Selasa, 15 November 2016

REVIEW NOVEL HEIDI


Blurb:

Heidi adalah cerita dari Swiss tentang seorang gadis periang berhati lembut. Kisah ini terus digemari pembaca sejak diterbitkan lebih dari 100 tahun lalu.
Sepeninggal orang tuanya, Heidi tinggal dengan Bibi Dete. Saat usianya delapan tahun, dia ditiitipkan pada kakeknya di Gunung Alm. Heidi menghabiskan hari-harinya di gunung dengan riang bersama kakek, Peter si gembala dan neneknya, juga kambing-kambingnya.
Belum lama merasakan kebahagiaan di pegunungan, Bibi Date kembali dan membawanya ke Frankfurt untuk menemui Clara, anak perempuan sakit-sakitan dari keluarga kaya. Walaupun keluarga Clara memperlakukannya dengan baik, tetapi Heidi begitu merindukan gunungnya yang indah.
Dengan kelembutan dan kebaikan hatinya, Heidi mengubah hidup orang-orang yang dekat dengannya dan membuat segalanya menjadi lebih baik.


==

Sudah lama saya selesai membaca buku ini tetapi baru sempat atau lebih tepatnya ada keinginan untuk menulis review-nya. Akhir-akhir ini saya memang sedang bersahabat dengan malas. Kalau sudah malas menulis, maka saya pun akan malas membaca.
Di tengah buku yang semakin menumpuk saat itu, buku Heidi-lah yang berhasil saya tamatkan.
Rasanya saya sungguh sangat beruntung bisa menemukan novel klasik ini. Yah, meski agak menyesal juga karena terlambat baru membacanya. Saat memosting buku ini di Facebook, kemudian ada salah satu editor yang mengomentari postingan saya. “Pernah baca buku ini saat SD. Buku favorit saya.”
Sedikit tertohok karena saya baru membaca dan menemukan buku ini ketika usia saya sudah menginjak kepala dua.

==

Well, alasan kenapa buku ini berhasil saya tamatkan di antara sekian buku atau novel yang menarik, karena saya memang sedang menyukai novel klasik. Apalagi, ditambah tokoh utamanya adalah anak kecil. Heidi mengingatkan saya pada Toto-chan. Toto-chan adalah tokoh nyata di novel Toto-chan, kisah hidup si anak perempuan lucu yang ditulis oleh penulisnya sendiri. Novel yang sangat berkesan dan sampai sekarang saya pun masih ingat jalan ceritanya apalagi karakter Toto-chan. Pernah me-review-nya di Instagram dulu.
Oke, kembali lagi ke Heidi.

Seperti yang sudah dijelaskan di blurb, Heidi dulu tinggal bersama bibinya—Bibi Dete. Karena suatu pekerjaan yang membuatnya tidak bisa mengurus Heidi, Heidi lalu dititipkan ke kakeknya di gunung Alm. Kakek Alm dijelaskan adalah seorang kakek yang menyeramkan, hidup menyendiri di pegunungan dan memisahkan diri dengan manusia karena kejadian di masa lalu.

Saya sudah mulai tertarik ketika Heidi diantarkan ke tempat tinggal sang kakek, saya juga penasaran bagaimana nanti saat kakek bertemu dengan Heidi begitu juga dengan Heidi.
Ternyata, kakek tak semenyeramkan yang saya duga, awalnya kakek merasa risih dengan kedatangan Heidi, tapi lama-lama karena Heidi yang periang mampu membuat kakeknya berubah. Ya, bukan hidup kakeknya saja yang berhasil Heidi ubah, tapi juga Peter—teman menggembala, nenek Peter, dokter, juga Clara—si anak orang kaya namun sakit-sakitan.

Saya berhasil masuk ke cerita dan tinggal di gunung seperti Heidi. Mungkin karena efek saya tinggal di Jakarta—setiap hari melihat bangunan menjulang, merasakan macet dan polusi. Mengingatkan saya akan masa kecil yang indah, main di sawah, mencari jangkrik dan belalang, setiap pelajaran kesenian kami juga berlari ke sawah membuat asbak dan karya lainnya dari tanah liat. Syukurlah saya bisa menemukan bacaan menarik ini di tengah setting yang selalu diangkat perkotaan terus-menerus.

Saya ikut bahagia ketika Heidi bangun tidur melihat pantulan sinar matahari menembus jendela kamar sederhananya. Mendengar angin berbisik, juga setiap pulang menggembala, melihat matahari terbenam menghadirkan pemandangan yang begitu takjub. Kasih sayang kakek pada Heidi pun begitu besar, Heidi sangat bahagia tinggal di gunung bersama kakek.
Cerita mulai sedih ketika Heidi diambil oleh Bibi Dete dan suruh tinggal di Frankfrut, menemani Clara—anak orang kaya namun sangat kesepian. Ibu Clara—Nyonya Rottenmeier, yang sangat berbeda jauh wataknya dengan Clara dan ayahnya tidak menyukai Heidi. Heidi selalu membuat kekacauan di rumah. Tetapi, Clara menyukainya. Semenjak kehadiran Heidi, Clara tidak lagi kesepian. Konflik batin di sini adalah ... Heidi sangat merindukan kakeknya, gunung, pepohanan, nenek Peter, tetapi ia tidak bisa pulang karena tidak mau dibilang , “tidak tahu terima kasih”.

