“Coba Bedakan Tulisan Pertamamu Dengan Tulisan Yang Sekarang. Apakah sudah mengalami kemajuan?”
Di
postingan ini saya akan mengumpulkan naskah novel pertama saya hingga naskah
novel sekarang yang sedang saya garap dengan melampirkan satu bab saja.
Kata para penulis yang sudah sukses
di dunia literasi. Kalau kamu ingin tulisanmu bagus, teruslah menulis, teruslah
menulis dan teruslah menulis.
“Semakin kamu banyak berlatih
menulis, maka akan semakin cemerlang lah kemampuan kalian menulis.”
-TERE LIYE-
Bagian 1
Tentang
“CIVIL”
Cewek
bernama lengkap Revie Dinda Pratiwi, yang biasa di panggil Revie ini, dia
mempunyai dua orang sahabat. Yang pertama nama sahabatnya adalah Lie, Lie ini
orangnya pendiem, dia selalu jadi pendengar curhat yang baik, bahkan
temen-temen sekelas kalau ada masalah langsung cerita sama Lie, tapi walaupun
banyak temen-temen sekelas yang cerita sama Lie, Lie malah kebalikannya, dia
nggak gampang buat curhat sama orang, kalau masalah hati dia selalu kunci
rapat-rapat.
Nah.. kalau yang kedua ini namanya
Citra, Revie dan Lie biasa manggil Citra jadi Cicit, hehehehe sadis banget ya
nama sebagus Citra jadi Cicit. Citra ini orangnya usil banget, dia ini berisik,
kebalikan dari Lie, kalau Lie jadi pendengar curhat yang baik, nah.. kalau
Citra ini yang suka nyebarin kemana-mana, alias ember. Tapi, dibalik sifat
Citra yang seperti itu, Citra juga kadang bisa bersikap dewasa dan hangat,
mengenai hal yang sangat serius dia bisa menjaga rahasia, Citra adalah sosok
seorang sahabat yang baik dan bisa menghibur sahabat-sahabatnya ketika sedih.
Nah kalau tentang Revie, dia itu
panggilan deketnya Vie, Revie ini bisa di bilang dia paling cantik diantara Lie
dan Citra, selain itu dia adalah cewek lugu, baik dan care sama orang.
Revie ini Korean Lover, apapun
yang berbau tentang Korea dia ini suka banget, salah satunya adalah menonton
“Drama Korea”, dari “Drama Korea” yang sering dia tonton, sampe-sampe dia jadi
suka belajar bahasa Korea dan pengen kuliah jurusan Sastra Korea.
Revie, Lie dan Citra terlahir dari
orangtua yang kaya, jadi mereka bertiga sama sekali tak kekurangan sedikitpun,
tapi walaupun mereka anak orang kaya namun mereka itu nggak pernah sombong,
orangtua mereka telah mengajarkan kepada mereka untuk tidak sombong dan selalu
rendah hati, serta tidak memilih-milih teman sekalipun teman itu terlahir dari
keluarga yang tidak berada.
Mereka itu sahabatan dari SD, mereka
udah ngerasa seperti keluarga, dan sampe mereka SMA pun mereka masih tetep
sekolah di sekolah yang sama, sampe bikin gelang persahabatan, di gelang itu
tertulis “CIVIL”, yang singkatan dari Citra, Revie, dan Lie. Mereka selalu pake
gelang persahabatan itu, kecuali kalau ada razia mereka baru ngelepas gelang
itu, hehehehe, yang ada entar malah ribet kalau harus berurusan sama guru dan
Kepsek, mending cari aman saja.
Mereka janji nggak bakalan ngilangin
gelang persahabatan itu, harus berusaha menjaga gelang itu dengan baik, seperti
mereka menjaga persahabatan mereka dengan baik, dan apabila ada salah satu yang
ngelepas gelang persahabatan dengan sengaja, berarti dia keluar dari CIVIL, dia
udah memutuskan tali persahabatan.
Walaupun mereka anak orang kaya dan
terpandang, tapi kebiasaan mereka bertiga ini emang norak banget, setiap malam
minggu, hang-out nya di pasar malam, bukan di mal-mal seperti
orang-orang kaya lainnya yang gaya-gayaan dan ngabisin duit buat makan di
restoran atau kafe yang mahal, tapi malahan mereka bertiga ini lebih seneng
makan di pinggir jalan dari pada di restoran dan kafe di mal-mal, katanya
masakannya nggak kalah enaknya sama restoran mahal dan harganya juga murah
banget beda jauh sama restoran dan kafe. Nama pasarnya adalah Pasar Mampang,
terletak di daerah Mampang, Jakarta Selatan, cukup bawa uang lima puluh ribu
rupiah aja, udah bisa beli apa aja, dari mulai baju, accessories,
makanan cemilan de-el-el, beda sama di mal-mal besar uang segitu mana cukup.
Prolog “Dominica” (Novel kedua)
AKITA , Januari, 2000...
Di prefektur Akita, tinggalah seorang gadis cantik bernama
Dominica, gadis ini
berpostur tubuh tinggi dan berbadan ramping. Bermata bulat
dan berkulit putih.
Prefektur¹ Akita atau Akita-ken terletak di wilayah Tohuku, bagian utara di
Jepang,
prefektur ini memiliki musim dingin yang sangat dingin,
Akita memiliki festival istana
es yang diselenggarakan akhir musim dingin sekitar akhir
bulan Februari.
Di dalam
rumahnya terjadi sebuah kegaduhan, terdengar suara tembakan yang
memekakan telinga. Dominica dan ibunya terlihat panik dan
ketakutan. Ia pun sontak
menghambur ke pelukan ibunya. Namun, ibunya langsung
melepaskan pelukan dengan
putrinya dan menyuruh putrinya untuk segera pergi
meninggalkan prefektur Akita.
Bersamaan dengan itu terdengar sirine ambulans dan mobil
polisi. Dengan berat hati,
Dominica menyeret langkahnya dengan setengah berlari
melewati pintu belakang.
Namun, Dominica terhenti saat ia menabrak seseorang.
“Doumo Sumimasen²!”
ucap Dominica menggunakan aksen Jepang yang kental
sambil menundukkan kepalanya berulang-ulang. Sedetik kemudian
ia bergegas berlalu
dari hadapannya.
Pria itu hanya mematung dengan tatapan tajam memperhatikan
kepergiannya.
Sekilas, ia seperti mengenal bola mata itu. Hanya saja ia
langsung menepisnya.
