Menjalani
Usaha Penerbitan
Menjalani
usaha memang tidak selalu jalannya mulus, apalagi jika perusahaan baru. Kita
harus merintis dari bawah dulu, menikmati proses sampai suatu saat benar-benar
ada di puncak.
Buku
pertama yang Loka terbitkan adalah When I Open My Eyes dan I
Miss You hasil dari event cerpen yang kami adakan.
Sebenarnya itu adalah lomba cerpen yang saya adakan di penerbit teman yang
pernah menipu saya. Karena saat itu saya jadi PJ Event-nya, maka saya ingin
bertanggung jawab membukukan cerpen mereka.
Pertama,
masalah yang kami alami adalah mengenai ISBN. Entah kenapa semenjak saya masuk
jadi lini Penerbit X, ISBN keluarnya lama. Biasanya paling lama satu minggu,
ini sampai dua minggu, tapi tetap bersyukur karena ISBN keluar.
Berhubung
penerbit indie dan kami baru berdiri, Loka memberikan paket penerbitan Rp100
ribu dulu. Tadinya ingin memberikan harga 200-300 ribu, tapi takut kemahalan.
Setelah posting paket penerbitan, kemudian ada yang komentar
katanya terlalu murah, biasanya yang murah itu tidak berkualitas. Gimana
perasaan saya saat itu ketika ada yang komentar seperti itu? Tentu saja rasanya
sakit. Niat baik memberikan paket penerbitan murah, tetap saja ada yang tidak
suka. Ya, memang, sih, niat baik tidak selalu disambut dengan baik juga.
Klien
pertama yang kami tangani saat itu adalah penulis bernama Adinda Amara. Suatu
kebanggaan bagi kami karena mendapatkan klien di awal penulisnya ramah. Mau
diajak kerja sama. Tentunya saya juga tambah senang ketika Adinda sering curhat
mengenai kepenulisan. Membuat saya semakin dekat dengannya. Dinda menerbitkan
novel perdananya di penerbit yang baru berdiri.
"Kenapa
memilih Loka? Loka, kan, baru berdiri. Saat itu kami juga belum
mengeluarkan cover terbitan kami. Apa karena harganya yang
murah?" tanya saya.
Dinda
menjawab, "Saya menerbitkan di Loka bukan karena harganya, Kak. Tapi saat
melihat logo Loka, saya langsung suka. Keren. Yang ada di pikiran saya pasti
nanti desain cover-nya juga keren."
Lalu
masalah kedua setelah ISBN, naskah yang katanya dicetak hanya menghabiskan
waktu 2 minggu malah jadi 3 minggu. Ditambah pengiriman yang memakan waktu
sebanyak 10 hari. Membuat saya rasanya ingin berubah jadi monster. Ribut-ributlah
saya dulu dengan si X. Kesal karena buku belum sampai-sampai. Kalau itu buku
pesanan saya, sih, tidak masalah, tapi ini pesanan orang lain. Ditambah karena
dulu saya pernah trauma, tiga kali cetak hasilnya tidak memuaskan. Membuat saya
semakin takut kalau para pemesan akan kecewa.
Saya
coba tenangkan Dinda dan para pemesan yang lain, minta maaf. Untunglah mereka
mengerti dan menjawab, "Tidak apa-apa, Kak. Yang penting bukunya sampai
dengan selamat."
Syukurlah,
ketakutan dan kesabaran saya menunggu kiriman buku cetak terbitan Loka hasilnya
memuaskan. Kertas awal yang saya bayangkan warnanya abu-abu seperti koran,
ternyata warnanya kuning seperti novel terbitan Gagasmedia. Saya ikut bahagia
ketika penulis yang menerbitkan naskahnya di Loka saat memegang buku hasil
cetaknya. Rasanya seperti memosisikan diri sebagai penulisnya.
