Jumat, 12 Februari 2016

Hujan Rindu Kamu




Tulisan kumpulan flash fiction ini adalah event yang saya adakan di Penerbit Lampion Publisher membuat cerita menggunakan tiga kata, "HUJAN, RINDU, KAMU". 
Event ini berhadiah pulsa. Hanya untuk seru-seruan saja juga untuk melatih menulis dan berimajinasi. 

Kamu, yang sudah mambuka Blog ini, SELAMAT MEMBACA karya mereka.  ^_^




Icha - Hujan di Ujung Malam

HUJAN.
Hujan adalah rizki, jika kita bahagia atas turunnya rizki dari Tuhan dan lalu kita berdoa, niscaya Tuhan akan mengabulkan doa kita lewat hujan.
Itu alasan pertama aku suka hujan. "Hujan adalah keajaiban kecil dimana di setiap rintik yg jatuh. Tuhan telah menyiapkan ruang untuk menyimpan semua doa terbaik kita."

KAMU ... Julius.
Kamu adalah doa terbaik yang dikabulkan Tuhan. 
Di malam itu kamu adalah pelangiku di malam yangg hujan.
Kamu genggam tangan aku dan kamu bilang, "Aku bukan hujan yang tiba-tiba datang, juga bukan hujan yang tiba-tiba pergi. Tapi aku seperti hujan yg memberi nyawa untuk kamu hidup."
Itu alasan kedua aku suka hujan.
Karena hujan menjatukan kamu tepat dimana aku berhenti mencari hati.

Dan RINDU.
"Merindukan kamu adalah rasa sakit dimana obatnya adalah kamu."
Setelah malam itu, kamu pergi. 
Tanpa alasan, tanpa kamu tunjuk dimana kesalahan aku. Aku sadar.
Dan ini alasan ketiga kenapa aku harus berhenti menyukai hujan karena hujan aku harus mencari jawaban di setiap doaku. Kenapa kamu pergi.
Mungkin cukup dengan rasa bahagia aku menyapa hujan. Karena rasa suka dan bahagia tak pernah berhenti di tempat yg sama.



Nur Anisah Rahmawati - Hujan di Kotamu


Siapa bilang hujan di kotaku dan kotamu sama! Di kota ini, hujan seperti kabar buruk. Di kotamu, kau bisa menikmatinya sambil menyeduh secangkir kopi dengan syahdu tanpa harus resah kemana air hujan itu bermuara. Biar saja sesuka dia. Hujan hanya jatuh di tempat yang dia mau. 

Aku pun seperti itu. Tak usah menghakimi mengapa kita harus berbeda kota. Jika nanti kita telah menua, biarkan aku bercerita pada anak kecil yang duduk di ranjang kita. Tak hanya tentang Surabaya itu panas, Malang itu dingin atau Jogja di antara keduanya, tetapi tentang mengapa orang-orang melakukan perjalanan dari stasiun ke stasiun kecil dan belajar hidup dari kota lain. Bukankah kau jua tak bisa menceritakan itu padanya? 

Jika kau bertanya apa aku rindu ? Ya. Aku rindu kota kecilmu. Kota dimana aku bisa melihat anak-anak bermain layang-layang dengan leluasa. Kota dimana aku bisa melihat senja dari atas sungai yang mengalir tanpa jeda. Dan kau tahu yang lebih merindukan? Senyummu di stasiun malam itu. Namun jika nanti kita tidak lagi merindu? Mungkin saja karena hujan yang tak pernah sama dan rindu yang datang sesuka hatinya.




Musafir Kelana - Segelas Kopi Rindu


Cuaca mendung tidak menyurut niatku untuk tetap menulis karangan dalam sebuah novel yang sudah memasuki halaman terakhir. Lampion kecil di ruang tamu sesekali byerrr pet, byeerrr pet, alias hidup mati karena gangguan listrik akibat angin kencang di luar sana. Saat aku menulis paragraf akhir, tiba-tiba bingkai foto berukuran 8x12 cm jatuh dari meja tersentuh sikutku. Aduh, Kenapa sayang? Maaf ya, tidak sengaja. Gumamku dalam hati sekaligus meminta maaf kepada gadis yang ada di foto itu.