Bandara Soekarno Hatta, Januari, 2000
Tergurat jelas raut kebingungan di wajahnya, Apa yang harus aku lakukan sekarang?
Desisnya lirih dalam hati. Kejadian waktu itu
mengingatkannya pada ibu yang
menyuruhnya pergi ke Indonesia. Dan sampailah ia di Bandara
Soekarno Hatta.
“Oh ya?!”
“Iya..dengar-dengar
universitasnya bagus.”
“Mudah-mudahan
deh kita nggak salah pilih kampus.”
Samar-samar
terdengar dua wanita yang tengah berbincang.
“Maaf, tadi
aku dengar kalian mau kuliah, ya?” tanya Dominica menghampiri.
“Iya..kita
mau kuliah di Bandung, ngambil jurusan Sastra Indonesia,” jawab
perempuan berambut ikal tersebut.
“Mmm.. aku
boleh ikut, kebetulan aku juga mau ngambil jurusan yang sama.”
“Oh...
Boleh-boleh! Barengan aja, sekalian kita cari kos-kosan,” sambut
perempuan berambut lurus satunya ramah.
“Terima kasih.
Kenalin, aku Dominica,” seru Dominica girang sambil
mengulurkan tangan.
“Erlina,
aku asli Bogor,” balas perempuan berambut ikal tadi menyalaminya.
“Hai, aku
Ina, asli Bogor juga,” sambung wanita satunya tanpa melepas
senyumnya.
Dalam
hitungan menit, tampak ketiganya tengah saling akrab. Tanpa segan mereka
langsung
lempar canda dan berbincang hangat sepanjang perjalanan di kereta. Terukir
seulas senyum kebahagiaan di bibirnya. Tersirat makna yang dalam dibalik
senyuman
itu.
Makasih
Tuhan. Kau telah memberikanku teman. Tuhan, jaga dan lindungi
ibuku.
Prolog “Seratus Hari” (Novel Ketiga)
“Titt ...Titt ..
Titt!!”
Alat
pendeteksi jantung itu masih terus mengeluarkan bunyinya dengan garis
membelok-belok. Gue masih berada di dalam ruang UGD sambil menggenggam sebuah
buku lalu duduk di dekat ranjang pasien.
Gue menatap nanar cewek
yang ada di hadapan gue ini, lalu meletakkan buku yang gue bawa di atas meja
dekat ranjang—sebuah buku tebal yang diberikan seseorang sebelum gue berkunjung
ke rumah sakit ini, buku itu seperti buku harian dengan goresan tulisan tangan
seseorang berhiaskan cover sebuah bangunan tua yang bersanding dengan
tanaman hijau dan bunga-bunga lainnya seperti bunga cherry blossom bermekaran—berjudul
“Who's My Prince?”.
Gue
meraih buku itu lagi karena membuat rasa penasaran gue memuncak, membuka lembar
demi lembar buku tersebut hingga memasuki bagian pertama, gue mulai terhanyut
membaca tulisan yang ada di dalamnya. Mengingatkan gue pada kejadian beberapa
waktu silam—sebuah pertanyaan yang selama ini belum terjawab dan kini gue sudah
menemukan jawabannya lewat buku ini.
Suasana di kamar pasien
masih terasa senyap kecuali bunyi jam dinding yang berdetak dan alat-alat medis
lainnya. Gue mengusap lembut kepala cewek ini yang dibalut dengan perban sambil
membisikkan sesuatu, “Buka mata lo, please! Gue ada di sini.”
Air mata gue tiba-tiba
jatuh menatap selang infus yang menutupi sebagian wajahnya. “Bangunlah!”
Sudah hampir seratus hari, cewek ini
masih tetap setia mengatupkan kedua matanya.
Prolog “Honestly” (Novel Keempat)
Perempuan
dengan rambut yang terurai panjang itu tak berani lagi menoleh, dia lebih
memilih meninggalkan gedung bertingkat itu. Dia tak mampu lagi melihat
pemandangan yang membuat dadanya sesak. Tangisnya sudah terisak, hatinya sudah
patah, marah, sakit tiada terarah.
Dia tak sanggup lagi menahan air
matanya untuk tidak mengalir, dan tak terasa langkahnya semakin jauh hingga tak
ada yang mengejarnya, bersembunyi adalah jalan yang terbaik untuknya saat ini.
Di tengah hamparan ibukota, kini dia berada di jalanan yang sepi, berjalan
dengan langkah lunglai. Perempuan itu tak peduli jika bahaya datang
menghantamnya, dia benar-benar tak peduli jika mati sekali pun! Bulir-bulir air
matanya masih saja terus berjatuhan, tangannya tak henti memukul-mukul dadanya.
“Kenapa sesakit ini, kenapa seperih
ini. Tolong ajari aku, ajari aku ....”
Kini perempuan itu duduk di bawah
naungan pohon, meringkuk, dan masih terisak, sedari tadi terus mengucapkan nama
seseorang yang dicintainya berulang kali.
Prolog “Cewek Hujan” (Novel
kelima)
“Rezka!! Tungguuu!!”
Gue sontak menoleh ke arah Mirna. Cewek itu berlari dengan keadaan basah kuyup.
Gue saja yang baru keguyur air hujan sudah mulai menggigil, tapi herannya cewek
yang sudah ada di hadapan gue ini nggak kelihatan kedinginan sama sekali.
Mirna menarik lengan
gue dan membawa gue ke tengah jalanan yang sepi, nggak ada kendaraan satu pun
yang melewati jalan itu.
“Rentangkan tangan
kamu Rezka, lalu mendongak ke atas. Lihatlah, betapa indahnya air hujan,”
katanya bak pelatih senam aerobik.
Gue bersumpah dalam hati, cewek ini benar-benar absurd dan gue
nggak mau ada di dekatnya lagi. Bisa-bisa hidup gue berantakan kalau cewek ini
terus berekeliaran di sekitar gue.
Gue beranjak
meninggalkan Mirna yang sudah menggigil kedinginan, namun mendadak kedua kaki
gue seperti dirantai saat mendengar Mirna bernyanyi. Gue nggak pernah mendengar
lagu itu sama sekali, mungkin itu adalah lagu aneh ciptaannya sendiri.
Hujan ... hujan ...
hujan
Mari bernyanyi bersama
Menari ... menari ...
syalalalaaa ....