**
Berhubung
banyak yang memuji cover Loka bagus, akhirnya saya menaikkan
paket penerbitan jadi 200 ribu. Mengingat saya juga harus menggaji Wulan,
Rizky, dan Lisma. Saya ketemu klien kedua, kali ini penulisnya laki-laki. Dia
sudah kirim naskahnya dan saya serahkan kepada Lisma untuk di-edit.
Namun, belum apa-apa penulis ini sudah meributkan cover. Dia
ingin cover-nya buatan sendiri. Oke, saya coba lihat dulu
hasil cover-nya. Kemudian saya dan tim Loka pun kaget karena cover-nya
terlihat asal-asalan. Berhubung penulis ini juga belum bayar, saya sudah kasih
nomor rekening, mengingatkan juga tapi cuma diam saja. Ya sudah, saya lepas
penulis ini. Sudah ada perasaan tidak enak. Saya yakin masih banyak yang mau
menerbitkan naskahnya di Loka. Dan benar saja, setelah seminggu kemudian ada
dua penulis yang minta nomor rekening untuk bayar biaya penerbitan.
Dulu
naskah Dinda, Lisma yang edit. Namun berhubung Lisma sudah saya
berikan naskah Pelangi di Langit Mendung—cerpen yang dikembangkan jadi novel
yang saya tawarkan kepada Rositi untuk terbit gratis karena saya suka. Kepala
saya pusing saat meng-edit naskah yang EBI-nya kacau.
Naskah
seterusnya yang saya edit pun begitu. Akhirnya saya dan Wulan
membuat program #LOKABahasa, share Ejaan Bahasa Indonesia.
Novel Reach Out to Me
karya Adinda Amara
Masalah
selanjutnya adalah masalah yang membuat saya sempat patah semangat. Masalah
internal.
Saat
itu saya baru sampai kampus, ada BBM yang masuk dari Rizky Dewi. Dia bilang,
"Mbak, ada sesuatu yang mau saya bicarakan."
Saya
balas, "Apa, Ky?"
Rizky
balas BBM saya lama, membuat saya dag dig dug. Dalam hati saya sudah ada
perasaan tidak enak. Pikiran saya Rizky pasti mengundurkan diri. Dan beberapa
menit terbuang ketika saya menunggu balasan Rizky Dewi, dugaan saya benar.
"Maaf
Mbak, saya mau mengundurkan diri dari Loka."
Oh,
Demi apa Rizky keluar? Aset berharga saya keluar? Karena apa? Masalah apa?
"Saya
lagi banyak tugas kuliah, Mbak. Saya cuma merasa tidak enak saja, soalnya pasti
kalau desain cover bakalan lama."
Saya
coba tenangin diri dulu. Tarik napas. Saya tidak bisa melepaskan Rizky Dewi.
Dia sudah masuk dalam sejarah didirikannya Loka. Dia sudah saya anggap seperti
keluarga sendiri.
"Begini,
Ky ... kalau memang kamu lagi sibuk, tidak apa-apa kamu istirahat sementara
dulu saja. Kamu fokus nugas dulu. Loka nanti-nanti. Kamu desain sebulan juga
tidak masalah, tapi jangan keluar, ya. Itu bukan solusi yang tepat. Saya anggap
kamu cuti saja. Jangan keluar. Loka baru berdiri, saya sudah anggap kamu kayak
keluarga sendiri. Bantu saya merintis Loka bareng Kak Wulan sama Lisma,
ya?"
Rizky
pun tak berapa lama membalas BBM saya, yang sempat membuat saya dag dig dug dia
tetap ingin keluar.
"Makasih
atas pengertiannya, ya, Mbak. Jujur, saya merasa tidak enak. Iya, itu pasti.
Loka sudah jadi keluarga saya. Oke, semangat!"
Alhamdulillah.