Hujan pun sudah dari tadi tidak sabar untuk membasahi semak-semak kecil yang menghijau di halaman rumahku, mereka seolah berteriak dengan ucapan terima kasih kepada sang hujan karena sudah mengunjunginya dengan penuh kasih sayang. Tidak jauh berbeda denganku, selama ini sangat rindu akan kekasihku.

Lewat foto itu, aku bisikkan kepada sang kekasih bahwa setiap kalimat yang kutuliskan dalam novelku sebanyak itu pula ratapan rinduku padamu.Hingga nanti kita akan kembali bersama seperti dulu.

Lamno, 080216





Dicky Qulyubi Aji - Aku dan Hujan


Aku benci hujan, tahu kenapa? Karena dia beraninya keroyokan. Tapi di sisi lain, aku menyukai hujan. Tahu kenapa? Karena dialah yang menyadarkanku dalam keheningan malam. Lamunan itu timbul kembali dari masa hibernasinya yang teramat panjang.

Dan pada akhirnya aku menyukai hujan. Ketika terlukis pelangi setelah semuanya berangsur terang. Hujan pun rela menjadi penyeimbang rasa gundah dan bahagia di setiap sela waktuku bersamamu, tapi itu dulu. Kini hingga nanti, aku sudi menjadi penikmat hujan. Tahu kenapa? Karena hujan bagiku adalah pengantar rindu. Tapi terkadang, hujan terlalu banyak mengirimkan tetesan yang memukul dinding masa lalu yang mengingatkanku tentang semuanya tentangmu yang (pernah) membuatku pilu. Inginku menangis rindu ketika teringat seberkas kenangan masa lalu. Kemudian aku mencoba untuk menerka, apakah hujan dapat melarutkan rasa gundah yang bersarang lama di dada? Ah, tapi sayang, hujan terlalu malas untuk berbalas sapa. Dan kini, kumulai kembali untuk menjadikan diriku sebagai penikmat hujan. Karena hujan dapat membantuku untuk menyamarkan air mata. Aku benci kepalsuan. Tapi aku harus tetap tesenyum meskipun duka telah menjarum di hatiku sejak lama.

Bagiku, romantis bukan ketika menatap hujan yang menitik dalam gerak lambat. Tapi merekam senyum yang pernah kaubuat dengan pahatan lesung pipi yang membuatku tersengat. Entah kenapa hujan selalu mengingatkanku pada kenangan waktu itu. Bersamamu.

Hujan selalu bercerita bersamaku dalam kabut jendela dan kutuliskan namamu di setiap sudut dinding hatiku. Karena kuingin kau tahu, kau telah berhasil membuatku menelan rasa candu akan semuanya tentangmu.


Nuzulul Rahma - Hujan Aku Rindu Kamu


Hujan adalah anugerah Tuhan yang indah. Dia datang dan bertugas untuk memberi kesejukan bagi alam. Dia senantiasa menjadi hal yang paling ditunggu-tunggu oleh semua orang ketika musim kemarau dan kekeringan melanda. Namun ketika dia datang dengan berlebihan dia juga membuat orang lain sedih bahkan menangis. Itulah arti sebuah hujan, dia bisa menyejukkan dan menghancurkan. 

Rindu merupakan sebuah kata yang dimiliki dan ungkapkan oleh setiap orang yang terpisah. Dia selalu menjadi ungkapan pertama yang menyatukan antara dua sejoli yang terpisah jarak dan waktu. Dia pemilik jarak, namun dia juga pemisah jarak. Dia kata yang paling menyenangkan ketika dua sejoli tak bisa bertemu. Inilah makna kata rindu yang syahdu. 

Kamu adalah panggilanku untuk dia. Ketika aku bertemu dia, kutatap wajahnya dan aku berkata, "Kamu darimana saja? aku rindu kamu". Lalu dengan senyum kamu menjawab pertanyaanku, "Kamu tidak usah khawatir, aku juga rindu kamu. Namun yang terpenting ketika kamu rindu aku dan saat itu hujan, pejamkan matamu dan rasakan kehadiranku di sisimu."
"Aku sangat merindukanmu, hujan ini menjadi saksi kerinduanku padamu." 
"Hujan, aku Rindu Kamu”.



