Judul : Honestly
Penulis : Vie Devh
Genre : Teenlit (Romance)
Tebal : 215 hal.
ISBN : 978-602-389-185-9
Harga : Rp. 49.000,-
SINOPSIS BACK COVER
“Bagiku, cinta itu sebuah proses. Seperti ulat yang bermetamorfosis hingga menjadi kupu-kupu yang indah. Begitu juga dengan cinta, dia bermetamorfosis dari sebuah pertemuan, perkenalan, dekat dan kemudian saling memahami, hingga menjadi akhir yang indah.”
-Nuning-
“Bagiku, cinta itu sebuah proses. Seperti ulat yang bermetamorfosis hingga menjadi kupu-kupu yang indah. Begitu juga dengan cinta, dia bermetamorfosis dari sebuah pertemuan, perkenalan, dekat dan kemudian saling memahami, hingga menjadi akhir yang indah.”
-Nuning-
“Bagiku ... cinta itu adalah bayangan. Bayangan yang selalu menyiksa, menghantui, dan membuatku risau karena tak pernah lelah memikirkannya.”
-Aldo-
"Mungkin aku memang ditakdirkan memiliki cinta yang kamu inginkan."
-Fira-
"Dendam akan luruh bersamaan dengan hadirnya cinta dalam hati."
-Bilal-
“Kisah Nuning dan Aldo dalam novel ini patutnya menjadi cermin bagi kita, terjebak cinta pertama bukan pilihan yang bijak untuk kebahagiaan di masa depan. Inspired youth. Salute!”
(Nuniek K. R : Penulis dan Blogger)
Novel
Honestly adalah novel keempat yang saya tulis di pertengahan tahun
2013. Masih dalam tahap belajar menulis. Di novel pertama—Permintaan
Hati, saya melibatkan diri saya sendiri sebagai tokoh utama, pun sama
di novel ini. Cerita tentang pengalaman saya selama PKL di hotel dan
dibumbui dengan unsur romance. Memang tidak semuanya nyata.
Ada beberapa cerita dan konflik serta tempat yang saya bumbui dengan
fiksi. Novel ini mungkin bisa dibilang seperti drama, agak lebay.
Tapi inilah cerita adanya, saya selalu menulis apa yang diinginkan
para tokoh. Belum sempurna memang, saya masih terus belajar berkarya
lebih baik lagi.
oOo
Saya kasih bocoran 2 Bab, ya. ^_^
Bab 1
Cewek
berbalut seragam koki itu sejak dari tadi berdiri sambil
menggerak-gerakkan pisaunya, dia bergelut dengan sayuran yang
sedang dipotong-potong. Rambut pandeknya yang sedikit pirang diikat
dan disembunyikan topi koki. Di kedua kakinya dibalut socks
warna hitam untuk melindungi bila ada pisau yang jatuh ataupun
alat dapur lainnya mengenai kaki. Di sini, tepatnya di kitchen,
gadis dengan perawakan pendek dan berbadan kecil itu sedang
menjalani masa PKL-nya di hotel. Sekarang ia ditempatkan di food
product.
Sudah
hampir sebulan tepatnya 3 Minggu lebih 2 hari cewek itu menjalani
masa PKL-nya di kitchen. Namanya Green Hotel. Berdiri
hanya setinggi dua lantai dan berukuran luas. Hotel ini didesain
seperti sebuah taman karena begitu banyak pepohonan dan halaman
dengan rumput hijau serta air mancur yang terpampang di depan hotel
ini. Green Hotel memiliki 50 kamar saja karena masih tergolong
bintang 3. Tersedia dari mulai tipe kamar standart, deluxe dan
sweet room. Berbagai fasilitas melengkapi kepuasan dan kenyamanan
tamu-tamu hotel. Saat memasuki koridor, tepat di depan restoran dan
banquet terlihat swimming pool, lapangan bola dan
fitness center. Namun hotel ini tidak mempunyai night club.
Hotel
ini menggunakan dapur kombinasi, semua bagian-bagian di dapur dari
mulai pantry, pastry & backery, butcher, bagian yang
membuat stock (kaldu), garde manger (pengolahan makanan
dingin), entrematier (pengolahan sayuran dan sup panas), dan
saucer.