Rizky tidak keluar. Akan tetapi beberapa hari kemudian ... saya ribut-ribut
dengan Lisma karena kesal dia menyerah menyunting naskah yang saya suruh. Dia
juga akhir-akhir ini malas dan lebih suka mendesain. Saya memberi dia pilihan,
mau jadi editor atau jadi desain cover? Lisma
tidak pilih dua-duanya. Dia minta maaf dan memilih mengundurkan diri. Rasanya
bagai ditimpa batu raksasa. Saya dengan sangat kecewa harus melepaskan Lisma
meski sudah menahannya untuk tidak keluar. Kecewa. Marah. Bukan marah pada
Lisma, tapi marah pada diri sendiri karena terlalu berharap pada manusia.
Namun,
saya coba ikhlaskan dan menerima keputusan yang dia ambil. Bila memang berjodoh
di Loka, suatu saat dia kembali. Seperti Steve Jobs yang dipecat dari Apple
oleh dewan direksi karena ketidaksetujuannya tentang masalah bisnis, tapi pada
akhirnya dia kembali lagi ke Apple. Setelah itu, saya mencari pengganti Lisma, Idha
Febriana.
Semua
pun kembali baik-baik saja, tapi setelah itu masalah-masalah lain pun datang.
Masalah yang lebih besar. Membuat Lokamedia berada di ujung tanduk.
"Kenapa,
ya, dari awal buka usaha, kok, Loka dapat masalah terus?" kata Wulan
sambil menyelipkan emoticon :'(
"Allah
hanya mengetes kita, Say. Mau sungguh-sungguh atau tidak di bidang ini."
Loka
Media Akhirnya Berdiri Sendiri
Saya sudah membahas masalah
internal maupun eksternal. Pertama, menunggu buku cetak dan pengiriman dalam
jangka waktu yang lama, ISBN pun keluar lama. Sampai masalah internal ada
satu partner Loka yang keluar, hingga masalah paling besar
yang membuat Loka berada di ujung tanduk.
Semenjak ISBN keluar sampai
sebulan, saya mulai curiga. Kemudian saya coba tanya-tanya ke rekan yang
memiliki usaha penerbit indie juga. ISBN katanya keluar maksimal 3 hari. Wow!
Saya kaget dong, ya. Lantas, apa masalahnya dengan kami yang ISBN-nya kok bisa
keluar sampai sebulan?
Oke, sebelum menguak misteri ISBN
kenapa keluarnya lama, mari bertualang dengan saya dulu mencari payung sebelum
hujan. (Baca: solusi).
==
Di Sejarah Didirikannya Penerbit
Loka Media, saya membahas jika kami mendirikan penerbit indie berawal dari lini.
Kami (saya, Lisma, Wulan, dan Rizky Dewi) patungan untuk membayar pendaftaran
menjadi lini. Sebagai lini, kami hanya terima beres soal pengurusan ISBN, tidak
boleh cetak di tempat lain, dan aturan lainnya karena induknyalah yang
mengurusnya. Jadi ... ilmu saya masih nol besar soal ISBN, bagaimana cara
mendaftar dan lain-lain. Saya hanya disuruh mengirimkan layout naskah
yang kami terbitkan—tidak lupa mencantumkan kata pengantar/ucapan terima kasih yang
katanya sebagai syarat pendaftaran ISBN. Dan ... ini dia yang mencurigakan,
saya harus bayar lima puluh ribu setiap daftar, padahal daftar ISBN itu GRATIS
TIS TIS! (Saya tahu setelah mengobrol dengan Nerin Richa).
Berhubung masih menyisakan
kecurigaan, saya coba ngobrol dengan Anisa—owner Penerbit AE
Publishing. Saya bertanya seputar syarat pendaftaran ISBN. Nisa memberikan saya
beberapa file pdf. Dia kemudian meminta layout naskah
kami. Nisa menemukan kejanggalan, makin kaget ketika saya bilang harus bayar
untuk daftar.
"Kamu sudah bayar jadi lini
sekian, terus suruh bayar juga saat daftar ISBN. Ini namanya ...."
"Mungkin untuk cetak buku
buat ke PNRI seperti Kak Nisa bilang," jawab saya masih tetap berprasangka
baik.
"Ya sudah, cerita saja kalau
ada yang aneh lagi."
"Oke, Kak. Makasih atas
ilmunya."