Qurrata'ain Mahfud - Rindu


Angin malam ini membisikkan setiap bisikan rindu yang ada, yah rindu kepadamu, rindu kepada sang pujaan hati. Desiran ombak laut seakan meneriakiku, mau sampai kapan bertahan? Apa aku harus mengakhiri ini di kala perasaan ini masih sama ketika kamu di sini. Cinta ini berawal sejak empat tahun yang lalu, waktu yang lama untuk bertahan sejauh ini. 

"I MISS YOU YANG" 
Sepenggal kalimat singkat yang begitu menyayat hati. Air mata menggenang di pelupuk mata dan hujan membiarkan air mataku tak terlihat. Itu melegakan sayang!

Aku bermain dengan Hujan berharap setiap rintikan air hujan bisa menyampaikan setiap rindu yang ada. 

Terima kasih untuk rindu yang banyak ini, kadang menyebalkan. Rindu tamu yang tidak kusukai datang seenaknya dan pergi tanpa kutahu kapan akan kembali. RINDU mulai menyatukanku dengannya di permulaan waktu ini, rindulah yang akan bercerita kepadaku tentangmu dan tentang aku yang merindukanmu.

Bima, 08-02-2016



Dini Fadhillah Anshari Nasution


Hujan masih bersedia jatuh ke bumi meski tahu betapa sakitnya jatuh. Jatuh cinta misalnya. Bau tanah naik ke permukaan. Baunya khas memang. Aku suka. Aku tak tahu, kenapa hujan berpindah ke pipiku, mengalir di sana. Ternyata aku salah, itu air mata bukan air hujan.

Hujan selalu menghantarkanku pada sebuah kerinduan. Begitu sedih saat orang yang memberi kenangan, kini menjadi kenangan. Aku rindu. Entah apa yang kurindukan darimu. Selaksa alam kian memancing. Hujan tak kunjung henti.
Aku tak tahu mengapa bisa terjadi. Tapi yang jelas rindu tetap bersarang di hati. Rindu memang tak pernah mengalah.

Hujan masih juga belum berhenti, memaksaku melanjutkan rindu ini. Aku tentu ingin menolak. Kamu memang begitu, selalu memaksaku merindu. Kamu hujanku.

dini,08 feb 16



Endang Indri Astuti


Payung Rindu Harusnya di saat hujan seperti ini aku tidak traveling. Tapi apa dayaku, pekerjaanku sebagai travel blogger menuntutku. Gadis itu usinya tak jauh beda dari adikku, Alona. Dia menyodorkan sebuah payung saat aku memijak anak tangga pertama Tawang Mangu. 
"Payungnya Kakak," tutur gadis itu. 
Hujan begitu deras bicara. Tanpa banyak tanya, aku meraih payungnya. 
"Siapa namamu, Dik?" tanyaku padanya. 
"Rindu, Kak. Ketemu di atas ya, kak?" ujar Rindu berlalu. Untuk sampai di tempat parkir, aku harus melewati seribu anak tangga. Di ujung gerbang setelah aku mencapainya, Rindu menghampiriku. 
"Ini, Dek." Aku menyerahkan pecahan lima puluh ribuan. Rindu menggeleng. "Aku bukan ojek payung, Kak. Payung-payungku kusewakan gratis. Oh ya Kak, aku pulang dulu," pamit Rindu. Dia meninggalkanku penuh tanya. Bahkan ketika BMW silver itu telah berlalu, aku masih geming.



