mengalihkan pandangan dari laki-laki si pemilik lesung pipit itu.

**
Setelah selesai pekerjaannya di kitchen, Ning dipindah tugaskan ke depan. Ning dan teman-temannya yang PKL di Green Hotel memakai kemeja warna kuning serentak, rok hitam pendek dan sepatu kets berwarna hitam. Sedangkan untuk laki-laki mengenakan celana bahan hitam panjang.

Acara wedding party diadakakan di depan swimming pool, di kolam renang itu ditata bunga-bunga dengan nama kedua mempelai, banyak lampu-lampu kerlap-kerlip yang tersusun di sana, pepohonan dan dekorasinya benar-benar indah dan pesta berjalan dengan meriah. Semua tamu begitu asyiknya menyantap hidangan yang ada di meja prasmanan. Begitu pula meminum hidangan yang sudah disiapkan. Kerja Ning hari ini adalah clear-up. Mengambil piring-piring kotor dan gelas-gelas yang sudah kosong.
Berulang kali Ning mendengus kesal, ia benar-benar kelelahan hari ini. Saat dia hendak mengambil piring-piring ke atas tray, terdengar suara berat dan kalem yang memanggilnya.
“Ning, istirahat sana. Duduk dulu, biar aku yang mengerjakan ini.”
Ah, ternyata dia. Si cowok berlesung pipit. Cowok itu begitu tinggi sehingga ia harus mendongak saat menatapnya. “Tapi ....” belum sempat Ning meneruskan kata-katanya, cowok itu sudah menyergah duluan.
“Tidak apa-apa. Biar aku saja yang mengerjakan. Kamu istirahat saja dulu,” perintahnya.
Ning hanya menurut saja, dia lalu membiarkan pantatnya menyentuh tempat duduk dan meluruskan kedua kakinya. “Huhhh, capeknya.” Ning berbicara sendiri. Saat kepalanya menoleh pada si lesung pipit, cowok itu tersenyum pada Ning, sedangkan Ning hanya membalas dengan senyum datar. Dan sialnya teman-temannya yang melihat adegan ini langsung meledeknya. “Asyikkk ... sepertinya ada yang mengalami cinta lokasi nih. Sweett sweett.
Aih, rasanya gendang telinga Ning tak tahan mendengar olokan itu, Ning akhirnya bangkit dari tempat duduk dan mengerjakan tugasnya lagi. Namun, entah kenapa si lesung pipit itu terus mengikutinya.
“Nanti kamu pulang dengan siapa?”.
“Nggak tahu. Palingan naik ojek.”
“Oh, boleh kuantar?”
Ning tidak menjawab, matanya masih saja sibuk mencari gelas-gelas yang sudah habis isinya.
“Kok nggak dijawab?”
“Maaf, sepertinya aku mau naik ojek saja.”
Hening sekejap. Lalu ia melontarkan pertanyaan yang membuat Ning terkejut.
“Namamu Nuning, kan? Kelas 2 SMK dan sekolah di SMK N 57?”
Ning melongo. Darimana ia tahu? Ning meduga, pasti cowok itu sudah mencari informasi tentangnya tadi waktu di dapur.
“Kamu nggak kenal aku? Aku Kakak kelasmu, aku kelas 3 Ap21,” jawabnya lagi.
Apa maksud dari perkataannya. Dia kakak kelasku? Kenapa aku nggak pernah melihatnya?
“Maaf, aku nggak tahu kalau Kakak ....” belum sempat Ning meneruskan kata-katanya, lagi-lagi cowok itu menyelanya.
“Sudahlah, nggak apa-apa. Sebagai hukuman karena kamu tidak hormat sama Kakak kelas, kamu harus mau diantar Kakak pulang.”
Ning dengan terpaksa hanya mengangguk pasrah dan mengiyakan ajakan kakak kelasnya itu.

