Kode etik sebetulnya bukan merupakan hal yang
baru. Sudah lama diusahakan untuk mengatur tingkah laku moral suatu kelompok
khusus dalam masyaraat melalui ketentuan-ketentuan tertulis yang diharapkan
akan dipegang teguh oleh seluruh kelompok itu. Salah satu contoh tertua adalah
“Sumpah Hippokrates” yang bisa dipandang sebagai kode etik ternama untuk
profesi dokter. Hippokrates adalah dokter Yunani kuno yang digelari “bapak ilmu
kedokteran” dan hidup dalam abad ke-5 S.M.
Menurut ahli-ahli sejarah belum
tentu sumpah ini merupakan buah pena Hipokrates sendiri, tapi
setidak-tidaknya berasal dari kalangan murid-muridnya dan meneruskan semangat profesional yang diwariskan panjang, namun belum pernah dalam sejarah kode etik menjadi fenomena yang begitu banyak dipraktikkan dan tersebar begitu luas seperti sekarang ini. Jika sungguh benar zaman kita diwarnai suasana etis yang khusus, salah satu buktinya adalah pernanan dan dampak kode-kode etik ini. Profesi adalah suatu moral community (masyarakat moral) yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama. Mereka yang membentuk suatu etika profesi disatukan juga karena latar belakang pendidikan yang sama dan bersama-sama memiliki keahlian yang tertutup bagi orang lain.
setidak-tidaknya berasal dari kalangan murid-muridnya dan meneruskan semangat profesional yang diwariskan panjang, namun belum pernah dalam sejarah kode etik menjadi fenomena yang begitu banyak dipraktikkan dan tersebar begitu luas seperti sekarang ini. Jika sungguh benar zaman kita diwarnai suasana etis yang khusus, salah satu buktinya adalah pernanan dan dampak kode-kode etik ini. Profesi adalah suatu moral community (masyarakat moral) yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama. Mereka yang membentuk suatu etika profesi disatukan juga karena latar belakang pendidikan yang sama dan bersama-sama memiliki keahlian yang tertutup bagi orang lain.
Dengan
demikian profesi menjadi suatu kelompok yang mempunyai kekukasan tersendiri dan
karena itu mempunyai tanggung jawab khusus. Karena memiliki monopoli atas
keahlian tertentu, selalu ada bahaya profesi menutup diri bagi orang dari luar
dan menjadi suatu kalangan yang sukar ditembus. Bagi klien yang menggunakan
jasa profesi tertentu keadaan seperti itu mendapatkan kecurigaan jangan-jangan
ia dipermainkan. Kode etik dapat mengimbangi segi negatif profesi ini. Dengan
adanya kode etik, kepercayaan masyarakat akan suatu profesi dapat diperkuat,
karena setiap klien mempunyai kepastian bahwa kepentingannya akan terjamin.
Kode etik ibaratkan kompas yang menunjukkan arah angin suatu profesi dan
sekaligus juga menjamin mutu moral profesi itu di mata masyarakat.
Dalam
konteks ini etika terapan memegang peranan penting. Kode etik bisa dilihat
sebagai produk etika terapan, sebab dihasilkan berkat penerapan pemikiran etis
atas suatu wilayah tertentu, yaitu profesi. Tapi setelah kode etik ada,
pemikiran etis tidak berhenti. Kode etik tidak menggantikan pemikiran etis,
tapi sebaliknya selalu didampingi oleh refleksi etis. Kode etik yang sudah ada,
sewaktu-waktu harus dinilai kembali dan jika perlu direvisi atau disesuaikan.
Hal itu bisa mendesak karena situasi yang berubah.
Dalam
dekade-dekade terakhir ini timbulnya komputerisasi, misalnya bagi banyak
profesi menciptakan suatu situasi yang baru yang menimbulkan
implikasi-implikasi etis baru pula. Kode etik bisa diubah juga—atau dibuat
baru, jika sebelumnya tidak ada—setelah terjadi penyalahgunaan yang meresahkan
masyarakat dan membingungkan profesi itu sendiri. Ini terbukti suatu cara ampuh
untuk memulihkan kembali kepercayaan masyarakat yang sedang tergoncang. Sebuah
contoh konkret dapat menjelaskan maksudnya. Di beberapa negara hubungan antara
para dokter dan industri farmasi diatur dengan kode etik. Hal itu dianggap
perlu, setelah dalam rangka promosi obat-obatan industri farmasi mulai
memberikan hadiah kepada dokter (berupa tiket pesawat, laptop, dan
sebagainya), bila ia mencantumkan obat tertentu dalam resep-resep yang
ditulisnya bagi pasiennya. Dari sudut etis, praktik seperti itu patut
diragukan. Sebab, di satu pihak, jika mau berobat, pasien tergantung pada
dokter yang menulis resep. Pasien sendiri tidak tahu-menahu tentang obat dan
seluk-beluknya. Bagi dia tidak ada jalan lain daripada menyerahkan diri
sepenuhnya kepada dokter yang merupakan profesional di bidang ini. Di lain
pihak, justru dasar profesinya dokter harus mengambil keputusan—juga dalam
menulis resep—semata-mata demi kepentingan pasien dan bukan karena kepentingan
lain. Adalah tidak etis, jika dokter mengambil keputusan demi kepentingan
pribadi yang diperolehnya melalui industri farmasi. Apalagi, dalam hal ini
pasien mudah dirugikan, karena obat yang satu ini agaknya lebih mahal dari obat
lain, obat genetik, umpamanya. Kesulitan moral seperti itu dan keresahan yang
diakibatkannya dalam masyarakat bisa diatasi dengan membuat kode etik, yang
berlaku bagi profresi dokter, bagi industri farmasi atau keduanya. Dalam
kasus-kasus serupa itu kode etik sudah sering membuktikan kegunaannya dalam
memberi arah moral yang betul kepada profesi dan menjamin kepercayaan
masyarakat.