Terdapat
alat-alat dapur yang menggantung di rel atas. Dari mulai kitchen
utensil, yaitu peralatan dapur yang kecil dan umumnya dapat atau
mudah dipindah-pindahkan. Serta kitchen equipment, yaitu
peralatan dapur yang besar dan berat, sulit untuk dipindah-pindahkan.
Green
Hotel lebih sering menyajikan masakan khas Indonesia dibanding
Eropa. Meski ada juga tamu reguler orang asing, namun bule-bule itu
lebih menikmati masakan Indonesia seperti bubur ayam, tempe bacem,
sate, dan berbagai soto.
“Tumis
bawang putihnya sampai warnanya cokelat, Ning,” perintah koki
Gendon.
“Baik,
Kak.” Gadis yang dipanggil Ning itu segera mengerjakan intruksi
dari koki yang menjadi pendampingnya selama PKL di Green Hotel.
“Setelah itu masukkan seafood dan bahan-bahan lainnya.
Terus, masukkan air secukupnya,” instruksi Gendon lagi.
“Baik,
Kak.”
Dengan
gesit Ning memasukkan bahan-bahan ke dalam wajan ketika bawang
putihnya sudah berwarna cokelat. Setelah itu dia memasukkan garam,
lada, dan gula secukupnya. Memasaknya sampai mendidih, dan tak lupa
diberi maizena/sagu supaya mengental. And last, menyajikannya
di mangkuk panas/hot bowl.
Setelah
praktik memasak sapo tafu tadi, tak lupa Ning selalu
menyempatkan untuk mencatatnya. Resep-resep itu kemudian dia akan
tulis di Blog-nya. Ya, Nuning adalah penulis Blog yang cukup
berbakat, hampir semua artikel yang dia posting di Blog-nya banyak
dikomentari dan men-share-nya.
Selama
menghabiskan banyak waktu di dapur, Ning jadi bermimpi suatu saat dia
akan membuka usaha restoran juga. Atau kalau perlu mimpi yang lebih
tinggi lagi, membangun sebuah hotel dan di dalamnya terdapat
restoran. Ning tersenyum saat membayangkan mimpinya itu, tapi sejenak
dia teringat chef-nya yang menyebalkan itu. Baginya orang itu
terkenal sangar. Pria berusia kepala lima, postur tubuhnya yang
tinggi, ditambah memakai topi cook, tinggi chef semakin
menandingi tiang listrik saja. Banyak yang tidak suka pada chef
karena di antara semua cook di sini masalah selera chef
selalu beda sendiri. Namanya Pak Yanto. Saat itu Ning pernah
seharian dites oleh beliau membuat brown stock, dan sialnya
Pak Yanto malah mengomelinya gara-gara membuang kulit wortel, padahal
kulitnya masih bisa dipakai untuk membuat brown stock.
Setelah
kejadian menyebalkan itu, saat kaki Ning melangkah pergi meninggalkan
dapur, ia disuruh menghadap ke ruangan Pak Yanto, rasanya
jantungnya sudah mau copot. Takut-takut akan kena omelan lagi. Ah,
semoga saja tidak.
Saat
keluar ruangan Pak Yanto, Ning kira dia akan keluar ruangan dengan
wajah yang memprihatinkan. Ternyata tidak.
“Ini
buku tentang food product untuk kamu pelajari. Saya suka karena kamu
adalah murid yang paling rajin dan mau berusaha untuk bisa.”
Kata-kata
Pak Yanto masih saja terngiang. Dengan senyum sumringah sambil
memegang buku pemberian chef, Ning kembali lagi ke ruang
kitchen. Dan kali ini mengerjakan tugas dari koki
Faizal. Pria yang masih seumuran dengan Gendon, sama-sama mempunyai
postur tubuh tinggi, yang membedakan adalah badan Faizal lebih besar
dari Gendon.
Harus
Ning akui, Faizal ini orangnya asyik diajak bergurau. Pada saat chef
belum datang, Faizal selalu menyuruhnya untuk memutar lagu di HP.
“Memangnya
boleh, Kak?”
“Tidak
apa-apa. Kau bisa matikan lagunya saat Pak Yanto masuk.”
