Kasus Indosat-IM2 bisa nodai bisnis telekomunikasi
Indonesia
Merdeka.com - Kasus perjanjian kerjasama Indosat dengan IM2
yang dinilai mengandung tindak pidana korupsi terus mengundang polemik dari berbagai pihak.
Kasus ini saat ini sudah masuk ke ranah hukum dan pengadilan.
Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia
(Mastel) Setyanto Santosa mengatakan tuduhan pelanggaran Peraturan Pemerintah
nomor 53 tahun 2000 tentang penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit
satelit yang dialamatkan kepada IM2 bisa berdampak luas kepada terhentinya
seluruh usaha layanan terkait internet di Indonesia. Termasuk pelayanan di
bidang konten, manufaktur, perbankan, pemerintahan, warnet serta penunjang TIK
lainnya.
"Saat ini terdapat
280 ISP (Internet Services Provider) yang pola kerjasamanya sama dengan yang
dilakukan IM2 dengan Indosat," ujar dia kepada wartawan di Jakarta, Selasa
(2/7).
Menurut Setyanto, telekomunikasi merupakan salah
satu infrastruktur yang tidak pernah menggunakan anggaran belanja negara karena
keterbatasan dana milik pemerintah. "Menurut saya kasus ini bermula dari
salah paham penegak hukum yang mengatakan bahwa jaringan tidak termasuk
frekuensi," tegas dia.
Sementara, Mantan Dirut IM2 Indar Atmanto
mengatakan para pelaku sektor komunikasi harus memberikan penjelasan rinci
kepada publik mengenai bisnis telekomunikasi sehingga kasus ini tidak terus
bergulir dan merugikan pemerintah.
"Untuk itu, saya akan menjelaskan melalui
buku yang mengupas tuntas permasalahan kasus ini lengkap dengan peraturan
perundang-undangan di bidang telekomunikasi," pungkas dia.
[bmo]
Penyelesaian Kasus Bank Century dan Solusinya
Penjabaran Kasus Bank
Century
Krisis yang dialami Bank Century bukan disebabkan karena adanya krisis global, tetapi
karena disebakan permasalahan internal bank tersebut. Permasalahan internal
tersebut adalah adanya penipuan yang dilakukan oleh pihak manajemen bank
terhadap nasabah menyangkut:
Penyelewengan dana nasabah hingga Rp 2,8 Trilliun (nasabah Bank Century sebesar
Rp 1,4 Triliun dan nasabah Antaboga Deltas Sekuritas Indonesia sebesar Rp 1,4
Triliiun)
Penjualan reksa dana fiktif produk Antaboga Deltas Sekuritas Indonesia. Dimana
produk tersebut tidak memiliki izin BI dan Bappepam LK.
Kedua permasalahan tersebut menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi nasabah
Bank Century. Dimana mereka tidak dapat melakukan transaksi perbankan dan uang
mereka pun untuk sementara tidak dapat dicairkan.
Kasus Bank Century sangat merugikan nasabahnya. Dimana setelah Bank Century
melakukan kalah kliring, nasabah Bank Century tidak dapat melakukan transaksi
perbankan baik transaksi tunai maupun transaksi nontunai. Setelah kalah
kliring, pada hari yang sama, nasabah Bank Century tidak dapat menarik uang kas
dari ATM Bank Century maupun dari ATM bersama. Kemudian para nasabah mendatangi
kantor Bank Century untuk meminta klarifikasi kepada petugas Bank. Namun,
petugas bank tidak dapat memberikan jaminan bahwa besok uang dapat ditarik
melalui ATM atau tidak. Sehingga penarikan dana hanya bisa dilakukan melalui
teller dengan jumlah dibatasi hingga Rp 1 juta. Hal ini menimbulkan
kekhawatiran nasabah terhadap nasib dananya di Bank Century.
Setelah tanggal 13 November 2008, nasabah Bank Century mengakui transksi dalam
bentuk valas tidak dapat diambil, kliring pun tidak bisa, bahkan transfer pun
juga tidak bisa. Pihak bank hanya mengijinkan pemindahan dana deposito ke
tabungan dolar. Sehingga uang tidak dapat keluar dari bank. Hal ini terjadi
pada semua nasabah Bank Century. Nasabah bank merasa tertipu dan dirugikan
dikarenakan banyak uang nasabah yang tersimpan di bank namun sekarang tidak
dapat dicairkan. Para nasabah menganggap bahwa Bank Century telah
memperjualbelikan produk investasi ilegal. Pasalnya, produk investasi Antaboga
yang dipasarkan Bank Century tidak terdaftar di Bapepam-LK. Dan sudah
sepatutnya pihak manajemen Bank Century mengetahui bahwa produk tersebut adalah
illegal.