**
Waktu sudah menunjukkan tepat jam 11 malam, anak-anak PKL disuruh pulang oleh Pak Nanang—manajer food and beverage. Hari ini Ning merasa sangat lelah, ingin rasanya dia segera menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur.
Ning berjalan dengan langkah tergopoh-gopoh keluar hotel ini, namun terdengar suara laki-laki memanggil namanya.
“Hei, Nuning. Kau jadi kuantar, 'kan?”
Saat Ning menoleh, terlihat si lesung pipit lagi. Ning melihat cowok itu masih sibuk mengatur napasnya karena berlari mengejarnya. Dengan senyum datar, Ning menganggukkan kepala dengan pelan, ia hampir lupa kalau sudah mengiyakan ajakan cowok itu tadi.
“Yasudah, sebentar, ya. Kamu tunggu dulu di sini, aku mau ambil motorku dulu di parkiran. Jangan pulang duluan, oke?”
“Iya, iya,” jawab Ning malas.
Ning duduk di halte dan menunggunya, tiba-tiba ia mendesah, kenapa juga ia harus mau diantar pulang oleh orang yang baru dikenal. Kalau cowok itu macam-macam padanya bagaimana? Kalau pun Ning menghajarnya, tenaganya sudah terkuras habis oleh pekerjaan hotel hari ini. Benar-benar melelahkan.
Ning hanya bisa berdoa, semoga kakak kelasnya itu memang orang yang baik. Tapi, tunggu dulu! Aih, Ning lupa belum mengetahui namanya. Bodoh!
“Siapa nama cowok tadi?” tanyanya dengan suara lantang.
“Namaku Aldo, Ning. Ayo naik!”
Suara yang datang itu membuat Ning terkesiap. Cowok yang bernama Aldo itu sudah ada di depannya menunggangi motor berbodi besar warna merah. Tanpa basa-basi lagi, Ning segera duduk di belakang punggung Aldo. Tak lama cowok itu langsung menancap gas motornya.
“Rumah kamu di mana, Ning?”
“Duren tiga, Kak.”
Setelah sibuk memberi arah jalan rumahnya, ke kiri, belok kanan, lurus dan seterusnya, akhirnya ... sampai juga di depan rumah Ning.
“Orangtuamu buka warung makan?”
“Iya, Kak.”
“Wuah, kapan-kapan boleh dong kakak mampir,” katanya sambil nyengir.
“Hmm. Terima kasih sudah mengantarku pulang, Kak,” jawab Ning dengan senyum datar.
“Sama-sama. Yasudah, sebaiknya kamu segera istirahat, nggak enak juga kalau aku mampir dan mengganggumu.”
“Dan tentunya nggak ada yang menyuruh Kakak mampir, 'kan?” jawab Ning ketus.
“Haha. Kamu ini! Oke, deh. Aku pamit pulang, selamat tidur dan semoga mimpi indah,” ujarnya sambil tersenyum.
Ning hanya mengangguk pelan dan tersenyum tipis, entah kenapa kesan pertama saat bertemu cowok ini kalau cowok ini sering gonta-ganti pacar, lihatlah! Baru pertama kali kenalan saja sudah pintar merayu. Huh!



1Jurusan AP adalah Akomodasi Perhotelan. Selain itu ada juga jurusan UJP (Usaha Jasa Pariwisata)


Bab 2


Sekarang Ning ditempatkan di food and beverage departement. Tepatnya di banquet. Tak menyenangkan seperti saat ia ditempatkan di kitchen. Walau ada Dendy yang selalu membuatnya berderai tawa, dan Irma teman untuk berbagi cerita pengganti Gendon. Tapi tetap saja Ning merasa lebih nyaman berada di bagian belakang.

Mungkin karena ia merasa adalah tipe orang yang cenderung pendiam dan susah tersenyum pada orang yang tidak dikenalnya, itu sebabnya Ning selalu kesulitan berinteraksi dengan orang-orang baru, tepatnya tamu-tamu hotel. Biasanya di kitchen ia tak pernah melihat tamu-tamu hotel secara langsung, tapi sekarang bahkan setiap hari ia selalu berinteraksi dengan mereka. Rasanya benar-benar canggung.

Ning bekerja sebagai greeter, menyambut tamu seramah mungkin dan berusaha tersenyum ikhlas. Saat tamu sudah masuk ke dalam, gantian ia menjaga meja banquet, melihat tamu-tamu sudah selesai makan, lalu mengambil piring-piring kotor dari meja mereka.
Itulah pekerjaannya selama ditempatkan di banquet.

**
Tepat jam dua siang Ning segera menuju kantin menyusul Irma. Selama waktu istirahat terpakai, dia biasa sharing tentang masa-masa kuliah Irma, kehidupannya, dan keluhannya selama ditempatkan di banquet. Ternyata Irma pun sependapat dengannya.
Sebenarnya ... Irma juga sedang menjalani masa PKL, hanya saja bedanya PKL jenjang sarjana. Ia mengambil manajemen hotel di Universitas Trisakti. Irma memiliki badan yang besar, rambutnya keriting panjang dan dicat warna cokelat. Hidungnya lebar, dan postur tubuhnya pendek. Ning memang merasa asyik saat bergabung dengan Irma, tapi saat seniornya itu membeli minuman keras dan mengajaknya minum bersama, Ning menolaknya.
Irma pun mengerti dan tidak memaksa.

Jam istirahat Irma kebetulan lebih awal dari Ning, ia duluan beranjak lagi ke Green Hotel, sedangkan Ning masih memilih diam di sini. Di kantin belakang hotel. Ning merasa perutnya sudah kenyang diisi ketoprak dan air mineral dingin. Selanjutnya, ia menikmati dessert-nya dengan membeli es podeng1. Hmm ... inilah salah satu menu kesukaan Ning di kantin. Es podengnya benar-benar enak. Tak kalah dengan dessert yang dihidangkan di hotel.
Ning lalu mengambil handphone-nya, mencari nama berinisial A di kontak. Dan sialnya, dia malah sempat ingin menelepon orang itu. Ah, Ning merasa bodoh, kenapa ia masih memikirkan cowok yang sama sekali tak memedulikannya lagi.


1Es podeng merupakan salah satu minuman tradisional yang masih banyak digemari. Es podeng merupakan es puter yang terbuat dari santan yang sekarang lebih dikenal es krim yang sudah dipadu dengan berbagai macam bahan. Antara lain seperti tape, ketan hitam, roti tawar, kacang, susu dan lain-lain.



Pemesanan : Sms ke nomor 085654910277
ketik : Honestly-NAMA LENGKAP-ALAMAT LENGKAP- NO. HP-JUMLAH PESANAN Bisa juga melalui BBM 7D0AD896, atau inbox fp Ariny NH



Yuk, diorder teman. ^_^




0 komentar:

Posting Komentar