“Ta-taapii,
kalau aku yang dimarahi bagaimana?”
“Tenang
saja, Kak Faizal yang akan tanggung jawab. Oke,” ujar Faizal
sambil mengedipkan ekor matanya.
Ning
hanya mengangguk tanpa perlu lagi membantah perintah kokinya, Faizal
memang tipe orang yang tidak suka bekerja terlalu serius, lebih enjoy
sambil mendengarkan lagu dan sesekali ikut bernyanyi. Dengan
meringis melihat tingkah Faizal saat menyanyikan lagu Geisha “Jika
Cinta Dia”, entah kenapa Ning malah terhipnotis untuk mengikuti
Faizal bernyanyi.
Di
tengah keasyikannya bernyanyi, seketika dapur menjadi hening saat
kedatangan orang asing. Dua laki-laki seumuran dengan Ning masuk dan
menyapa para senior di kitchen. Mata Ning mulai memerhatikan
salah satu laki-laki itu, postur tubuhnya tinggi dan saat berjalan
tegap, rahangnya tegas, kulitnya pun putih, juga ... lesung
pipitnya. Ning buru-buru mengalihkan pandangan dari laki-laki si
pemilik lesung pipit itu.
**
Setelah
selesai pekerjaannya di kitchen, Ning dipindah tugaskan ke
depan. Ning dan teman-temannya yang PKL di Green Hotel memakai
kemeja warna kuning serentak, rok hitam pendek dan sepatu kets
berwarna hitam. Sedangkan untuk laki-laki mengenakan celana bahan
hitam panjang.
Acara
wedding party diadakakan di depan swimming pool, di
kolam renang itu ditata bunga-bunga dengan nama kedua mempelai,
banyak lampu-lampu kerlap-kerlip yang tersusun di sana, pepohonan dan
dekorasinya benar-benar indah dan pesta berjalan dengan meriah. Semua
tamu begitu asyiknya menyantap hidangan yang ada di meja prasmanan.
Begitu pula meminum hidangan yang sudah disiapkan. Kerja Ning hari
ini adalah clear-up. Mengambil piring-piring kotor dan
gelas-gelas yang sudah kosong.
Berulang
kali Ning mendengus kesal, ia benar-benar kelelahan hari ini. Saat
dia hendak mengambil piring-piring ke atas tray, terdengar
suara berat dan kalem yang memanggilnya.
“Ning,
istirahat sana. Duduk dulu, biar aku yang mengerjakan ini.”
Ah,
ternyata dia. Si cowok berlesung pipit. Cowok itu begitu tinggi
sehingga ia harus mendongak saat menatapnya. “Tapi ....” belum
sempat Ning meneruskan kata-katanya, cowok itu sudah menyergah
duluan.
“Tidak
apa-apa. Biar aku saja yang mengerjakan. Kamu istirahat saja dulu,”
perintahnya.
Ning
hanya menurut saja, dia lalu membiarkan pantatnya menyentuh tempat
duduk dan meluruskan kedua kakinya. “Huhhh, capeknya.” Ning
berbicara sendiri. Saat kepalanya menoleh pada si lesung pipit, cowok
itu tersenyum pada Ning, sedangkan Ning hanya membalas dengan
senyum datar. Dan sialnya teman-temannya yang melihat adegan ini
langsung meledeknya. “Asyikkk ... sepertinya ada yang mengalami
cinta lokasi nih. Sweett sweett.”
Aih,
rasanya gendang telinga Ning tak tahan mendengar olokan itu, Ning
akhirnya bangkit dari tempat duduk dan mengerjakan tugasnya lagi.
Namun, entah kenapa si lesung pipit itu terus mengikutinya.
“Nanti
kamu pulang dengan siapa?”.
“Nggak
tahu. Palingan naik ojek.”
“Oh,
boleh kuantar?”
Ning
tidak menjawab, matanya masih saja sibuk mencari gelas-gelas yang
sudah habis isinya.
“Kok
nggak dijawab?”
“Maaf,
sepertinya aku mau naik ojek saja.”
Hening
sekejap. Lalu ia melontarkan pertanyaan yang membuat Ning terkejut.
