Jumat, 02 September 2016

Alasan Kenapa Pelangi di Langit Mendung Harus dikembangkan Jadi Novel




Pelangi di Langit Mendung awalnya adalah sebuah naskah cerpen. Pernah masuk 10 besar cerpen terbaik pilihan Loka Media.
Kenapa saya memilih Pelangi di Langit Mendung untuk dikembangkan jadi novel? Kenapa tidak juara satu atau dua saja yang saya tawari untuk terbit gratis?
Alasannya, beberapa kali saya membaca cerpen Pelangi di Langit Mendung, tidak pernah ada bosannya. Saya suka Rositi menyajikan sebuah kisah dengan memasukkan nama-nama tokoh yang unik. Mendung Srikandi, Langit Ramadhan, Raja, Ratu, Pelangi, Awan—anak Mendung.

Sebenarnya, alasan yang paling kuat kenapa saya menyuruh Rositi mengembangkannya jadi novel, saya pikir ide Rositi keren sekali. Dia peka terhadap lingkungan sekitar, teror bom di Sarinah yang terjadi 14 Januari 2016 kemarin, dia jadikan suatu karya. Ya, dari semua cerpen yang masuk, hanya cerpen Rositi yang beda. Beda dalam artian idenya keren dan beda dari semua cerpen-cerpen yang masuk yang idenya sudah umum. Tapi saya tidak selalu terfokus memilih cerita yang idenya segar dan keren. Tidak. Saya justru malah memilih cerpen karya Widyastuti Putri sebagai juara satu karena dia pintar memainkan alur. Saat membaca ending ceritanya, saya sampai takjub, “Sialan, ini penulis berhasil mengecoh saya. Ending-nya membuat saya wow.”

Ya, saya selalu suka cerita yang berakhir mengejutkan. Tidak bisa ditebak dan membuat pembaca meninggalkan sebuah kesan yang tidak pernah terlupakan. Karena jarang ada penulis yang bisa membuat si pembaca masuk ke dalam cerita apalagi terkesan dengan karyanya.

Waktu saya bingung menentukan juara dua dan tiga. Saya minta pendapat Kak Wulan. “Gadis porselen saja, cerpen yang satunya gaya bahasanya bagus. Tapi beberapa hari kemudian aku sudah lupa jalan ceritanya.”

**
Saat itu Loka memang baru berdiri, saya juga was-was ketika menawarkan terbit gratis pada Rositi. Dalam hati bilang, “Duh, Rositi mau nggak, ya, kalau saya nggak bisa menjanjikan bukunya masuk toko buku padahal dia sudah capek-capek mengembangkan cerpennya jadi novel.”

Beberapa hari kemudian, Rositi membalas inbok saya. Saya tidak menyangka kalau dia begitu antusias dengan tawaran saya dan mengucapkan banyak terima kasih pada Pimred Loka.

2 Minggu dia menyelesaikan naskah Pelangi di Langit Mendung, lebih dari 100 halaman. Berhubung saya masih mengedit naskah lain saat itu, jadi saya serahkan ke Lisma untuk di-edit dan nanti tetap akan saya baca.

Lisma tiba-tiba mengeluh, dia tidak cocok dengan gaya bahasa Rositi. Baiklah, sepertinya naskah Rositi memang berjodohnya dengan saya untuk editing. Sama halnya kemarin saat menyerahkan naskah Gusti Riant ke Kak Desi untuk di-edit, pada akhirnya naskah itu kembali pada saya lagi.

Naskah yang dikembalikan pada saya itu bukan jelek. Bukan. Hanya perbedaan selera saja. Ada beberapa orang yang memang cocok dengan gaya bahasa Raditya Dika tanpa mengagungkan diksi, ada juga yang lebih suka gaya bahasa mendayu-dayu dan nyastra.

Selama menyunting naskah Rositi, saya sempat pusing dengan Ejaan Bahasa Indonesianya. Saya dulu juga sempat kesal karena dia membuat bahasa seenaknya. Lalu baca statusnya yang sampai asam lambung naik, duh ... saya jadi merasa bersalah. Tapi itu juga saya lakukan demi kebaikan naskahnya. Saya tandai merah untuk beberapa kata yang harus diganti, mengganti bagian yang kurang sreg, juga mencoret bagian-bagian yang tidak perlu.

Setelah merevisi naskahnya, Rositi mengirimkan naskahnya lagi ke saya. “Kak, aku takut.”
“Takut kenapa?”
“Takut bikin kecewa.” Sambil kasih emoticon sad.
“Menulis memang butuh proses. Saat selesai menulis naskah tidak langsung bagus. Perlu beberapa polesan agar naskahmu menjadi semakin bagus.”

Kemudian saya membaca full naskah Rositi yang sudah dia edit dan revisi. Saya terkagum-kagum dengan gaya bahasanya yang tidak biasa, novel yang menurut saya agak seperti sinetron tapi dia berhasil menyulapnya menjadi naskah yang sesuatu dan tidak berlebihan.

Percaya tidak percaya, saya sampai menangis ketika menamatkan novel ini. Ya, Rositi sudah berhasil membuat saya masuk ke dalam cerita, membuat saya ikut merasakan kepahitan Mendung. Dia sudah berhasil memberikan kesan kepada saya sebagai pembaca.
Saat itu, dengan kondisi yang masih berkabung. Saya ucapkan Alhamdulilah karena naskah Rositi sudah SELESAI EDITING dan SIAP TERBIT.

Lisma yang merasa bersalah, dia akhirnya membuatkan puisi untuk novel Pelangi di Langit Mendung. Jika kamu sudah memiliki bukunya, kamu akan menemukan puisinya di bagian terakhir.

Setelah naskah Rositi di-layout, saya daftarkan ISBN. Rositi juga mengejar target agar novelnya bisa segera terbit supaya bisa dipromosikan di Korea Selatan. Tetapi, ya begitulah. Rencana manusia memang kadang tak sejalan dengan rencana Tuhan. Novel Rositi ISBN-nya keluarnya setelah menunggu sebulan kemudian.
Saya sampai mengucapkan maaf beberapa kali karena merasa tidak enak.
Tetapi, saya selalu percaya, novel Rositi pasti akan booming meski terbit di penerbit indie. Ilustrasi yang dibuat Rizky Dewi benar-benar keren dan hasil cetaknya juga memuaskan. Spesial untuk novel Rositi karena sudah bersabar menunggu ISBN keluar sampai sebulan lebih. Saya coba buat sesuatu yang unik, menyelipkan amplop berwarna mendung dan di dalamnya ada surat dari Langit. Mengingat, Langit sering memberikan surat rahasia kepada Mendung. Ide itu akhirnya lahir.

Mendung bukanlah tanda kepiluan yang dilumuri duka, alunan sakit atau malah dosa dari kutukan. Karena pada kenyataannya, mendung merupakan bagian sekaligus takdir dari Langit.
-Pelangi di Langit Mendung-




0 komentar:

Posting Komentar