Salah mengambil
jurusan kuliah memang nggak enak banget. Apalagi saat dikasih tugas, boro-boro
ngerjain, denger kata tugas saja sudah malas. Belum lagi jika punya problem
sama dosen, misalnya seperti saya dulu ... kesel karena saya ngerjain tugas,
tapi nilai tugas saya kosong. Alhasil nilai saya D dan saya harus mengulang
mata kuliah itu. Itu sungguh terlalu! Atau misal ada problem sama teman
kuliah kamu, kamu sekelas sama teman yang nggak asik. Atau saat tugas kelompok,
kamu dapat kelompok yang nggak enak buat diajak kerjasama. Dan masih banyak
lagi masalah-masalah lain yang kamu anggap masalah.
Sebelum saya memberi obatnya. Saya
mau cerita dulu nih kenapa saya bisa salah masuk jurusan. Waktu daftar kuliah
saya sudah baca silabusnya. Kemudian, saya bertanya pada si ibu yang mengurusi
mahasiswa baru yang daftar kuliah.
“Bu, nanti kalau PKL, kampus yang
mencarikan tempatnya atau saya sendiri?”
“Sudahlah, kamu jangan mikirin PKL
dulu. Pusing lho jurusan manajemen,” jelasnya dan saya merasa masa bodoh. Orang
saya masuk jurusan manajemen perhotelan kok. Pasti yang dibahas ya
ujung-ujungnya tentang perhotelan juga. Karena saya dulu dari SMK Perhotelan,
agar memperdalam ilmu hotelnya .. jadi saya mikirnya pasti belajarnya nggak
jauh-jauh dari pelajaran waktu di SMK dulu.
Semester satu sampai dua, mata
kuliahnya masih menjurus ke jurusan yang saya ambil. Walaupun cuma beberapa
mata kuliah sih seperti Pengantar Perhotelan, Tata Boga, House Keeping, Front
Office Hotel yang masih nyambung. Saat naik semester tiga, eh .. ternyata, saya
syok, sodara! Saya yang nggak suka hitung menghitung, mulai mabok
hitung-hitungan. Dari mulai Teori Ekonomi Mikro, Pengantar Akuntansi, Manajemen
Keuangan, Manajemen Operasional yang paling bikin saya mabok. Dan masih banyak
lagi itu sodara-sodaranya. Saya kira hanya belajar sekedar teori saja. Kemudian
saya berpikir, ini kenapa mata kuliahnya jadi begini semua? Oh, ternyata :O
Jurusan yang saya ambil ini masuknya ke Fakultas Ekonomi. Dimana Ekonomi di
sini lah yang lebih mendominasi dibanding kata “PERHOTELAN” yang ada di benak
saya. Alhasil, saya jadi nyemplung ke ekonomi yang kerjaannya ngitung melulu
dan bikin analisis.
Andai kata dulu saya punya kenalan
kakak-kakak senior yang kuliah di kampus saya, mungkin saya akan mikir seribu
kali untuk kuliah di kampus saya.
Yasudahlah, nasi sudah jadi pasta.
Eh.
Saat itu karena tingkat kesetressan
saya sudah akut. Saya memutuskan untuk cuti kuliah dan mencari pekerjaan. Saya
mulai malas kuliah, dengan bekerja kan nanti saya bisa ganti uang emak bapak
yang sudah bayarin kuliah. Tetapi sudah lama saya melamar ke sana kemari, belum
ada satu pun perusahaan yang memanggil saya. Alhasil, entah ide itu datang dari
mana, saya akhirnya memutuskan untuk menulis novel. Jadilah saya penulis novel
beneran ketika novel saya diterbitkan dan dijual di toko buku nasional. Saat
itu saya masih mikir, ini beneran saya jadi novelis? Masih nggak nyangka.
Secara saya nggak terlalu suka baca novel dan novel yang pernah saya baca saja
dulu cuma satu biji, “Dealova”. Ada juga sih dulu yang meminjamkan novel
Ayat-ayat Cinta, tapi itu novel selalu jadi rebutan teman-teman.
“Cha, novelnya mana? Aku mau
pinjem.”
“Aduh, novelnya dipinjem sama
kakakku, Vie. Nanti deh ya kalau dia udah selesai baca.”
Begitu saya pinjam lagi, habis
dipinjam sama kakaknya Echa, dipinjem juga sama temannya yang lain. Begitu pun
seterusnya. Maklum, karena dulu saya tinggal di desa, jadi jauh dari toko buku.