Hal ini menimbulkan banyak aksi protes yang dilakukan oleh nasabah. Para
nasabah melakukan aksi protes dengan melakukan unjuk rasa hingga menduduki
kantor cabang Bank Century. Bahkan para nasabah pun melaporkan aksi penipuan
tersebut ke Mabes Polri hingga DPR untuk segera menyelesaikan kasus tersebut,
dan meminta uang deposito mereka dikembalikan. Selain itu, para nasabah pun
mengusut kinerja Bapepam-LK dan BI yang dinilai tidak bekerja dengan baik.
Dikarenakan BI dan Bapepam tidak tegas dan menutup mata dalam mengusut
investasi fiktif Bank Century yang telah dilakukan sejak tahun 2000 silam.
Kasus tersebut pun dapat berimbas kepada bank-bank lain, dimana masyarakat
tidak akan percaya lagi terhadap sistem perbankan nasional. Sehingga kasus Bank
Century ini dapat merugikan dunia perbankan Indonesia.
Solusi Kasus Bank Century
Dari sisi manager Bank Century menghadapi dilema dalam etika dan bisnis. Hal
tersebut dikarenakan manager memberikan keputusan pemegang saham Bank Century
kepada Robert Tantular, padahal keputusan tersebut merugikan nasabah Bank
Century. Tetapi disisi lain, manager memiliki dilema dimana pemegang saham
mengancam atau menekan karyawan dan manager untuk menjual reksadana fiktif
tersebut kepada nasabah. Manajer Bank Century harus memilih dua pilihan antara
mengikuti perintah pemegang saham atau tidak mengikuti perintah tersebut tetapi
dengan kemungkinan dia berserta karyawan yang lain terkena PHK. Dan pada
akhirnya manager tersebut memilih untuk mengikuti perintah pemegang saham
dikarenakan manager beranggapan dengan memilih option tersebut maka perusahaan
akan tetap sustain serta melindungi karyawan lain agar tidak terkena PHK dan
sanksi lainnya. Walaupun sebenarnya tindakan manager bertentangan dengan hukum
dan etika bisnis. Solusi dari masalah ini sebaiknya manager lebih mengutamakan
kepentingan konsumen yaitu nasabah Bank Century. Karena salah satu kewajiban
perusahaan adalah memberikan jaminan produk yang aman.
Dari sisi pemegang saham yaitu Robert Tantular, terdapat beberapa pelanggaran
etika bisnis, yaitu memaksa manajer dan karyawan Bank Century untuk menjual
produk reksadana dari Antaboga dengan cara mengancam akan mem-PHK atau tidak
memberi promosi dan kenaikan gaji kepada karyawan dan manajer yang tidak mau
menjual reksadana tersebut kepada nasabah. Pelanggaran yang terakhir adalah,
pemegang saham mengalihkan dana nasabah ke rekening pribadi. Sehingga dapat
dikatakan pemegang saham hanya mementingkan kepentingan pribadi dibanding
kepentingan perusahaan, karyawan, dan nasabahnya (konsumen). Solusi untuk
pemegang saham sebaiknya pemegang saham mendaftarkan terlebih dahulu produk
reksadana ke BAPPEPAM untuk mendapat izin penjualan reksadana secara sah.
Kemudian, seharusnya pemegang saham memberlakukan dana sabah sesuai dengan
fungsinya (reliability), yaitu tidak menyalah gunakan dana yang sudah
dipercayakan nasabah untuk kepentingan pribadi.
Dalam kasus Bank Century ini nasabah menjadi pihak yang sangat dirugikan.
Dimana Bank Century sudah merugikan para nasabahnya kurang lebih sebesar 2,3
trilyun. Hal ini menyebabkan Bank Century kehilangan kepercayaan dari nasabah.
Selain itu karena dana nasabah telah disalahgunakan maka menyebabkan nasabah
menjadi tidak sustain, dalam artian ada nasabah tidak dapat melanjutkan
usahanya, bahkan ada nasabah yang bunuh diri dikarenakan hal ini. Solusi untuk
nasabah sebaiknya dalam memilih investasi atau reksadana nasabah diharapkan
untuk lebih berhati-hati dan kritis terhadap produk yang akan dibelinya. Jika
produk tersebut adalah berupa investasi atau reksadana, nasabah dapat memeriksa
kevalidan produk tersebut dengan menghubungi pihak BAPPEPAM.
Dikarenakan kasus ini kinerja BI dan BAPPEPAM sebagai pengawas tertinggi dari
bank-bank nasional menjadi diragukan, karena BI dan BAPPEPAM tidak tegas dan
lalai dalam memproses kasus yang menimpa Bank Century. Dimana sebenarnya BI dan
BAPPEPAM telah mengetahui keberadaan reksadana fiktif ini sejak tahun 2005.