Mirna bernyanyi sambil
bergoyang, tubuhnya digerakkan ke kanan lalu gantian ke kiri, tangannya lalu
direntangkan lagi, menengadah, menikmati air hujan yang semakin derasnya. Saat
hujan sudah mulai mereda. Ia lalu berlari ... meninggalkan gue.
Dan herannya gue masih
berdiri di tengah jalanan ini, terpaku melihat Mirna yang sudah jauh
meninggalkan gue. Cewek dengan perawakan kecil itu tiba-tiba membalikkan badan,
melambaikan tangannya lalu pergi lagi sampai nggak kelihatan lagi punggungnya.
Gue di sini sendirian,
nggak sengaja mulai melakukan gerakan yang sama seperti cewek aneh barusan,
merentangkan kedua tangan, menengadah, memandang langit lalu menyanyikan lagu
yang sama persis dinyanyikan Mirna.
Hujan ... hujan ...
hujan
Mari bernyanyi bersama
Menari ... menari ....
Syalalalaa ....
Tanpa sadar gue juga
berjoget ala Mirna. Sepertinya gue memang sudah gila!
Satu hal yang masih
membuat gue penasaran sampai saat ini. Kenapa Mirna begitu suka hujan? Saat
hujan turun, gue selalu menemukan cewek itu sudah ada di tempat yang sama. Di
tengah jalan yang sepi, menengadah, menyanyikan lagu aneh ciptaannya itu sambil
menari. Jika hujan berhenti, dia akan bergegas pergi lagi.
Sejak saat itu .. gue
selalu memanggilnya .. Cewek Hujan.
“By My Side” (Novel Keenam-Novel
duet dengan Ragiel Jepe)
EPISODE 9
KENCAN PERTAMA
Sepulang dari pantai, Mia masih
memikirkan tentang ajakan Brian. Benar juga, sekali-kali kenapa saat malam
minggu tidak jalan keluar? Daripada berdiam diri di rumah. Lalu menyibukkan
diri dengan melamun. Mia membuka lemari pakaiannya, mencoba memilih-milih baju
mana yang akan dikenakan untuk satnight besok. Mia sudah memutuskan
kalau dia akan malam mingguan dengan Brian.
Mia tiba-tiba tersenyum
saat mengingat kejadian di pantai tadi, bukan hanya itu. Mia pun mulai
mengingat insiden saat pertama kali mengenal Brian. Dari mulai Brian mengintip
celananya, lalu merecoki dirinya saat duduk sebangku, dan terakhir... saat si
cowok itu mencium pipinya di depan umum.
“Ah, Kenapa aku jadi
memikirkan Brian?” gumam Mia mencoba menepis pikiran tentang Brian. Dia lalu
teringat lagi akan Glen. Mia tidak ingin berpaling pada cowok manapun dan akan
tetap menunggu Glen datang kembali. Tak ada cowok manapun yang bisa
menggantikan Glen di hatinya. Pikir Mia dan berusaha meneguhkan hatinya. Dia
tidak ingin sampai jatuh cinta sungguhan pada Brian.
Mia membaringkan
tubuhnya di atas ranjang sambil memandangi langit-langit kamar. Seketika
ponselnya berdering dan dia pun langsung menyambarnya. Ada nomor tak dikenal
yang datang ke layar ponselnya. Mia mengerutkan kening dan bertanya-tanya nomor
siapa yang menelponnya.
“Halo,” jawab Mia. Lalu
tak lama terdengar suara di ujung sana.
“Hai, Mia. Ini aku Brian.”
Mia begitu terkesiap saat mendengar suara Brian. Tahu
dari mana Brian nomor ponselnya? Jangan-jangan ini adalah nomor yang dulu
pernah menelponnya juga. Tapi tak di-save oleh Mia.
“Brian. Dari mana kamu
tahu nomor ponselku?” tanya Mia. Kali ini semoga Brian tidak menutup teleponnya
lagi seperti waktu itu.
“Sudahlah, itu tidak
penting aku dapat nomor ponselmu darimana, yang terpenting bagiku
adalah ... jadi kan besok malam mingguan denganku?”
Lagi-lagi Brian tidak
memberitahu darimana dia mendapatkan nomor ponsel Mia. Mia mendengus sebal,
lalu hendak mematikan panggilan. “Kalau kamu tidak memberitahuku dapat nomor
ponselku darimana, aku tidak akan mau malam mingguan denganmu, Brian,” ancam
Mia.
“Oke, nanti akan
kuceritakan darimana aku dapat nomor ponselmu, Mia. Tapi benar kan kamu mau
jalan keluar denganku besok sore?”
**
Mia benar-benar frustasi
memilih baju yang akan dikenakannya untuk jalan keluar dengan Brian. Tidak
biasanya dia seperti ini. Jarum jam di dinding kamarnya sudah menunjukkan jam
tiga sore dan Brian akan datang ke rumahnya jam empat sore. Sedangkan Mia masih
dilanda frustasi karena belum ada satu pun pakaian yang srek dengannya.
“Mia... kamu ngapain
saja di kamar terus? Bukankah kamu ada janji dengan Brian?” teriak ibunya dari
balik pintu. Mia mendesah. Kenapa ibunya bisa tahu kalau dia akan jalan keluar
dengan Brian.
Tanpa permisi ibu
akhirnya memasuki kamar Mia dengan kedua mata melotot melihat isi kamar Mia
berantakan oleh baju yang berserakan.
“Ya ampun, Mia. Itu
kenapa pakaian dari lemari dikeluarkan semua?” tanya ibunya yang sudah pusing
melihat kelakuan anak gadisnya. Mia menjawab hanya dengan menyengir.
“Ibu, tolong pilihkan
satu yang cocok untukku,” jawab Mia agak frustasi. Bagaiamana bisa seorang Mia
yang dulunya masa bodoh dengan penampilannya, tiba-tiba sekarang malah ingin
terlihat cantik di depan Brian. Ah, entahlah, gumam Mia dalam hati.
“Janji dengan Brian jam
berapa?” tanya ibunya.
“Jam empat sore, Bu.
Sebentar lagi dia akan menjemputku. Ayolah, Bu. Aku sudah frustasi nih.” Ibunya
malah menyengir melihat ekspresi anak gadisnya saat ini. Ada rasa lega, karena
akhirnya Mia mau membuka hati untuk pemuda lain.
“Baiklah, sepertinya Ibu
akan me-make-over kamu, Mia.
Biarkan tangan ibu menciptakan keajaiban.”