Setelah banyak yang menganggap saya
novelis, saya mulai malu karena bacaan saya masih minim. Dulu yang menyemangati
saya jadi penulis adalah novel “Perahu Kertas”, hingga kemudian saya mulai
mengoleksi novel-novel lain sampai saya maniak novel.
Ketika saya sudah keasyikan dengan dunia
baru saya, ada perusahaan tepatnya hotel yang memanggil saya untuk interview.
Hasilnya apa? Saya ditolak dengan halus. Tahu kan penolakan secara halus?
Beginilah bunyinya, “Terima kasih Mbak Devi sudah melamar di hotel kami.
Nanti kami akan kabari Mbak lagi.” Kalau diterima, setelah interview
pasti bunyinya begini, “Selamat bekerja di perusahaan kami Mbak Devi. Selamat
Anda diterima.” Kedua, ada panggilan dari restoran. Saya diterima. Tapi saat
saya cerita sama emak bapak, mereka langsung tanya, “Gajinya emang berapa?” Ya
memang sih nggak gede banget karena saya juga pemula. Kemudian emak bapak
langsung ngomel. “Udah nggak usah kerja lah, gaji segitu cuma bayar ongkos
aja.”
Alhasil, karena saya mengingat
kata-kata “ridho anak tergantung ridho orang tua”, saya turuti saja. Ketiga,
saya dapat panggilan dari restoran dan toko buku. Saya akhirnya memutuskan
untuk tidak bekerja dulu karena dua perusahaan itu menyuruh saya bekerja dengan
melepas jilbab. Sebenarnya, dulu setelah lulus SMK saya pernah bekerja juga di
restoran selama tiga bulan sebelum kuliah. Buka kerudung karena memang dulu
saya belum berhijab. Saat masuk kuliah, saya barulah bersungguh-sungguh untuk
berhijab.
Alhasil, saya memutuskan untuk
menulis saja dan kembali ke bangku kuliah. Inilah jalan yang sudah digariskan
oleh Allah untuk saya. Nanti juga ada masanya saya bekerja, kata teman saya
ketika saya curhat.
Sekian sebagian kisah hidup saya.
Baiklah, ini dia nih obat yang saya kasih untuk menyembuhkan stress karena
sudah terjerumus masuk ke dalam lubang kemaksiatan, eh maksudnya masuk bidang
yang tidak kita sukai.
Pertama, obati dengan hal-hal
yang kamu sukai. Misalnya seperti saya, menulis. Saya melampiaskan kekesalan
saya ke dalam tulisan. Kamu yang hobi nyanyi, mungkin bisa dilampiaskan dengan
menyanyi di kamar mandi sepuasnya. Eh. Jangan, ya. Soalnya kamar mandi kan
tempatnya syaiton.
Kedua, anggap saja jurusan
yang kamu ambil adalah batu loncatan atau tantangan untuk mencapai impian yang
belum sempat kamu wujudkan. Tanpa kuliah pun, kamu masih bisa mencapi impianmu.
Ilmu tidak hanya didapat di bangku kuliah saja.
Ketiga, berpikirlah bahwa
semua jurusan kuliah yang bahkan disukai pun memiliki titik jenuh dan masa-masa
sulitnya.
Keempat, tengoklah
teman-temanmu yang belum bisa kuliah karena masalah keuangan. Bersyukurlah.
Kelima, jika ada masalah
dengan dosen dan mahasiswa, anggap saja kalau hidup tanpa masalah tentunya
nggak seru dong. Seperti novel yang tanpa konflik, pasti ceritanya akan
datar-datar saja dan tidak menarik.
Keenam, ingat Ayah dan Ibumu
yang sudah bekerja keras untuk membiayai kuliahmu. Juga ingat waktu yang sudah
kamu lalui selama ini, sayang dong kalau misalnya sudah semester tiga mau
berhenti atau pindah jurusan? Sayang uang, sayang waktumu yang sudah terbuang.
Ketujuh, ini nih obat paling
mujarab yang harus kamu ingat. Saya dapat dari salah satu penulis best
seller, Ahmad Rifai Rif'an.
“Orang yang mudah stress adalah
orang yang belum bisa berdamai dengan takdir.”
Kedelapan, Jangan biarkan
orang yang membencimu tertawa melihatmu gagal. Jadi, selesaikanlah kuliahmu.
Kesembilan, selalu berdoa
kalau Tuhan akan memudahkan urusanmu dan tidak mempersulitnya.
Syukuri. Terima saja dengan lapang
dada. Saya pun sedang berjuang. Mari sama-sama semangat demi toga tercinta dan
emak bapak yang sudah bekerja keras untuk menguliahkanmu. :)
0 komentar:
Posting Komentar