Sabtu, 27 Agustus 2016

Menjalani Usaha Penerbit Indie (Loka Media) Part1


Novel karya Adinda, penulis pertama yang menerbitkannya di Loka.


Dulu, saya pernah menulis “Sejarah Didirikannya Penerbit Loka Media”, sekarang saya ingin share pengalaman selama saya menjalani usaha di bidang penerbitan. Sebenarnya sudah lama ingin menulisnya, tetapi ... karena masih banyak job saya baru sempat menuliskannya.
Menjalani usaha memang tidak selalu jalannya mulus, apalagi jika perusahaan baru. Kita harus merintis dari bawah dulu, menikmati proses sampai suatu saat benar-benar ada di puncak.
Buku pertama yang Loka terbitkan adalah When I Open My Eyes dan I Miss You hasil dari event cerpen yang kami adakan, sebenarnya itu adalah lomba cerpen yang saya adakan di penerbit lain—sudahlah saya tak mau membahasnya lagi.
Pertama, masalah yang kami alami adalah mengenai ISBN. Entah kenapa semenjak saya masuk jadi lini Pena House, ISBN keluarnya lama. Biasanya paling lama satu minggu, ini sampai dua minggu.
Tapi tetap Alhamdulilah karena ISBN keluar.


Berhubung penerbit indie, dan kami baru berdiri. Loka memberikan paket penerbitan Rp100.000 dulu. Tadinya ingin memberikan harga 200-300. Tapi takut kemahalan. Setelah posting paket penerbitan Loka Rp100.000,-, kemudian ada yang komentar. Katanya terlalu murah, biasanya yang murah itu tidak berkualitas. Gimana perasaan saya saat itu ketika ada yang komentar seperti itu? Tentu saja rasanya sakit. Niat baik memberikan paket penerbitan murah, tetap saja ada yang tidak suka. Ya, memang sih niat baik tak selalu disambut dengan baik juga. Akan selalu saja ada yang tidak suka.
Klien pertama yang kami tangani saat itu adalah penulis bernama Adinda Amara. Suatu kebanggaan bagi kami karena kami mendapatkan klien di awal penulisnya ramah. Mau diajak kerjasama.
Tentunya saya juga tambah senang ketika Adinda sering curhat kepada saya mengenai kepenulisan. Membuat saya semakin dekat dengannya. Dinda menerbitkan novel perdananya di penerbit yang baru berdiri.
Dulu sempat tanya sama Dinda, “Kenapa memilih Loka? Loka kan baru berdiri, saat itu kami juga belum mengeluarkan cover terbitan kami. Apa karena harganya yang murah?” tanya saya.
Dinda menjawab, “Aku nerbitin di Loka bukan karena harganya, Kak. Tapi saat melihat logo Loka, aku langsung suka. Keren. Yang ada di pikiranku pasti nanti desain cover-nya juga keren.”
Terima kasih lho, ya, sama Kak Wulan Kenanga yang sudah membuat logo cantik. Ketjup. :*

Lalu masalah kedua setelah ISBN, naskah yang katanya dicetak hanya menghabiskan waktu 2 Minggu. Malah jadi 3 Minggu. Ditambah saat pengiriman yang memakan waktu sebanyak 10 hari. Membuat saya rasanya ingin berubah jadi monster.
Ribut-ributlah saya dulu sama Pimpinan Pena House. Kesal karena buku belum sampai-sampai. Kalau itu buku pesanan saya sih nggak masalah, tapi ini pesanan orang lain. Ditambah karena dulu saya pernah trauma, 3 kali hasil cetak tidak memuaskan. Membuat saya semakin takut kalau para pemesan akan kecewa.
Saya coba tenangkan Dinda dan para pemesan yang lain, minta maaf. Untunglah mereka mengerti dan menjawab, “Nggak apa-apa, Kak. Yang penting bukunya sampai dengan selamat.”
Dan syukurlah, ketakutan dan kesabaran saya menunggu kiriman buku cetak terbitan Loka hasilnya memuaskan. Kertas awal yang saya bayangkan warnanya abu-abu seperti koran, ternyata warnanya kuning seperti novel terbitan Gagasmedia.
Saya ikut bahagia ketika penulis yang menerbitkan naskahnya di Loka saat memegang buku hasil cetaknya. Rasanya seperti memosisikan diri sebagai penulisnya sendiri.