**
Tepat jam empat sore,
Brian sudah ada di depan rumah Mia. Brian masih bersandar ke motor gedenya.
Seperti biasa, cowok itu selalu membiarkan rambutnya berantakan, dia mengenakan
celana jeans warna cokelat dan baju kaos oblong merah lalu dibalut
dengan jaket hitam. Tiba-tiba Brian tersenyum sendiri, tak menyangka kalau Mia
bersedia jalan keluar dengannya. Padahal dulu saat mengenal Mia, cewek itu
orang yang temperamental. Tapi kali ini Brian sangat bahagia. Karena bisa
berteman baik dengan Mia, juga ... ingin lebih dari sekadar berteman.
Mia masih agak risih
dengan dress warna biru tosca yang dikenakannya. Belum juga make-up
yang dipoleskan ibu ke wajahnya. Membuat Mia merasa seperti ondel-ondel,
karena tak biasanya Mia berdandan sampai seperti ini. Saat mematut-matut di
depan cermin. Mia merasa kalau yang ada dalam bayangan itu bukan dirinya,
melainkan sosok perempuan lain.
“Ibu, Ayah. Apa penampilanku
tidak berlebihan?” Mia merasa risih, karena biasanya dia memakai celana jeans
dan kaos oblong saja setiap jalan keluar. Ayah dan ibunya yang melihat
tingkah anaknya yang seperti cacing kepanasan hanya menyengir lebar. Mia belum
sadar juga kalau dirinya sudah bertransformasi menjadi Cinderella.
“Ciee... yang mau malam
mingguan. Akhirnya adikku ini bisa move-on dari Glen,” ledek Kak Prian
saat keluar dari kamarnya. Mia semakin sebal diledek oleh kakaknya. Ditambah
ayah dan ibu hanya menyengir dari tadi melihat dirinya yang sedang dilanda
perasaan tidak nyaman karena penampilannya yang aneh.
“Sudah sana samperin pacar
barunya. Ternyata adikku ini cantik juga ya,” ledek Kak Prian lagi. Mia merasa
pujian itu malah berbalik mengejeknya.
“Ya sudah, aku keluar dulu
bersama Brian. Aku pamit, ya,” kata Mia lalu menyalami tangan orangtuanya juga
Kak Prian.
Brian begitu terkejut
saat melihat cewek berjalan menghampirinya. Kemana Mia? Kenapa yang datang
adalah bidadari? batin Brian. Cewek itu lalu tersenyum ke arah Brian,
membuat mulut Brian menganga, hingga kedua matanya pun nyaris tak berkedip.
Mia merasa kesusahan
mengenakan wedges berukuran lima senti itu. Dia hampir saja keseleo saat
menginjak batu kecil. Lalu Brian dengan cepat menangkap tubuh Mia. Kedua mata
mereka pun saling bertemu, lama mereka saling memandang. Brian merasakan
dadanya berdesir hebat, begitu pun dengan Mia. Ada apa dengan jantungnya?
Kenapa rasanya seperti disengat listrik. Apalagi saat melihat bola mata Brian
yang sangat mirip dengan Glen. Membuat Mia tidak ingin lepas ingin terus
melihat mata memikatnya itu.
Mia lalu bangkit berdiri
dan Brian mencoba membantu Mia memapahnya. “Kamu Mia?” tanya Brian masih ragu.
Mia malah menyengir melihat raut muka Brian yang benar-benar tidak
mengenalinya.
“Iya, Brian. Ini aku
Mia. Memangnya menurutmu aku siapa? Julia Perez?” Mia terkekeh. Brian lalu
menyengir sambil menggaruk-garuk tengkuknya. “Ah, kukira kamu bukan Mia. Kamu
pangling sekali, Mia. Julia Perez pun kalah cantik dan kalah seksi denganmu,”
kata Brian merayu. Mereka berdua pun lalu tertawa geli bersama.
**
“Kamu tidak takut
memakai dress selutut? Bahaya loh kalau belang-belangnya nanti sampai kelihatan,”
ledek Brian lagi saat sudah di depan gedung bioskop. Mia saat itu juga langsung
mengepalkan tangannya, “Brian! Kamu menyebalkan! Sudah kubilang jangan ....”
Brian memberikan jari-jarinya hingga membentuk huruf V sambil nyengir. “Maafkan
aku Nona belang-belang.” Mia kali ini tidak marah, dia justru malah gemas pada
Brian. Lalu mencubit cowok jail itu.
Rasanya sudah lama
sekali dia tidak tertawa lepas seperti ini. Terakhir kali saat bersama Glen.
Ah, Mia merasa sudah mengkhianati Glen. Bagaimanapun juga, meski Brian
mempunyai mata yang sangat mirip dengan Glen. Jika Glen suatu saat nanti
kembali lagi, Mia akan tetap memilih Glen. Karena dia sangat mencintai Glen.
“Mau nonton film apa?”
tanya Brian.
“Teserah saja. Film action
boleh. Tapi awas ya! Jangan film horor,” jawab Mia sambil mengepalkan tangannya
tepat di depan wajah Brian.
“Baiklah. Nona
belang-belang,” rayu Brian lagi. Aih, kalau saja ini bukan di gedung bioskop
dan tidak ramai begini. Mia pasti sudah melayangkan pukulan tepat ke pipi kanan
Brian. Mia pun akhirnya menahan diri dan hanya mencubit lengan cowok sableng
itu.
Mia disuruh duduk dulu
menunggu Brian membeli tiket, karena antrean begitu panjang. Akhirnya, Mia pun
mencari tempat duduk yang kosong, tapi sayangnya sudah diduduki semua. Melihat
di sekelilingnya ternyata banyak anak-anak muda hampir berpasangan yang
memenuhi gedung bioskop ini. Membuat Mia geleng-geleng kepala. Ternyata begini
keadaan di luar saat Mia malah sedang sibuk menyendiri di rumah jika malam
minggu.
Tak lama Brian pun
datang menepuk bahu Mia dari belakang. Mia menoleh dan lalu mengikuti Brian
dengan cepat karena filmnya sudah mau diputar.
**
Mia terlonjak kaget saat
menonton film yang ternyata adalah film horor. Film yang bercerita tentang
seorang paranormal yang dipanggil oleh seorang wanita yang sudah berkeluarga
punya lima orang anak perempuan semua—tinggal di tengah-tengah hutan. Keluarga
itu merasa sering dihantui saat tengah malam. Dan menyuruh paranormal itu untuk
mengusir arwah penasaran yang sering mengganggu anak-anaknya tengah malam.