Purwa Astino - Bersua Dalam Hujan


Gemercik air kian besar, pertemuan antara hujan dan sang matahari pun kian tenggelam. Waktu begitu cepat berlalu, secangkir teh hangat pun membuat aroma tubuh layak menagih. 'Aku ini si 2000 bunga, sekali pun hujan. Aroma hujan pun kalah wangi dengan 2000 bunga ku Ari'. Tetap melekat pada dinding jendela, kupandangi hujan di layar sana. 3 tahun itu berlalu,"Sruuuup" Teh ini jd penghangat untuk menemani cuaca yang seperti ini. 'Sinai, jangan sedih lagi. Aku tidak sengaja menumpahkan 2000 bunga mu. Maaf kan aku'. Aroma ini, ya aku tau, aroma pembawa rindu. Aku rindu pada Ari. Dia yang mengenalkan 2000 bunga ini padaku. Hey hey, apa aku sedang rindu dengannya? 3 tahun sudah tidak bertemu. Untuk mengatakan salam saja rasanya enggan untuk ku. Yang ku tahu, rasa ini mulai canggung dengannya.
"Hallo ... Kemungkinan bisa, Fa! Oke. Menurut kamu? Ya, jam 08.00 malam. Sip." 
Sore ini temanku Syifa mengajakku ke sebuah tempat makan. Aku rasa tempat makan itu tidak asing, begitu banyak kenangan bersama kamu Ari. Oh Tuhan, apa aku ini sedang menggumam? Tiada henti waktu ini menyebut namanya. Tapi aku tidak akan was-was jika terus menyebut namanya. Karena tidak mungkin dia langsung hadir berdiri di hadapanku sekarang
"Syiffa..." teriakku pada sahabatku Syiffa, namun siapa laki-laki yang sedang bersamanya. 
"Sinai, kemarilah. Nampaknya kau basah sekali." 
"Tidak apa, Fa. Tunggu." Aku tidak salah melihat, ini Ari. Ya Tuhan, hujan ini pertanda sangat baik. Do'a mujarab di saat hujan, ini yang kulihat. Kamu Ari, sekarang kamu di hadapanku. Dan Rindu ini, apa aku masih yakin rinduku telah terbayar. 
"Eh, kok bengong Nai?" Aku tidak bisa menahan hasrat untuk memeluk sahabatku Ari. 
"Ari, kamu kemana aja. Aku engga marah dengan kejadian itu. Aku hanya sedang labil saat itu. Aku tau kamu ga sengaja. Aku yakin kamu juga ga bisa marah kan sama aku,?" Kupeluk erat tubuhnya, sekian lama hasrat ini yang kunanti-nanti. Sahabat terbaikku, aku sangat merindukannya. Karena sebuah keegoisanku. 
"Aku engga marah Sinai, hanya saja aku masih bertanya-tanya. Aku takut kamu masih marah sama aku. Untuk itu aku menyuruh Syifa untuk mendatangkan kamu kesini. Kamu tahu, aku sangan rindu padamu Sinai." 
"Aku juga rindu sama kamu Ari, aku gamau kehilangan sahabat aku. Ya, itu cuma kamu."
Dan kutahu, Hujan punya rencana untuk membahagiakan Rindu ini menjadi kamu yang selalu kunanti.

#Purwa1196



Rini Indah Tewe - Hujan Lentera


Suara Celine Dion tiba-tiba membahana. Lirik dalam 'My heart will go on'-nya memenuhi kamarku, berdesakan dengan deru hujan di luar. Ponsel yang terkapar tak jauh dari tubuh kurus ini berbaring telah memaksa nyawa kembali ke dimensi gelombang beta.
.
'Lentera'. Nampak jelas di layar ponsel.
.
Ya, Tuhan ... mengapa tiba-tiba hadir, Mas Hamdan? Kamu yang kusemayamkan dalam nama kontak itu. Lentera yang menyinari lorong hidup yang sempat kelam. Laki-laki yang bisa melenggang pergi di hari pernikahannya hanya untuk meraih tangan rapuh seorang janda. Kini ada apa? Jangan bilang kamu rindu! Tiga tahun bukan waktu yang singkat untuk mengeringkan luka. Dan batinku gaduh, Diangkat nggak, ya?

Jombang, 8 Feb 2016 @ 21:10 WIB



Frans Setiawan


Seharian ini matahari seperti sedang bermalas-malasan dalam menjalankan tugasnya. Sejak aku membuka mata tadi pagi hingga malam ini gerimis terus mengiringi aktivitasku. Padahal hari ini aku sedang memiliki banyak pekerjaan yang mengharuskanku untuk berada dalam ruang terbuka. Cuaca seperti ini benar-benar menjadikanku melakukan sesuatu yang benar-benar tak kusukai. Menggunakan mantel. Huhh!