Setelah chatting dengan
Nisa, saya coba bertanya ke pemimpin induk mengenai lini apakah masuk akta notaris
atau tidak? Jawabannya malah membuat saya curiga lagi.
"Rugi kamu daftar jadi lini
sekian rupiah kalau nggak masuk akta notaris. Lini yang sudah masuk akta bisa
daftar ISBN sendiri. Kalau tidak, pakai logonya dua. Cantumkan di back
cover dua logo, induk dan lini. Pun sama dengan kerja sama."
Oke, sudah bisa ditarik
kesimpulan kalau Loka Media tidak masuk akta notaris induk. Judulnya adalah ...
saya ditipu. Saya, Ariny, Dhesfi, dan Reyhan, sudah tahu jika lini-lini tidak
masuk akta notaris. Jadi biaya pendaftaran untuk jadi lini sekian rupiah itu
lantas untuk apa? Bisnis? Seharusnya dijelaskan di awal dan ada hitam di atas
putih (surat perjanjian kerja sama).
Oke, ini salah saya juga karena
tidak riset dulu soal penerbitan sebelum membuka usaha. Kemudian, kesalahan
kedua yang fatal, saya mudah (terlalu percaya) pada orang. Perang dimulai. Kami
minta pertanggungjawaban penerbit induk. Syukurlah, pemimpin induk mau
memperbaiki kesalahannya. Dia buat akta perubahan dan memasukkan lini-lini ke
akta. Setelah akta jadi, lini yang didaftarkan Arsha Teen, Reybook & Loka
Media dulu. Dia bilang validasi akun menunggu waktu maksimal 3 hari. Di saat
kondisi yang kacau-balau, Ariny masih sempat-sempatnya mengajak saya taruhan.
Validasi atau ditolak?
Dua minggu berlalu, ada kabar
baik datang. Akun Arsha Teen sudah divalidasi. Namun, akun Loka dan Reybook
belum valid juga. Pupus harapan, waktu sebulan sudah berlalu. Akun Loka belum
juga divalidasi. PNRI bilang, peraturan sekarang lini yang divalidasi hanya
satu akun. Pemimpin induk minta maaf dan akan mengganti uang para lini.
==
Masih ada satu jalan keluar. Saya
keluar dan menjadi lini AE Publishing. Akan tetapi, tetap saja saya tidak bisa
daftar ISBN sendiri karena tentunya lini AE sudah dua yang divalidasi PNRI.
Saya minta tolong Nisa untuk membuatkan kami akta notaris. Namun, harus
mewakilkan satu orang ke Malang. Oh, bukan cara efektif. Saya tidak bisa ke
Malang. Wulan juga tidak bisa. Mau tidak mau saya harus menyelesaikan masalah
ini sendiri. Di sini. Membuat akta notaris di Jakarta.
Jujur, saya benar-benar awam
menyangkut urusan ini, tetapi mau bagaimana lagi. Sudah telanjur basah, mandi
sekalian. Meski sudah pupus harapan, saya yakin setiap masalah ada jalan
keluarnya. Saya coba tanya-tanya biaya membuat akta. Nerin—dari Riau. Di sana
membuat akta 5 juta. Kak Nisa—dari Malang, 1 Juta. Katanya sekarang mungkin
biayanya sudah naik.
Jakarta ….
Saya belum berani datang ke
notaris jika belum paham betul mengenai ini. Saya sampai beli buku tentang
"Hukum Bisnis", perbedaan cara membuat PT dan CV. Meski sebelumnya
saya sudah tanya Google dan dibantu oleh Nisa. Oke, saya sudah mulai paham.
Saya minta tolong Mondy—kantornya
dekat notaris. Tanya biaya membuat akta berapa. Mondy memberikan kartu nama
notarisnya beserta rincian biayanya. Seketika saya ingin pingsan, 7 JUTAAA!
Uang dari mana 7 JUTAA?
Tanya lagi ke Nisa, kenapa di
Jakarta biayanya sampai mahal.