Untuk Bank-bank nasional lainnya pengaruh kasus Bank Century mengakibatkan
hampir terjadinya efek domino dikarenakan masyarakat menjadi kurang percaya dan
takut bila bank-bank nasional lainnya memiliki “penyakit” yang sama dengan Bank
Century dikarenakan krisis global, dengan kata lain merusak nama baik bank
secara umum. Solusi untuk BI dan BAPPEPAM sebaiknya harus lebih tegas dalam
menangani dan mengawasi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh bank-bank
yang diawasinya. Selain itu sebaiknya mereka lebih sigap dan tidak saling
melempar tanggung jawab satu sama lain. Dan saran untuk Bank Nasional lainnya,
sebaiknya bank-bank tersebut harus lebih memperhatikan kepentingan
konsumen atau nasabah agar tidak terjadi kasus yang sama.
sumber :
http://sanya-alliairani.blogspot.com/2012/06/permasalahan-dan-solusi-dalam-bank.html
http://atikaa08.student.ipb.ac.id/2010/06/18/permasalahan-bank-century-dan-solusinya
KASUS HUKUM BISNIS
Penyelesaian kasus Bank
Century tampaknya mulai memasuki episode baru lagi setelah Komisi Pemberantasan
Korupsi meminta keterangan Wakil Presiden Boediono beberapa waktu lalu.
Boediono dimintai keterangan oleh KPK dalam kapasitasnya sebagai gubernur Bank
Indonesia ketika kasus tersebut menyeruak enam tahun silam.
Langkah yang diambil KPK rupanya ikut menggoda Tim Pengawas Century DPR. Mereka
pun tak mau kalah. Para wakil rakyat di gedung parlemen Senayan itu langsung
menangkap kesempatan dengan ikut nimbrung hendak memanggil Boediono. Meski
Boediono sudah menyatakan menolak panggilan tersebut, Tim Pengawas tetap
ngotot. Ada apa lagi gerangan? Bukankah DPR sendiri sudah memutuskan bahwa
kasus Century diserahkan ke proses hukum?
Sungguh luar biasa praktik politik di negeri ini. Politik sudah menjadi
panglima dan hukum berada di belakangnya. Logika hukum akhirnya sering
dikalahkan oleh syahwat dan logika politik tadi. Benar juga pepatah Belanda :
“Met juristen je geen revolotie maken“. Kalau kemudian penyelesaian
kasus Century berlarut-larut hingga kini, itu tidak heran karena kasus ini
memang sudah telanjur masuk ranah politik. Penyelesaian kasus pun akhirnya
terseok-seok. Banyak waktu dan energi terbuang percuma hanya untuk mengutakutik
kasus ini.
Padahal, jika sejak awal kasus Century sudah ditempatkan pada logika dan
doktrin hukum bisnis, persoalannya takkan berlarut-larut seperti sekarang ini.
Ini terjadi karena antara satu peraturan dan peraturan lainnya saling
bertabrakan.
Di sini saya lebih suka menggunakan istilah tidak harmonis. Teori hukum memberi
pelajaran bahwa hukum itu merupakan satu kesatuan sistem. Ilmu hukum tidak
melihat hukum sebagai suatu chaos atau mass of rules, tetapi lebih sebagai
suatu structured whole. Hukum sebagai structured whole berarti hukum sebagai
sebuah tatanan yng utuh yang terdiri atas bagian-bagian atau unsur-unsur yang
saling berkaitan satu sama lain, dan harus saling berinteraksi secara harmonis
untuk mencapai tujuan kesatuan sistem tersebut Jalankan Amanat UU Terkait
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dalam sejumlah kesempatan saya sering
mengatakan bahwa lembaga ini menjalankan perintah undang-undang, dan tak ada
kerugian negara dalam penanam modal sementara sebesar Rp 6,7 triliun kepada
Bank Century.
Berdasarkan UU No 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, sudah
merupakan tugas LPS dalam menyelamatkan bank yang gagal berdampak sistemik
seperti Century. Keputusan pengucuran dana itu pun tidak dilakukan atas dasar
pertimbangan LPS sendiri melainkan dilaksanakan setelah mendapat mandat dari
Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Jadi, apa pun persoalan selanjutnya,
pengucuran dana talangan Bank Century telah sah di mata hukum. Apa yang
dilakukan LPS semuanya atas amanat UU LPS.
Dengan begitu, LPS telah menjalankan kebijakan yang sesuai dengan undang-undang
dan peraturan yang berlaku, berlandaskan kepentingan rakyat secara konkret dan
transparan. Kebijakan penyelamatan Bank Century sudah tepat demi menjaga
kestabilan ekonomi agar tidak menularkan kepanikan psikologis di sektor
keuangan. Tentu tidak berhenti di situ saja.