Dulu, saat ada kamu, aku tak perlu memakainya. Karena kamu dengan senang hati menawarkan payungmu. Kamu dengan senang hati menawarkan candaan kecilmu atau godaan-godaan kecilmu yang selalu sukses menghangatkan hatiku. Kamu yang selalu mengerti aku dengan membawakanku secangkir teh tubruk hangat. Kamu yang selalu hadir bahkan saat kau tak ada di sini.

Kamu ... Ingatkah kamu padaku? Ingatkah kamu akan janjimu? Ingatkah kamu akan semua yang telah kita lalui. Aku bahkan belum sempat membalas semua yang kamu berikan. Tapi, kamu telah lebih dulu pergi membawa beberapa kepingan hatiku. Aku tidak egois dengan mengatakan kamu membawa seluruh hatiku, sementara aku sekarang sedang duduk beedua dengannya. Tapi, kepingan hati yang sudah kamu bawa pergi, akan selalu menjadi milikmu. Damailah selalu di alammu. Biarlah di sini aku cukup dengan mengenang keberadaanmu untuk meredakan kerinduanku.

End

Frans_ss 08022016



Putri Krida Yusuf


Butir-butir itu akhirnya turun juga. Sengaja kutunggu saat-saat seperti ini, agar tak ada yang melihatku menangis. Aku suka jika hujan mulai turun. Yang aku tak suka jika hujan turun, aku menangis. Jika air hujan turun menerpa wajahku, selalu diiringi oleh air mataku.

Kamu ... yang selalu membuat aku menangis di kala hujan. Mengingatkanku akan kisah kita yang telah berlalu. Membuka kenangan lama yang telah kusimpan rapat-rapat. Menorehkan luka lagi di atas luka yang telah mengering. 

Saat hujan turun, aku ingat kamu. Aku rindu padamu. Rasa rindu ini seperti air hujan. Bisa kusentuh dan kurasakan air hujan ini membasahi tubuhku. Namun tak bisa kudekap erat, seperti kenangan ini yang selalu mendekapku erat-erat. Karena saat hujan turun, aku sangat rindu padamu. Padamu yang jiwanya ada bersamaku, tapi hatimu telah pergi terbawa air hujan. 

Bogor, 080216



Ghina Permata Sari


Setahun yang lalu, namun masih terngiang dalam pikiranku saat ini. Pria tinggi dengan senyumnya sambil berjalan menuju pintu bandara. Aku terus memandangi sosoknya hingga akhirnya tak terlihat lagi. Hari itu, hari terakhirku melihat senyumnya.

Gemercik hujan menciptakan simfoni indah merasuk jiwa. Di tengah keheningan ada gemelut resah menyelimuti. Aku kembali termenung di samping jendela, teringat akan candanya dan dirinya begitu menusuk hati. Ada setumpuk kerinduan akan sosok terkasih. Kadang, aku berterus terang kepada Tuhan, "Aku tidak mau seperti ini, kembalikan!" Lantas apakah Tuhan mengabulkannya? Tidak, karena Dia tahu apa yang terbaik untukku. "Hadapilah dengan lapang dada," ucapan yg seakan sangat mudah bagi mereka.

Ya, ia adalah ayahku. Pria yang sangt kuhormati melebihi raja sekali pun. Di tengah asiknya suasana kelas yg lucu, aku pulang akibat sebuah telepon yg memanggil. Sesampainya di rumah aku melihat kakak dan adikku menangis, ibuku duduk melantunkan ayat ayat suci untuknya. Terperangah, energiku seakan tersedot waktu. Aku berjalan lunglai menuju sosok yg terbaring kaku itu. Ketika kubuka kain yg menutupinya, aku hnya bisa trsenyum dan memeluknya sebisaku. Sedih, sakit, ada lubang besar di jiwaku sekarang. Begitu dalam kenangan dan cinta untuknya hinggaku tak percaya ia telah tiada. Hei, apakah kalian tahu seperti apa perpisahan yg paling menyakitkan? Itu bukan perpisahan karena pikiran tidak sejalan tapi perpisahan yang paling menyakitkan adalah saat kita tidak akan pernah bisa lagi melihatnya. Tidak menangis saat berpisah bukan berarti aku tidak menyayanginya. Justru aku tak menangis karena ada kehancuran dalam kasih. Detik ini pun sungguh, aku merindukan senyumnya.