**
Berhubung banyak yang memuji cover Loka bagus. Akhirnya saya menaikkan paket penerbitan jadi 200ribu. Mengingat saya juga harus menggaji Kak Wulan, Rizky dan Lisma.
Saya ketemu klien kedua, kali ini penulisnya laki-laki. Dia sudah kirim naskahnya, dan saya serahkan kepada Lisma untuk di-edit. Tetapi, belum apa-apa penulis ini sudah meributkan cover. Dia ingin cover-nya buatan sendiri. Okelah, saya coba lihat dulu hasil cover-nya. Kemudian saya dan Tim Loka pun kaget karena cover-nya terlihat asal-asalan.
Berhubung penulis ini juga belum bayar, saya sudah kasih no. Rekening, mengingatkan juga tapi cuma diam saja. Yasudah, saya lepas penulis ini. Sudah ada perasaan nggak enak. Saya yakin masih banyak yang mau menerbitkannya di Loka.
Dan benar saja, setelah seminggu kemudian ada dua penulis yang minta no. Rekening saya untuk bayar biaya penerbitan.
Dulu naskah Dinda, Lisma yang edit. Tetapi berhubung Lisma sudah saya berikan naskah Pelangi di Langit Mendung—cerpen yang dikembangkan jadi novel yang saya tawarkan kepada Rositi untuk terbit gratis karena saya suka.
Kepala saya pusing saat mengedit naskah yang EBI-nya kacau.
Naskah seterusnya yang saya edit pun begitu. Akhirnya setiap Sabtu, saya dan Kak Wulan membuat program #LOKABahasa, share Ejaan Bahasa Indonesia.
Saya sampai mengeluh saat itu tidak mau lagi sistem bayar dan mau menggunakan sistem seleksi saja. Kak Wulan menenangkan saya sekaligus menohok.
“Kamu tahu apa tujuan penerbit indie didirikan? Menerbitkan naskah yang belum dapat kesempatan terbit di mayor, Say. Yang namanya kerja meski di bidang yang kita sukai, pasti ada saja hambatannya. Semangat, ya. Jangan marah terus.”

Ya, benar. Saya tidak boleh egois. Justru saya banyak belajar dari naskah-naskah yang belum bisa dikatakan bagus hingga berhasil menyulapnya jadi naskah yang layak untuk dibaca. Menyuruh penulisnya untuk revisi. Memberikan ilmu tentang EBI. Karena sejak awal membuka penerbitan karena ingin berusaha mementingkan kualitas. Dan saya juga sebaiknya hanya perlu membayangkan wajah-wajah bahagia para penulis pemula ketika memegang bukunya yang terbit di Loka media. Lalu pikiran saya tertuju pada Dinda yang saat itu begitu bahagianya memposting foto novel Reach Out to Me. Dia sampai mengucapkan banyak terima kasih pada Loka dan bilang kalau tidak salah memilih penerbit untuk menerbitkan novel pertamanya. Saya menyunggingkan senyum. Ikut terharu.