Sialan! Ternyata Brian sudah menipunya. Mia merasa ketakutan saat adegan ketika
si anak kecil tengah membuka lemari, karena pintu lemari itu terbuka dengan
sendirinya. Mia buru-buru menutup kedua matanya saat si kecil itu membuka
lemari dan memastikan apa yang ada di dalam. Setiap ada adegan yang
mengagetkan, dan setannya muncul, Mia selalu ketakutan dan berakhir memegang
erat tangan Brian. Sedangkan Brian malah tertawa geli melihat Mia si jagoan
karate ternyata bisa juga ketakutan.
“Kamu benar-benar
menyebalkan, Brian. Jahat!” gerutu Mia saat film sudah selesai diputar.
“Lagian itu kan bukan
setan beneran, Mia. Itu hanya bohongan. Si jagoan karate kok malah takut?”
Brian gemas melihat raut muka Mia yang tampak kusut seperti pakaian yang belum
disetrika.
Mia
mengerucutkan bibirnya. Dia tidak habis pikir apa yang ada di otak cowok
sableng ini. Kenapa dia bisa terlahir dengan tabiat super jail. “Aku mau ke
toilet,” katanya karena tiba-tiba perutnya terasa mulas. “Kamu tunggu di sini.”
“Aku
bisa menemanimu jika kamu takut,” Brian nyengir. “Awas kalau ada penampakan di
toilet loh.”
Mia
mengepalkan tinjunya tepat di wajah Brian. “Jangan kamu kira aku tidak tahu
otak mesummu itu Brian. Awas saja kalau kamu mengintipku kali ini, akan
kupastikan hidungmu bengkok.”
Brian
terkekeh mendengarnya. Mia setengah berlari menuju toilet, entah kenapa
perutnya terasa sangat sakit, seolah ada ribuan jarum yang menusuk-nusuk
perutnya. Beruntung toilet di sini cukup sepi.
Sudah
sepuluh menit Brian menunggu Mia. Gadis itu belum juga keluar dari toilet, dan
ketika Brian hendak menghubungi Mia. Ponselnya berbunyi dengan nama Mia tertera
di layar.
“Halo,”
Brian mengangkat teleponnya. “Kenapa lama sekali di toilet, Mia?”
“Ada sedikit masalah, Brian,” jawab Mia di ujung telepon.
“Masalah
apa?” tanya Brian sedikit khawatir. “Kenapa suaramu merintih, kamu baik-baik
saja kan?”
“Aku boleh minta tolong?”
“Minta
tolong apa?” tanya Brian semakin khawatir mendengar suara Mia. “Apa terjadi
sesuatu?”
Mia
menggigit bibir sebelum mengatakannya. Dia sebenarnya malu untuk mengatakan hal
ini kepada Brian. “Aku butuh Roti Jepang.”
“Roti
Jepang?” Brian mengangkat sebelah alisnya. “Jangan konyol Mia, kalau kamu
lapar, cepat keluar, jangan makan di toilet.”
“Bukan
Roti Jepang yang bisa dimakan,” Mia menggigit bibir mengatakannya. “Tapi Roti
Jepang yang itu, yang ada sayapnya. Aku butuh yang ada sayapnya.”
“Apanya
yang ada sayapnya?”
Brian
melongo begitu ia mendengar apa yang dikatakan Mia tentang Roti Jepang dan sayap. Dia berlari menuju motornya
menuju supermaket terdekat. Dan lima belas menit kemudian Brian telah kembali.
Dia masuk ke toilet perempuan yang untungnya sepi. Dan dia mengetuk pintu
toilet dan sebelumnya menelepon Mia kalau dia sudah membawa pesanannya.
Sepuluh
menit kemudian Mia keluar dari dalam toilet. Mia nyengir ke arah Brian yang
wajahnya tampak masam.
“Cewek
macam apa yang tidak berjaga-jaga kalau hari ini adalah tanggal datang
bulannya,” gerutu Brian. “Aku kan cowok, masa harus beli pembalut. Belum lagi
tadi pembelinya cewek semua lagi.”
“Kita
impas kan?” kata Mia nyengir. “Itu karena tadi kamu mengajakku nonton film
horor. Tapi, biar bagaimanapun, terima kasih Brian.” Mia tersenyum.
Brian
akhirnya luluh juga melihat senyum tulus Mia. Semua rasa sebal karena disuruh
membeli pembalut lenyap sudah.
“Dongeng Untuk Raja”
(Novel Ketujuh-Novel Duet dengan Lisma Laurel)
Raja akhir-akhir
ini sering mendapat migrain. Sudah seminggu jadwalnya benar-benar padat.
Sampai dia pun melupakan tugasnya sebagai seorang ayah. Pernah dia berpikir,
ingin meninggalkan pekerjaannya demi dua putri kembarnya, Rubi dan Ruwi. Tetapi manajernya—Mbak Yuni, juga produser yang
banyak berjasa bagi karir Raja membantah habis-habisan ide konyol Raja untuk
berhenti dari dunia hiburan, sedangkan di luar sana, masih banyak yang
mengantre ingin menjadi artis bahkan menjadi idola seperti Raja saat ini.
Setelah
selesai syuting, Raja memutuskan untuk pulang. Kebetulan jadwalnya sudah
kosong. Raja tidak pulang ke apartemennya, melainkan rumahnya. Meski terkadang,
kenangan di masa lalu masih membuatnya sesak.
Sampai
di kawasan kompleks perumahan elit di Pondok Indah, mobilnya berhenti tepat di
depan rumah bercat hijau muda. Sang supir yang sudah bekerja dengan Raja selama
lima tahun itu membuka gerbang. Raja tersenyum mengangguk kepada supir yang
selalu setia mengantar jemput kedua putrinya itu.
Raja
sudah memasuki rumahnya melewati halaman rumah yang cukup luas. Dia lalu
memarkir mobilnya. Saat keluar mobil, kedua alisnya terangkat ketika melihat
seorang wanita yang masih asing di penglihatannya, wanita berambut panjang
pirang, kulitnya putih, matanya sipit dan tidak terlihat seperti orang
Indonesia kebanyakan.
Wanita
yang dipandang oleh Raja itu mengerjap-ngerjapkan matanya. Dia tak percaya jika
akan bertemu Raja—sang aktor yang sedang menjadi idola banyak cewek. Bahkan
wajahnya sering dia lihat di poster-poster produk makanan dan minuman. Juga,
tak kalah selalu terpampang di halaman depan majalah dan sering menjadi bintang
iklan di stasiun televisi nasional.