Dana yang dikucurkan LPS untuk penyelamatan bank gagal, Bank Century, tidak
hilang melainkan menjadi bagian dari penyertaan modal sementara pada bank gagal
tersebut. Selanjutnya, berdasarkan pasal 30 (1) UU LPS, lembaga ini wajib
menjual saham yang dimilikinya kepada pihak ketiga. Menurut rencana tahun 2014
LPS sudah harus menjual sahamnya kepada pihak ketiga . Dengan kepemilikan dana
LPS saat ini sebesar sekitar Rp 36 triliun rupiah, lalu disandingkan dengan
penyertaan modal pemerintah sebesar Rp 4 triliun atau bail out sebesar 6,7
triliun rupiah, di manakah sesungguhnya letak kerugian negara itu?
Dari sudut pandang hukum bisnis tak ada kerugian negara dalam kasus Century.
Dana LPS, termasuk yang disetorkan pemerintah sebagai penyertaan modal, sudah
atau menjadimodal institusi ini dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenang
sebagai penjamin impanan nasabah bank. Semua itu bukan lagi keuangan
negara, melainkan kekayaan sendiri dari badan hukum tersebut.
Kalaupun kemudian LPS menderita kerugian, maka berdasarkan doktrin badan hukum,
kerugian tersebut adalah kerugian badan hukum. Ini krena LPS merupakan badan hukum
yang independen dengan kepemilikan asset/kekayaan sendiri. LPS memang bukan PT,
tapi dia adalah institusi yang mempunyai skim bisnis sendiri. Di Amerika
Serikat disebut Federal Deposit Insurance Corporation. Roh LPS sebenarnya
adalah korporasi, tapi anehnya disebut lembaga (institution) yang
kemudian sering dipahami secara keliru dalam melihat tugas, fungsi, dan
wewenang LPS dalam menyelamatkan bank gagal.
Disharmoni Antar-Regulasi Namun, di balik karut marut penyelesaian hukum kasus
Century, saat ini, sesungguhnya ada persoalan besar dalam sistem dan praktik
hukum di negeri kita, yakni ketidakharmonisan (disharmonis) antar-
regulasi. Sebut saja, misalnya, UU Perseroan Terbatas, UU Pasar Modal, UU
Perbankan, UU BUMN di satu pihak dengan UU lain misalnya UU Tipikor, UU BPK, UU
Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara di pihak lain. Peraturan yang masuk
lingkungan hukum bisnis itu kerap saling bertentangan pada segi tertentu.
Terkait kekayaan BUMN misalnya. Jika mengacu pada UU Keuangan Negara, UU BPK, UU
Tipikor, UU Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN, dan UU No
49/Prp/1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (sebelum di judicial review ke Mahkamah Konstitusi), maka kekayaan
BUMN masuk bagian dari kekayaan negara.
Namun, jika merujuk pada UU BUMN, UU Perseroan Terbatas, UU Perbankan, UU Pasar
Modal yang terkait lingkup bisnis secara tegas menyatakan kekayaan BUMN adalah
kekayaan perusahaan. Ketidakharmonisan peraturan seperti itu memang sudah
berlangsung sejak masa Orde Baru. Ini terjadi karena konsep pembangunan di masa
lalu lebih diarahkan kepada pertumbuhan ekonomi, dengan meninggalkan bingkai
hukum yang memadai.
Sayangnya, pascareformasi tak ada perubahan signifikan terhadap sistem dan
praktik hukum kita. Walaupun perbaikan-perbaikan telah dilakukan,
permasalahan-permasalahan hukum dan politik yang terjadi di Tanah Air membuat
pembangunan hukum di negara hukum ini masih belum seperti yang diharapkan..
Jika semua disharmoni perundang-undangan tak segera diselesaikan secara tuntas,
Indonesia bisa terancam krisis undangundang, bahkan krisis konstitusi. Ini
tentu saja akan menimbulkan ketidakpastian hukum, yang pada gilirannya akan
sangat memengaruhi iklim investasi yang sedang gencar-gencarnyadilakukan
pemerintah. Karena itu, tak ada pilihan lain kecuali menjadikan hukum sebagai
panglima, bukan politik.
Langkah paling penting untuk ini adalah review terhadap semua peraturan perudangan
yang disharmonis. Pemerintah dan DPR harus segera duduk bersama untuk mengkaji
ulang semua perundang-undangan yang saling berseberangan tersebut. Hanya dengan
begitu pertengkaran hukum yang hanya menghabiskan waktu takkan terjadi lagi,
dan virus politik pun menjadi tak mempan untuk menjalankan aksinya.
0 komentar:
Posting Komentar