Berkat kehadiran Nyonya Sesemann—oma Clara, Heidi yang awalnya tidak bisa membaca karena teringat kata-kata Peter, “kau tidak akan bisa membaca. Membaca itu sulit!” kalimat itu selalu Heidi rekam di kepalanya. Namun, kehadiran oma mampu mengubah jalan pikiran Heidi, termasuk mengenalkan Tuhan.

Jujur saja, saya tersentuh dengan adegan itu. Bagaimana jika Heidi jatuh ke tangan orang tua yang salah, mungkin Heidi pun akan menjadi anak yang tidak baik pula.
Heidi mulai berdoa dan percaya pada Tuhan. Tetapi, ia mulai gelisah ketika doanya tidak pernah dikabulkan. Ia pun mengadu lagi pada nenek.

“Sekarang katakan, Nak. Kenapa kau tidak bahagia? Apa hatimu masih sedih karena masalah yang sama?”
Heidi mengangguk.
“Dan apakah kau berdoa setiap hari supaya Dia membereskannya agar kau akan bahagia lagi?”
“Tidak, aku sudah berhenti berdoa.”
“Jangan bilang begitu, Heidi! Kenapa kau berhenti berdoa?”
“Tidak ada gunanya, Tuhan tidak mendengarkan,” jawab Heidi cemas.
“Dan kenapa kau begitu yakin soal itu, Heidi?”
“Karena aku sudah berdoa meminta hal yang sama beminggu-minggu, tapi Tuhan belum mengabulkan permintaanku.”
“Kau salah, Heidi, kau tidak boleh memikirkan Tuhan seperti itu. Tuhan lebih tahu apa yang baik untuk kita daripada kita sendiri. Kalau kita meminta sesuatu yang tidak baik bagi kita, Dia akan memberikan hal yang lebih baik, kalau saja kita terus memohon dengan sungguh-sungguh dan tidak menjauhi-Nya dan kehilangan kepercayaan pada-Nya. Tuhan pikir apa yang kau minta tidak baik bagimu sekarang, tapi yakinlah bahwa Dia mendengarmu, karena Tuhan bisa mendengar dan melihat semua orang pada saat yang sama. Karena Dia itu Tuhan dan bukan manusia seperti kita. Dan karena Dia pikir lebih baik bagimu untuk tidak mendapatkan semua yang kau mau, Dia berkata pada Dirinya sendiri: Ya, Heidi akan mendapatkan apa yang dia inginkan, tapi sampai waktunya tepat, supaya dia bisa begitu bahagia. Kalau Aku memberikan apa yang dia mau sekarang, dan kemudian suatu hari dia melihat bahwa ternyata lebih baik dia tidak mendapatkan apa yang dia inginkan, dia akan menangis dan berkata, ‘Kalau saja Tuhan tidak memberikan apa yang kuminta! Ternyata ini tak sebagus yang kuharapkan!’ ‘Selamatkan aku Tuhan, karena tidak ada lagi yang bisa menolongku. Tuhan berkata, ‘Kenapa kau menjauh dari-Ku? Aku tidak bisa menolongmu kalau kau menjauh’. Jadi, maukah kau pergi dan meminta ampun pada-Nya? Kau boleh yakin bahwa Dia akan membereskan semuanya dan membuatmu bahagia lagi.”
“Aku akan pergi sekarang dan minta Tuhan untuk memaafkan aku, dan aku tidak akan melupakan-Nya lagi,” jawab Heidi penuh penyesalan.
(Hal 167-169)

Doa Heidi pun dikabulkan Tuhan di waktu yang tepat. Ia akhirnya bisa kembali ke gunung dan bertemu kakeknya di saat ia sudah bisa membaca, membawa cukup uang, dan banyak roti untuk nenek Peter. Heidi jadi bisa membacakan buku puji-pujian dan membeli roti untuk nenek, juga mengajari Peter membaca.

Saya menangis ketika Heidi kembali bertemu dengan kakek, “Kakek, aku sangat merindukanmu.” Sambil memeluk kakek.

Saya tersentuh dengan kebaikan Heidi. Pantas saja novel ini terus digembari pembaca sejak diterbitkan lebih dari 100 tahun lalu. Heidi memang banyak mengubah hidup orang. Kakek yang tadinya ingin menjauh dari manusia akhirnya mau bersosialisasi lagi dan rajin mengunjungi rumah Tuhan. Nenek Peter yang buta, ia terhibur dengan keriangan dan kebaikan hati Heidi sehingga nenek selalu bahagia ketika Heidi membacakan buku puji-pujian untuknya. Peter yang tadinya tidak bisa membaca ia akhirnya bisa membaca berkat Heidi. Dokter yang sudah lama kesepian—yang menyelamatkan Heidi hingga ia bisa pulang, ia kembali menemukan kebahagiaan ketika bertemu dengan Heidi, lalu terakhir Clara—si anak orang kaya tapi kesepian, berkat Heidi ia menjadi anak yang periang, ia yang tadinya lumpuh pun bisa berjalan lagi.

Novel yang sangat berkesan.
Saya sangat beruntung bisa menemukan buku ini.
Terima kasih untuk Eyang Johanna Spyri yang sudah menulis buku sebagus ini.

==

“Kita harus terus berdoa untuk semua hal, semuanya, supaya Tuhan tahu kita tidak lupa bahwa semua datang dari-Nya. Kalau kita melupakan Tuhan, Dia akan membiarkan kita berjalan sendirian dan kita akan kena masalah.”
-Heidi-







0 komentar:

Posting Komentar