Bahkan
belum lama ini, Raja mendapat penghargaan sebagai aktor terbaik di acara movie
award yang diadakan di salah satu stasiun televisi nasional.
“Anda
siapa? Kenapa Anda tiba-tiba keluar dari rumah saya?” Raja menghampiri Sonia.
Membuat Sonia harus mendongak bahkan berjinjit agar bisa menatap Raja yang
tingginya jauh beda dengannya.
“Saya...
eh, saya,” jawab Sonia patah-patah. Raja menyeringai. Lalu berjalan terus
mendekat ke arah Sonia, membuat wanita itu nyaris terjengkang. Tetapi untungnya
ada tembok yang menjadi sandarannya.
“Ah,
saya tahu. Pasti kamu wartawan, kan? Ngaku!” bentak Raja sambil kedua tangannya
memegang kedua bahu Sonia.
Sonia
terkejut. Raja berada tepat di depan wajahnya, pria ini menatap kedua matanya
seperti ingin membunuhnya saja. Sonia semakin gelagapan dipandang seperti itu.
Dia tak percaya jika Raja—sang aktor yang menjadi idola ini adalah seorang pria
yang kasar. Saat Sonia berusaha memberontak, terdengar suara Rubi dan Ruwi
memecah perseteruan mereka.
Raja
mengangkat kedua tangannya yang barusan menahan Sonia agar wanita itu tidak
kabur.
“Papa....!!”
Rubi dan Ruwi langsung berlari kegirangan saat melihat papanya.
Raja
pun berjongkok, dia merebahkan kedua tangannya ketika Rubi dan Ruwi menghambur
ke pelukannya. Sonia mendadak terkesima dengan adegan itu, tak disangka jika
Raja sudah menjadi seorang ayah. Bahkan, pria ini begitu hebatnya menutup
tentang kehidupan pribadinya jika dia masih pria lajang kepada media.
Oh,
ini sungguh berita besar! Sonia bersorak dalam hati. Bu Mira pasti senang jika
tahu berita heboh ini.
“Papa,
itu Tante Sonia. Dia adalah guru mendongeng di taman baca," ujar Ruwi.
"Tadi
Tante Sonia cerita tentang Putri Laura." lanjut Rubi, sang kakak yang lahir
beda lima menit dengan adiknya—Ruwi.
Raja
masih bergeming, berusaha mencerna kata-kata Rubi dan Ruwi. Meski begitu, dia
tak akan semudah itu percaya. Semenjak menjadi aktor, dia selalu didatangi paparazzi.
“Saya
ke sini hanya membacakan dongeng, bukan war....” Sonia menghentikan ucapannya.
Jika dia memberitahu kalau dia adalah seorang wartawan apalagi di majalah
gosip. Bisa-bisa dia celaka!!
Raja
memicingkan mata saat menilai Sonia dari ucapan dan juga gestur tubuhnya.
Sepertinya, wanita ini memang menyembunyikan sesuatu, pikir Raja. Dari dulu dia
tidak ingin mudah mempercayai orang. Baginya, sebelum mempercayai seseorang,
terlebih dahulu harus mencurigai orang itu. Bahkan, banyak wanita yang besikap
alim, tetapi nyatanya menyimpan seribu rencana busuk.
“Maafkan
saya, saya sudah salah mengira. Sebelum Anda pergi dari rumah ini, saya boleh
meminta kartu nama Anda. Saya tidak mau media tahu jika saya sudah mempunyai
seorang anak, bahkan dua.”
Dugh!
Sonia tersentak. Lidahnya seakan kelu. Apa yang harus aku lakukan?
Tapi
untung saja sang supir yang mengantarnya barusan ke rumah ini membelanya.
“Jangan
khawatir Pak Raja, Nona Sonia ini adalah orang baik. Dia tidak akan bertingkah
yang aneh-aneh seperti wartawan yang sebelum-sebelumnya. Lagi pula, Nona Sonia bukan
seorang wartawan. Jadi, dia tidak akan menyebarkan ke media jika Pak Raja
adalah....”
“Stop!” belum sempat sang supir meneruskan kata-katanya. Raja
sudah menyela duluan.
“Mana
saya tahu kalau orang ini adalah orang baik, Pak Ali. Sedangkan saya baru
mengenalnya, juga kalian Rubi dan Ruwi. Bukankah Ayah sudah mengingatkan pada
kalian, jangan sembarangan membawa orang asing ke rumah kita meski itu
guru balet atau guru dongeng sekali
pun!” bentak Raja. Suasana seakan mencekam seperti film horor. Bahkan Pak Ali
pun tak berani membantah lagi jika majikannya itu sudah naik pitam.
Sonia
semakin ketakutan, celakalah dia jika memberikan kartu namanya pada Raja. Oh,
Tuhan ... sekali ini saja Kau bantu aku, kumohon!
Dan
benar saja, Rubi dan Ruwi saat itu juga menangis, bahkan tangisnya lebih keras
dibanding yang tadi saat di depan taman
baca.
“Papa
jahat!! Kenapa Papa nggak pernah ngaku kalau Papa adalah Papa Rubi sama Ruwi.
Papa jahat!” Rubi dan Ruwi langsung lari ke dalam rumah setelah menatap ayahnya
dengan cemberut.
Saat
itu juga, Raja langsung mengejar kedua putrinya. Pak Ali sang supir, menyuruh
Sonia pulang.
“Saya
pamit dulu, Pak.” Sonia pun secepat kilat pergi dari rumah bercat hijau itu
dengan perasaan lega.
Bab 1 Novel “Misteri Silo
Panganten” (Novel Kedelapan-Novel duet dengan Ragiel Jepe)
Matahari bersinar cukup cerah. Tiga orang mahasiswa tengah asik berada
di taman depan rumah Mei. Dika mendirikan tripod lalu memasang
kameranya. Sebelum jarinya menekan tombol rekam, ia mengatur fokus lensa agar
refleksi buram jadi terlihat jernih. Setelah menyetingnya, Dika lalu menekan
tombol rekam.