“Namamu
Nuning, kan? Kelas 2 SMK dan sekolah di SMK N 57?”
Ning
melongo. Darimana ia tahu? Ning meduga, pasti cowok itu sudah mencari
informasi tentangnya tadi waktu di dapur.
“Kamu
nggak kenal aku? Aku Kakak kelasmu, aku kelas 3 Ap21,”
jawabnya lagi.
Apa
maksud dari perkataannya. Dia kakak kelasku? Kenapa aku nggak
pernah melihatnya?
“Maaf,
aku nggak tahu kalau Kakak ....” belum sempat Ning meneruskan
kata-katanya, lagi-lagi cowok itu menyelanya.
“Sudahlah,
nggak apa-apa. Sebagai hukuman karena kamu tidak hormat sama Kakak
kelas, kamu harus mau diantar Kakak pulang.”
Ning
dengan terpaksa hanya mengangguk pasrah dan mengiyakan ajakan kakak
kelasnya itu.
**
Waktu
sudah menunjukkan tepat jam 11 malam, anak-anak PKL disuruh pulang
oleh Pak Nanang—manajer food and beverage. Hari ini Ning
merasa sangat lelah, ingin rasanya dia segera menjatuhkan tubuhnya di
atas tempat tidur.
Ning
berjalan dengan langkah tergopoh-gopoh keluar hotel ini, namun
terdengar suara laki-laki memanggil namanya.
“Hei,
Nuning. Kau jadi kuantar, 'kan?”
Saat
Ning menoleh, terlihat si lesung pipit lagi. Ning melihat cowok itu
masih sibuk mengatur napasnya karena berlari mengejarnya. Dengan
senyum datar, Ning menganggukkan kepala dengan pelan, ia hampir lupa
kalau sudah mengiyakan ajakan cowok itu tadi.
“Yasudah,
sebentar, ya. Kamu tunggu dulu di sini, aku mau ambil motorku dulu di
parkiran. Jangan pulang duluan, oke?”
“Iya,
iya,” jawab Ning malas.
Ning
duduk di halte dan menunggunya, tiba-tiba ia mendesah, kenapa juga ia
harus mau diantar pulang oleh orang yang baru dikenal. Kalau cowok
itu macam-macam padanya bagaimana? Kalau pun Ning menghajarnya,
tenaganya sudah terkuras habis oleh pekerjaan hotel hari ini.
Benar-benar melelahkan.
Ning
hanya bisa berdoa, semoga kakak kelasnya itu memang orang yang baik.
Tapi, tunggu dulu! Aih, Ning lupa belum mengetahui namanya. Bodoh!
“Siapa
nama cowok tadi?” tanyanya dengan suara lantang.
“Namaku
Aldo, Ning. Ayo naik!”
Suara
yang datang itu membuat Ning terkesiap. Cowok yang bernama Aldo itu
sudah ada di depannya menunggangi motor berbodi besar warna merah.
Tanpa basa-basi lagi, Ning segera duduk di belakang punggung Aldo.
Tak lama cowok itu langsung menancap gas motornya.
“Rumah
kamu di mana, Ning?”
“Duren
tiga, Kak.”
Setelah
sibuk memberi arah jalan rumahnya, ke kiri, belok kanan, lurus dan
seterusnya, akhirnya ... sampai juga di depan rumah Ning.
“Orangtuamu
buka warung makan?”
“Iya,
Kak.”
“Wuah,
kapan-kapan boleh dong kakak mampir,” katanya sambil nyengir.
“Hmm.
Terima kasih sudah mengantarku pulang, Kak,” jawab Ning dengan
senyum datar.
“Sama-sama.
Yasudah, sebaiknya kamu segera istirahat, nggak enak juga kalau aku
mampir dan mengganggumu.”
“Dan
tentunya nggak ada yang menyuruh Kakak mampir, 'kan?” jawab Ning
ketus.
“Haha.
Kamu ini! Oke, deh. Aku pamit pulang, selamat tidur dan semoga mimpi
indah,” ujarnya sambil tersenyum.
Ning
hanya mengangguk pelan dan tersenyum tipis, entah kenapa kesan
pertama saat bertemu cowok ini kalau cowok ini sering gonta-ganti
pacar, lihatlah! Baru pertama kali kenalan saja sudah pintar merayu.