**
Ini dia masalah selanjutnya yang membuat saya sempat patah semangat. Masalah internal. Saat itu saya baru sampai kampus, ada BBM yang masuk dari Rizky Dewi. Dia bilang, “Mbak, ada sesuatu yang pengin aku omongin.”
Saya balas, “Apa, Ky?”
Rizky balas BBM saya lama, membuat saya dag dig dug. Dalam hati saya sudah ada perasaan nggak enak. Pikiran saya Rizky pasti mengundurkan diri. Dan beberapa menit terbuang ketika saya menunggu balasan Rizky Dewi, dugaan saya benar.
“Maaf Mbak, aku mau mengundurkan diri dari Loka.”
Oh, Demi apa Rizky keluar? Aset berharga saya keluar? Karena apa? Masalah apa? Apa karena saya memberikan gaji yang tak seberapa hingga dia memutuskan keluar?
“Aku lagi banyak tugas kuliah, Mbak. Aku keluar bukan karena bayarannya, aku ikhlas bantuin Loka. Aku cuma ngerasa nggak enak aja, soalnya pasti kalau desain cover bakalan lama.”
Saya coba tenangin diri dulu. Tarik napas. Saya nggak bisa melepaskan Rizky Dewi. Dia sudah masuk dalam sejarah didirikannya Loka. Dia sudah saya anggap seperti keluarga sendiri.
“Begini, Ky. Kalau memang kamu lagi sibuk, nggak apa-apa kamu istirahat sementara dulu aja. Kamu fokus nugas dulu aja. Loka nanti-nanti. Kamu desain sebulan juga nggak masalah. Tapi jangan keluar, ya. Itu bukan solusi yang tepat. Aku anggap kamu cuti aja. Jangan keluar. Loka baru berdiri, aku udah anggap kamu kayak keluarga sendiri. Bantu aku merintis Loka bareng Kak Wulan sama Lisma, ya?”
Rizky pun tak berapa lama membalas BBM saya, yang sempat membuat saya dag dig dug dia tetap ingin keluar.
“Makasih atas pengertiannya, ya, Mbak. Aku jujur ngerasa nggak enak banget. Iya, itu pasti. Loka udah jadi keluargaku. Oke, semangat!”
Alhamdulilah.
Rizky nggak keluar.
Tetapi beberapa hari kemudian...
Saya ribut-ribut dengan Lisma Laurel karena kesal dia menyerah mengedit naskah yang saya suruh. Dia juga akhir-akhir ini malas dan lebih suka mendesain. Saya saat itu kasih pilihan, mau jadi editor atau jadi desain cover?
Lisma tidak pilih dua-duanya.
Dia minta maaf dan memilih mengundurkan diri.
Rasanya bagai ditimpa batu raksasa.
Saya dengan sangat kecewa harus melepaskan Lisma meski sudah menahannya untuk tidak keluar.
Kecewa. Marah. Bukan marah pada Lisma. Tapi marah pada diri sendiri karena terlalu berharap pada Lisma yang bahkan sudah saya anggap sebagai adik sendiri.
Saya langsung curhat sama Kak Wulan.
“Lisma keluar.”
“Lho, kenapa?”
Saya jelasin bla bla bla.
Jawaban Kak Wulan malah membuat saya tambah cengeng. “Sayang banget, padahal Lisma serba bisa.”
“Hmm,” gumam saya. “Apa aku terlalu kasar, ya, Say?”
Maybe. Yaudah, nggak apa-apa kalau itu memang keputusannya.”
Saya juga bilang ke Rizky kalau Lisma keluar. Dia menanyakan alasannya, saya jawab bla bla bla.
“Pasti ada faktor lain, Mbak.”
“Ya. Mungkin aku terlalu emosi, kasar. Atau apalah. Aku udah terlanjur kesal, Ky. Takut menaruh harapan besar dan percaya sama orang lagi.”
“Jadikan pelajaran saja, Mbak. Biar nggak mudah mempercayai orang.”
Tapi meski saya sudah blokir akun FB Lisma. Saya tidak pernah menganggap dia keluar dari Loka. Dia tetap masuk dalam sejarah Loka. Dia tetap akan saya anggap sebagai adik. Saya sebegitu marah, sangat kecewa karena sayang. Sudah menganggap dia seperti keluarga sendiri.
Setelah itu, saya mencari pengganti Lisma. Kak Idha Febriana. Saya juga cerita sebelumnya mengenai Lisma.
“Kak, kalau mau mengecewakan aku sekarang saja, ya. Bilang nggak mau gabung di Loka. Aku trauma.”
Semua pun kembali baik-baik saja. Tetapi setelah itu masalah-masalah lain pun datang. Masalah yang lebih besar. Membuat Loka Media berada di ujung tanduk.
“Kenapa, ya, dari awal buka usaha kok Loka dapat masalah terus,” kata Kak Wulan sambil menyelipkan emoticon :'(
“Allah hanya mengetes kita, Say. Mau sungguh-sungguh atau nggak di bidang ini. Semangat. Allah nggak mungkin ngasih masalah kalau nggak ada jalan keluarnya. Aku mau sedia payung dulu sebelum hujan.”
:')

Bersambung...






0 komentar:

Posting Komentar