Dika memutar kameranya dan
menyorot pemandangan taman yang cukup indah. Dari mulai air mancur yang berada
di tengah-tengah taman yang diisi beberapa ikan koi, pohon-pohon kelapa, dan
tanaman lain. Kemudian kameranya mulai menangkap sosok cewek berambut ikal
panjang dengan postur tubuh tinggi sedang, dan cowok berkulit putih dengan
tinggi sekitar 170 cm. Kedua orang itu sedang berpura-pura menghirup udara di
pagi hari, Mei tersenyum menampakkan lesung pipit di kedua pipinya, kemudian si
cowok pemilik kulit putih yang berada di samping Mei tersenyum menampilkan gigi
ginsulnya. Dika mengatakan dalam hati, Bagus! Tetapi saat kameranya
mulai menangkap sepatu butut yang dikenakan si cewek lesung pipit, Dika
langsung menghentikan rekamannya.
“Mei, kenapa kamu mengenakan
sepatu itu? Sudah kubilang untuk hari ini kamu memakai sepatu yang lain.” Dika
mendesah.
Mei melirik ke bawah, ke arah
sepatu butut yang sebenarnya adalah pemberian dari Dika. Ia lalu menyengir
sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Opss! Sory Dika. Aku
lupa.”
Mei adalah cewek yang sangat
menghargai pemberian orang dan tidak peduli barang yang diberikan sepasang
sepatu butut dan jaket butek sekali pun.
Si cowok pemilik gigi ginsul
bernama Gilang itu tertawa cekikikan. “Sudah untung Mei tidak mengenakan jaket
butek pemberianmu juga, Dik. Kalau begitu kamu tidak usah menyorot sepatu Mei.”
“Baiklah. Ayo mulai lagi
aktingnya.” Dika kali ini tidak ingin berdebat. Yang penting tugas dari mata
kuliah Editing membuat video berdurasi selama tujuh-delapan menit cepat selesai
dan segera ia kumpulkan sebelum ujian akhir semester supaya ia bisa mengikuti
ujian.
Sebenarnya Dika adalah orang yang
selalu ingin menghasilkan film sempurna, tetapi karena minggu lalu ia sibuk
membuat film dokumenter berskala nasional yang diadakan oleh Greenpeace,
di mana festival film itu digelar dua tahun sekali dan lumayan bergengsi, jadi
Dika tidak mau melewatkan festival itu meski harus mengorbankan tugasnya yang
terbengkalai.
“Siap Bos!” Mei dan Gilang
tertawa sambil memberi hormat pada Dika.
Dika tanpa sadar menaikkan sudut
bibirnya. Ia mengenal Mei dan Gilang sejak duduk di bangku kelas satu SMA.
Sedangkan Mei dan Gilang sudah berteman sejak mereka SD.
Mereka kuliah di Fakultas Film
dan Televisi Institut Kesenian Jakarta. Dika ingin seperti sineas keren
legendaris John Grierson dalam filmnya berjudul Song of Ceylon, film
yang merupakan laporan perjalanannya di negeri sekarang yang bernama Sri Lanka.
Serta sineas Errol Morris dalam filmnya The Thin Blue Line. Dika
bertekad akan membuat film keren seperti sineas-sineas legendaris itu.
Sedangkan Mei sangat mengidolakan penulis skenario andal Jujur Prananto yang
membuatnya mengambil peminatan skenario. Sedangkan Gilang, ia ingin sekelas
sutradara Hanung Bramantyo memutuskan mengambil peminatan sutradara.
Setelah selesai syuting, Mei dan
Gilang menjatuhkan kedua pantatnya di atas rumput hijau yang masih terlihat
segar. Sedangkan Dika masih sibuk mengedit hasil rekamannya.
Gilang lalu berdiri dan
mengambil tiga botol air mineral di lemari pendingin di dalam rumah Mei. Mei
tersenyum ke arah Gilang saat cowok itu menyodorkan minuman untuknya.
“Terima kasih sahabatku yang
suka kentut sembarangan.” Mei tertawa, Dika pun ikut mengangkat sudut bibirnya
tetapi tidak tergelak seperti Mei.
“Sama-sama Mei si tukang
ngupil.” Gilang kali ini membalas dengan cengiran lebar.
Aib Gilang yang dijuluki sering
kentut sembarangan terbongkar sejak insiden renungan malam saat masa SMA dulu.
Kala itu Gilang, Mei, dan Dika ikut eksul Paskibra. Saat mengadakan pelantikan,
dari segelintir kegiatan berpindah dari pos satu sampai menuju pos terakhir,
hingga di penghujung acara renungan malam. Di saat semua orang sedang terdiam
dengan mata terpejam yang diterangi lilin kecil di tengah-tengah lingkaran.
Ketika semua anggota paskibra sedang mulai menitikkan air mata, menangis
sesenggukan sambil mengelap ingus ketika kakak senior ceramah bayangkan jika besok
kalian mati. Saat itu juga, Gilang mengeluarkan gas dengan suara keras. Semua
anggota pelantikan spontan terdiam, memandang satu sama lain, ketika menangkap
sosok Gilang yang nyengir lebar, akhirnya semua anggota tertawa terbahak-bahak.
“Lucu ya, kalau ingat kejadian
itu.” Mei mengulang lagi cerita itu saat mereka kini sudah berada di dalam
rumah. “Gilang, kamu memang manusia unik.”
“Aku anggap itu sebagai pujian,
Putri Upil,” kata Gilang lalu menyalakan televisi dan mencari channel di
mana film yang laris di pasaran diputar.
“Haha sialan kamu, biar suka
ngupil, aku tetap cantik, 'kan?” Mei mengibaskan rambut ikalnya untuk meledek
Gilang. “Iya kan tampan?” Mei tergelak melihat kegelian di wajah Gilang. Ketika
Gilang sudah asik dengan tontonannya, Mei meghampiri Dika yang sedari tadi
masih sibuk mengedit hasil rekamannya.
“Kapan dikumpulin?”
“Sebelum ujian akhir semester,
Mei.”
“Semoga nilainya bagus.”
“Semoga saja tidak A minus.”
“Bakal hujan badai kalau kamu
sampai dapat nilai itu, Dika. Aku yakin kamu bakal dapat nilai sempurna dan
mendapat kecupan mesra dari dosen kepala botak itu.” Mei menyengir dan terus
memandangi Dika yang keningnya tampak berkerut-kerut.
Dika tertawa mendengarnya, ini adalah salah
satu sifat Mei yang disukai Dika yang mampu mencairkan suasana. “Kamu terkadang
lucu juga, Mei. Tapi coba kamu buang jauh-jauh kebiasaan ngupil di dalam kelas.