Huh!
1Jurusan
AP adalah Akomodasi Perhotelan. Selain itu ada juga jurusan UJP
(Usaha Jasa Pariwisata)
Bab 2
Sekarang
Ning ditempatkan di food and beverage departement. Tepatnya di
banquet. Tak menyenangkan seperti saat ia ditempatkan di
kitchen. Walau ada Dendy yang selalu membuatnya berderai tawa,
dan Irma teman untuk berbagi cerita pengganti Gendon. Tapi tetap saja
Ning merasa lebih nyaman berada di bagian belakang.
Mungkin
karena ia merasa adalah tipe orang yang cenderung pendiam dan susah
tersenyum pada orang yang tidak dikenalnya, itu sebabnya Ning selalu
kesulitan berinteraksi dengan orang-orang baru, tepatnya tamu-tamu
hotel. Biasanya di kitchen ia tak pernah melihat tamu-tamu
hotel secara langsung, tapi sekarang bahkan setiap hari ia selalu
berinteraksi dengan mereka. Rasanya benar-benar canggung.
Ning
bekerja sebagai greeter, menyambut tamu seramah mungkin dan
berusaha tersenyum ikhlas. Saat tamu sudah masuk ke dalam,
gantian ia menjaga meja banquet, melihat tamu-tamu sudah
selesai makan, lalu mengambil piring-piring kotor dari meja mereka.
Itulah
pekerjaannya selama ditempatkan di banquet.
**
Tepat
jam dua siang Ning segera menuju kantin menyusul Irma. Selama waktu
istirahat terpakai, dia biasa sharing tentang masa-masa kuliah
Irma, kehidupannya, dan keluhannya selama ditempatkan di banquet.
Ternyata Irma pun sependapat dengannya.
Sebenarnya
... Irma juga sedang menjalani masa PKL, hanya saja bedanya PKL
jenjang sarjana. Ia mengambil manajemen hotel di Universitas
Trisakti. Irma memiliki badan yang besar, rambutnya keriting panjang
dan dicat warna cokelat. Hidungnya lebar, dan postur tubuhnya pendek.
Ning memang merasa asyik saat bergabung dengan Irma, tapi saat
seniornya itu membeli minuman keras dan mengajaknya minum bersama,
Ning menolaknya.
Irma
pun mengerti dan tidak memaksa.
Jam
istirahat Irma kebetulan lebih awal dari Ning, ia duluan beranjak
lagi ke Green Hotel, sedangkan Ning masih memilih diam
di sini. Di kantin belakang hotel. Ning merasa perutnya sudah kenyang
diisi ketoprak dan air mineral dingin. Selanjutnya, ia menikmati
dessert-nya dengan membeli es podeng1.
Hmm ... inilah salah satu menu kesukaan Ning di kantin. Es podengnya
benar-benar enak. Tak kalah dengan dessert yang dihidangkan di
hotel.
Ning
lalu mengambil handphone-nya, mencari nama berinisial A di
kontak. Dan sialnya, dia malah sempat ingin menelepon orang itu. Ah,
Ning merasa bodoh, kenapa ia masih memikirkan cowok yang sama sekali
tak memedulikannya lagi.
1Es
podeng merupakan salah satu minuman tradisional yang masih banyak
digemari. Es podeng merupakan es puter yang terbuat dari santan yang
sekarang lebih dikenal es krim yang sudah dipadu dengan berbagai
macam bahan. Antara lain seperti tape, ketan hitam, roti tawar,
kacang, susu dan lain-lain.
Pemesanan : Sms ke nomor 085654910277
ketik : Honestly-NAMA LENGKAP-ALAMAT LENGKAP- NO. HP-JUMLAH PESANAN Bisa juga melalui BBM 7D0AD896, atau inbox fp Ariny NH
ketik : Honestly-NAMA LENGKAP-ALAMAT LENGKAP- NO. HP-JUMLAH PESANAN Bisa juga melalui BBM 7D0AD896, atau inbox fp Ariny NH
Yuk, diorder teman. ^_^
0 komentar:
Posting Komentar