Banjarmasin, 8 Feb 2016



Alizha


Pernah kusempurnakan rindu ini untukmu
Ketika harap kusemai di putihnya nuranimu
Ketika asa kutitip di jantung kecintaannmu

Tapi kini ... Rindu itu sudah tak sempurna lagi
Ketika di ujung jalan sepakat untuk berpisah
Sepakat untuk mencari cinta lain
Sepakat untuk merindu dicawan yang tak lagi sama.

Aku, kamu, hujan dan rinduku
Akankah menjadi kenangan atau hanya menjadi tugu dari kisah yang tak pernah sempurna.



Yoana Zahara - Merindulah Seperti Hujan



Hujan, bukan sekadar rintik yang membasahi sela jemari, bukan juga hanya rinai yang menyembunyikan airmata dibalik wajah kala aku berjalan di tengahnya, di balik itu ada kisah tentang kamu, masa lalu, canda tawa, dan airmata kita yang jika orang melihatnya pasti muncul kata bahagia. Begitulah kita rintik hujan sederhana yg tak berujung indah seperti pelangi selepasnya.

Peristiwa itu kini berubah tanpa rasa, membumi gersang relung kerinduan, menghukum mati cita-cita untuk bersama, mengubur hidup-hidup sempurnanya rasa yang tersisa, dan lagi kata kita menjadi tak ada, yang ada kamu dan aku saja. Andai saja waktu kuratui, akan kuulang masa dimana awan melepas hujan dengan hati-hati. Menjaga tiap rintik yang perlahan terjatuh, hingga menghasilkan pelangi musim semi yang terindah, dan kita duduk di tengahnya, memandangi warna sastra selepas senja, menjelang cahaya agung rembulan, menghitung kedip mata bintang dalam gulita, hingga terlelap bermimpi surga lalu terjaga Akankah jadi nyata? 


Agar bisa selamanya dalam hati kau bertahta bermahkota, tapi takdir berkata dongeng kita tinggal sketsa, seperti berdelusi di kenangan yang tinggal ekspektasi. Dan lagi rintik hujan pagi bagai sendu yang tak lekang semalam, membawa sembab di pelupuk mata, mengayun pilu kerinduan, jika masih boleh berharap. Ukirlah sebuah pelangi walau hanya satu warna, agar tak terlalu pekat, jika masih boleh berangan, bolehkah semesta kugenggam dalam diam, agar tak terlalu gemuruh, kalau masih boleh berkawan, bisakah kita dipertemukan dengan keadaan yang baru, dalam dunia yang lain, agar tak terlalu patah dalam hati, dan merindulah seperti hujan, dalam diam namun jatuhnya pasti, perlahan namun luasnya terberkati. 






Emi Nur Hozaifah



Kau tahu? Di luar hujan. 
Aku mendengar pasukan hujan datang, dengan seribu prajurit yang kuat berani. 
Malam ini hanya segelintir manusia yang hingar-bingar dalam redupnya malam dan ditemani nyanyian sumbang prajurit hujan. Termasuk aku. 

Sudah satu jam mengitari kota ini, kota mati tak bertuan. Hanya ribuan cahaya yang mengelilingiku tanpa suara, tanpa rasa, tanpa cinta. Aku terus berjalan diatas bayangan sendu, menepi dijalan trotoar. Mencari arah kemana akan kembali. Pukul 11 tengah malam kini jalanan layaknya pemakaman umum. Sepi menyayat hati membuat bulu kudukku berdiri. 
Tepatnya di sini, di persimpangan jalan yang tengah kulewati. Masih jelas terbayang rindu dalam pelupuk mataku, kilat maut itu terjadi merebut raga dan jiwamu. 