Apa kamu tidak malu?”
Oh, sial! Kenapa pula
Dika harus membuka aibnya. Mei malas membahas itu dan menghampiri Gilang yang
ternyata sudah teler saking bosannya dengan acara televisi. Mei menyandarkan
punggungnya di sofa sebelah Gilang, ia membaca majalah sinematografi yang
dibelinya minggu lalu. Sepasang matanya berbinar ketika melihat info di majalah
itu.
“Lomba Film Dokumenter dengan jenis
film 'investigasi'”
Mei membaca sampai tuntas,
matanya semakin berbinar ketika membaca hadiah di lomba itu.
Juara satu = Total uang
senilai 100 juta rupiah dan film dokumenter akan diputar di acara festival
bergengsi di negara-negara maju.
Mei langsung teriak kegirangan. “Dika, Gilang!! Aku
punya info keren!”
Gilang yang sedang tertidur
terbangun karena teriakkan Mei mengagetkannya. Sedangkan Dika yang saat itu
tengah mengotak-atik hasil rekamannya, jantungnya bertalu-talu begitu melihat
sosok yang berdiri tidak jauh darinya.
“Ya Tuhan…” Dika menutup mulutnya untuk mencegah tidak berteriak.
“Bukankah sosok itu…?”
“Info apa?” tanya Gilang.
“Ini, Lang.” Mei menyodorkan majalah pada Gilang yang masih menahan
kantuk.
“Kak Mei.”
Pemilik suara cempreng bertubuh mungil dengan rambut pendek sebahu itu
tiba-tiba muncul dari dalam kamar. Ia Bonita—adik Mei. Bonita senang sekali
mengurung diri di kamar—memuaskan hidupnya dengan membaca ratusan komik yang
dikoleksinya. Dan yang jelas Bonita sangat membenci Mei
“Ada apa, Nit?” Tanya Mei tersenyum.
Bonita duduk di sofa sebelah Mei. “Apa papa dan mama sudah memberi kabar
kalau sudah sampai di Cirebon?”
Seolah ada yang menghantam kepala Mei dengan bola. Kenapa ia bisa begitu
bodoh melupakan papa dan mamanya. “Belum. Sebentar, Kak Mei akan coba
menghubungi nomor Papa.” Mei mengambil ponsel dari saku jaketnya.
“Percuma!” Bonita mengembuskan napas berat. “Nomornya nggak ada yang
aktif.”
Mei mendesah. Rasa khawatir tiba-tiba menjalarinya. Tidak biasanya mama
dan papanya tidak memberi kabar jika berpergian. Apalagi mereka pergi ke
Cirebon, menjenguk nenek yang sedang sakit.
“Telepon kakekmu, Mei.” Gilang
yang telah selesai membaca majalah memberikan ide. “Tanyakan apakah orangtuamu
sudah sampai atau belum.”
“Aku sudah menghubungi keluarga
di sana. Kata mereka, mama dan papa belum sampai di Cirebon,” Bonita menatap
kakak perempuannya dengan tatapan sebal. “Kalau sampai terjadi sesuatu dengan
papa-mama, aku tidak akan memaafkanmu, Kak.”
“Jaga bicaramu, Nit,” tegur Gilang. “Mei ini kakakmu.”
“Aku tidak peduli.” Jawab Bonita apatis. “Sebaiknya aku tidur.”
“Bonita belum bisa memaafkanmu ya, Mei,” tanya Dika begitu Bonita masuk
ke dalam kamar.
Mei menggeleng. “Aku memang pantas mendapatkan itu, Dika. Aku paham
kenapa Bonita begitu membenciku.”
“Tapi kan semua itu bukan salahmu.”
“Dika, cukup. Aku tidak mau membahas itu sekarang.”
Dika hanya terdiam mendengarnya. Ia kembali melirik ke sosok yang tadi
dilihatnya dan menyadari bahwa sosok itu telah lenyap. Dika menggelengkan kepalanya,
berusaha memberikan argumen kontra pada diri sendiri, bahwa apa yang tadi ia
lihat bukanlah sesuatu yang nyata.
Bab 1 Novel
“Valentine Serenade” (Novel Kesembilan)
Namaku
Valentine. Panggil saja Tina. Mom yang memberikan nama itu. Tentunya aku
lahir di tanggal 14 Februari dimana kata orang-orang tanggal 14 Februari
diperingati sebagai hari kasih sayang. Tapi sayangnya, seseorang yang
memberikan nama Valentine sudah meninggalkan aku dan Pap duluan ke surga saat
aku lahir ke dunia. Mom curang, kenapa tidak menunggu aku dan Pap
bersama pergi ke tempat indah yang disebut surga itu. Tapi setidaknya sebelum Mom
meninggal, ia sudah menuliskan surat sebanyak dua puluh tujuh surat dimana
surat-surat itu harus dibaca sesuai usia kelahiranku.
Setiap membaca surat dari Mom,
aku selalu merasa Mom ada di dekatku. Aku tidak pernah menangis di depan
Pap ketika melihat foto Mom, pun ketika merindukannya. “Open your
eyes, you will see,” kata Pap.
And this is amazing! I can see my
Mom. Aku bisa merasakan kehadirannya, memeluknya dan bercerita tentang
banyak hal.
Now, sekarang usiaku 26
tahun. Biasanya aku selalu penasaran dan bersemangat membaca surat dari Mom,
tapi sekarang tidak lagi ketika usiaku sudah menginjak kepala dua. Mom
lagi-lagi menyuruhku untuk segera menikah. Oh, this is crazy!! Aku belum
mau menikah, Mom. And I still feel too young for marriage.
Pap seperti biasa hanya tersenyum
geli ketika aku menceritakan isi surat Mom. Aku belum tertarik untuk
berumahtangga seperti teman-temanku yang bahkan sudah sibuk menggendong
anaknya. Aku masih ingin mengejar mimpiku, sesuatu yang membuatku tenggelam
dengan duniaku sendiri. Yah meski sebenarnya alasan utamanya bukan itu. Aku
belum bisa menjelaskannya.
Saya
pikir ternyata tulisan saya mengalami perkembangan. Tetapi, tetap saja yang
menilai adalah kalian—pembaca. Karena apa yang menurut saya bagus, belum tentu
menurut kalian bagus pula.
Salam
Karya ^_^
Sudah 9 nopell. Astaga (y)
BalasHapusMasih banyakan naskahmu :p
BalasHapus