Supaya
dapat berfungsi dengan semestinya, salah satu syarat mutlak adalah bahwa kode
etik itu dibuat oleh profesi sendiri. Kode etik tidak akan efektif, kalau
didrop begitu saja dari atas—dari instansi pemerintah atau instansi lain—karena
tidak akan dijiwai oleh cita-cita dan nilai-nilai yang hidup dalam kalangan
profesi itu sendiri. Instansi dari luar bisa menganjurkan membuat kode etik dan
barangkali bisa membantu juga dalam merumuskannya, tapi pembuatan itu sendiri
harus dilakukan oleh profesi bersangkutan. Supaya bisa berfungsi dengan baik,
kode etik harus menjadi hasil self-regulations (pengaturan diri) dari
profesi. Dengan membuat kode etik, profesi sendiri akan menetapkan hitam atas
putih niatnya untuk mewujudkan nilai-nilai moral yang dianggapnya
hakiki. Hal itu tidak pernah bisa dipaksakan dari luar. Hanya kod etik yang
berisikan nilai-nilai dan cita-cita yang diterima oleh profesi itu sendiri bisa
mendarahdaging dengannya dan menjadi tumpuan harapan untuk dilaksanakan dengan
tekun dan konsekuen.
Syarat
lain yang harus dipenuhi agar kode etik berhasil dengan baik adalah bahwa
pelaksanaannya diawasi terus-menerus. Pada umumnya kode etik akan mengandung
sanksi-sanksi yang dikenakan pada pelanggar kode. Kasus-kasus pelanggaran akan
dinilai dan ditindak oleh suatu “dewan kehormatan” atau komisi yang dibentuk
khusus untuk itu. Karena tujuannnya adalah mencegah perilaku yang tidak etis,
sering kali kode etik berisikan juga ketentuan bahwa profesional berkewajiban
malapor, bila ketahuan teman sejawat melanggar kode etik. Ketentuan ini
merupakan akibat logis dari self-regulations yang terwujud dalam kode
etik: seperti kode etik itu berasal dari niat profesi mengatur dirinya sendiri,
demikian juga diharapakan kesediaan profesi untuk menjalankan kontrol terhadapa
pelanggar. Namun demikian dalam praktik sehari-hari kontrol ini kerap kali
tidak berjalan dengan mulus. Karena rasa solidaritas tertanam kuat dalam
anggota-anggota profesi, seorang profesional mudah merasa segan melaporkan
sejawat yang melanggar. Tetapi dengan perilaku semacam itu solidaritas antar
kolega ditempatkan di atas etika profesi dan sebetulnya maksud kode etik dengan
itu tidak tercapai. Sebab, maksudnya adalah menempatkan etika profesi di atas
segala pertimbangan lain. Sebagai contoh profesi yang mempunyai kebiasaan
menyusun kode etik dapat disebut : dokter, perawat, petugas pelayanan kesehatan
lainnya, pengacara, wartawan, insinyur, akuntan, perusahaan periklanan, dan
lain-lain. Suatu gejala agak baru adalah bahwa sekarang ini bukan saja profesi,
tapi juga perusahaan-perusahaan cenderung membuat kode etik sendiri. Rasanya,
dengan itu mereka ingin memamerkan mutu etisnya dan sekaligus meningkatkan
kredibilitasnya. Surat kabar Amerika terkenal, The Washington Post, yang
antara lain mendapat nama karena mulai membongkar “The watergrate affair” yang
akhirnya memaksa Presiden Nixon mengundurkan diri, membuat suatu kode etik
terkenal yang berlaku khusus untuk karyawan surat kabar itu. Banyak perusahaan
lain, khususnya di Amerika Serikat, menyusun kode etik sendiri, sampai-sampai
bisa timbul kesan bahwa pemilikan kode etik menjadi semacam mode saja, sama
seperti memiliki logo atau pakaian seragam. Biarpun bahaya mode itu memang ada,
namun upaya memiliki kode etik bisa sungguh-sungguh menunjukkan mutu etis suatu
perusahaan dan karena itu pada prinsipnya patut dinilai positif.
Sumber : K. Bertens, Etika, Penerbit PT. Gramedia Pustaka
Utama, 1993.
0 komentar:
Posting Komentar