Kuambil kunci di kantong jaketku yang tebal. 
"I'm home", lalu kurebahkan diri di atas sofa lalu kurasa mulai terlelap. 
"Ibu sepulang sekolah nanti aku akan ada jam tambahan les biola," ucapku sambil mengunyah sarapan rotiku. 
"Jangan lupa bawa payung, jangan sampai terjadi hal yang tidak di inginkan lagi. Ibu tak suka," kata ibu mengingatkanku. 
"Iya, Bu. I'll be careful. Dah ibu, aku berangkat." 
"See you soon" 
"See you, Mom." aku mencium pipi ibuku dan berangakat ke sekolah. 

Masih pukul 4 sore, tapi sudah sepi kendaraan. Apa mungkin karena faktor cuaca? Akhir-akhir ini kabar cuaca sedang buruk. Dan minggu lalu beredar kabar kecelakaan di persimpangan jalur Veteran akibat kabut yang menutupi pengemudi sehingga tak dapat melihat jalan dan membuat si pengemudi menabrak seorang wanita hingga tewas. 

Cuaca semakin buruk. Aku harus segera pulang, Ibu pasti sudah menungguku dirumah. Sudah hampir setengah jam aku menunggu angkot, tapi jarang ada yang lewat. Ku putuskan untuk jalan kaki saja, paling hanya menempuh waktu sekitar 15 menit. Ketika melewati jalur Veteran, banyak orang sedang ramai-ramai mengerubungi sesuatu. Aku pikir, pasti hari ini ada kecelakaan lagi. Dan benar saja, tak lama datanglah mobil ambulans membawa korban yang kabarnya meninggal karena tertabrak pegendara motor. Aku semakin mempercepat langkahku untuk segera tiba dirumah. Setelah lima menit berlalu akhirnya aku sampai dirumah. 
"Ibu, aku pulang!" teriakku ke seantero rumah. Tapi tak ada jawaban dari Ibu, mungkin ibu sedang tidur. Aku tengok ke kamarnya tapi tak ada. Aku lupa, hari ini ibu sedang mengunjungi nenek di desa sebelah. Baiknya aku rebahan sambil menunggu Ibu pulang. Belum sempat aku duduk di sofa, bel rumah berbunyi. Paling juga Ibu. Tapi ternyata aku salah, itu polisi. Dan dia mengatakan suatu hal, "Adik kecil, saya minta maaf tidak bisa menyelamatkan Ibumu dengan segera," tutur orang itu dengan wajah yang sangat iba. 
Aku diam, masih tak mengerti apa yang diucapkannya. Aku berusaha bertanya tapi tidak dengan suara, kerutan di keningku mewakili rasa bingungku. 
"Ibumu meninggal satu jam yang lalu akibat kecelakaan di jalur Veteran." 
Dan aku hanya terpaku, lalu menangis tanpa suara. 

Di tempat ini, di atas kakiku sedang berpijak. Itu dua tahun yang lalu, saat yang kutahu ibu sedang menungguku pulang. Ternyata ibu yang akan pulang dengan cepat. Aku rindu Ibu, ketika hujan membasahi air mataku di pusara ini.



Alizha - Memahat Asa


Menyaji harap menjamu rindu
Sepiring gelisah dan semangkuk resah
Yang engkau hidangkan di antara rinai hujan 

Aku hanya mencari secangkir rindu yang tak berpura-pura
Lalu kamu menjawab, secangkir aku tak punya tapi setenguk bisa aku hidangkan.

Lalu, dengan apalagi kukatakan cinta padamu? Lisanku tak mampu berkata
Hatiku terpenjara takjub menatapmu..
Bahasa kalbu' dapatkah kamu memaknai?
Ah, Khumairah kekasih hatiku, dawai rinduku
Petikan asa kesanggupanku.


Aulia Maysarah

Perlahan aku beranjak dari tempat tidur meraih sebuah pigura di nakas, sejurus kemudian menghadap ke jendela. Hujan masih mengguyur di luar. Makin deras tanpa jeda sejak tadi sore.

Perasaan sesak itu makin memuncak, apalagi saat tanganku menelusuri wajah gadis dalam foto. Aku rindu. Sangat.

"Kak, andai waktu itu kamu terima ginjalku, apa sekarang kita bisa bersama?" Aku melorot dari tempatku ke lantai. Tergugu.




0 komentar:

Posting Komentar