"Itu paket lengkap kayaknya.
Cobalah kamu saja yang ke kantor notarisnya langsung, tanya biaya buat akta
saja berapa. NPWP, dan lain-lain kamu saja yang urus."
Oke, meski masih enggan ke kantor
notaris, pada akhirnya kedua kaki saya menginjakkan kaki di sana juga.
Deg-degan. Dalam hati saya berharap angka yang disebut 1 juta. Namun, setelah
ketemu dengan karyawannya, mbak itu menyebutkan angka 3 JUTA. Hanya untuk akta
notaris saja?
WOW!
Pulang.
Menangis di kamar. Bahkan uang
tiga juta saja saya tidak punya. Ingin meminjam uang pada Ayah, saya sudah tahu
jawabanya beliau tidak akan memberikan saya uang pinjaman. Ayah dan Ibu sampai
saat ini belum sepenuhnya setuju saya terjun ke dunia literasi dan penerbitan.
Naskah yang antre terbit banyak. Sementara saya selaku Pemred Loka sedang sibuk
menggalau vakum atau lanjut.
"Semangat, Mbak. Usaha itu
tidak selalu jalannya mulus. Banyak yang mau menerbitkan di Loka. Jangan
nyerah, ya," ujar Rizky ketika saya menumpahkan masalah ini.
"Oke, semoga saya bisa
menemukan jalan keluarnya."
Saat manusia sudah berusaha, hal
yang dilakukan untuk terakhir kali tentu saja berdoa. Berserah diri pada Allah.
Allah, mudahkan urusan kami,
jangan dipersulit.
Beberapa hari kemudian, Allah
mengabulkan doa saya. Allah memberikan saya jalan keluar dengan mengirimkan
perantara, Dhesfi. Teman saya di dunia maya—sama-sama lini yang dibohongi, dia
mau membantu Loka berdiri sendiri.
Allah memang Mahabaik. Yang harus
saya ingat, tidak mungkin ada masalah jika tidak ada jalan keluarnya dan tetap
berprasangka baik pada Allah. Allah kirimkan lagi orang baik, namanya Anis. Dia
sering makan di warung orang tua saya. Awalnya kami hanya mengobrol soal orang
yang bekerja tidak sesuai dengan jurusan dan obrolan kami pun mulai mengarah
tentang CV dan PT. Karena ternyata beliau kerja di notaris.
"Kamu buat akta lewat biro
jasa saja. Tidak sampai 3 juta, kok. Palingan cuma 1 juta, tapi sepertinya
tidak sampai."
Anis mencatat nomor handphone biro
jasa kenalannya.
"Jadi nanti kamu terima
beres. Biro jasa yang urus."
"Makasih, Mbak. Makasih
banget pokoknya."
"Sip, nanti hubungi Pak
Andre saja."
Besoknya saya langsung SMS Pak Andre.
"Pak, saya mau buat akta. Urus
NPWP, domisili, sampai pengesahan. SIUP, TDP, dan lain-lain. Itu nanti saja.
Berapa biayanya?"
"Akta saja 1 juta, kalau mau
urus NPWP sampai pengesahan 1,5."
"Tidak bisa dikurangi, Pak?
1,3 deh, Pak."
"Boleh, deh." Setelah deal, saya
langsung telepon Dhesfi. Dhesfi bilang oke. Besoknya dia transfer 1 juta,
sisanya 300 ribu dari saya.
Karena saya malas
sembunyi-sembunyi ketemuan dengan Pak Andre, akhirnya saya jujur ke orang tua
saya kalau saya—buka bisnis penerbitan. Sempat takut, Ayah dan Ibu marah. Tapi
ternyata mereka mendukung. Setelah menyerahkan KTP saya dan Ayah beserta kartu
keluarga, akta pun diproses. Saya selaku direktur utama tanda tangan, Ayah
selaku komisaris. Berkas dibawa lagi ke kantor notaris. Besoknya Pak Andre
membawa map warna orange, bahwa akta CV. LOKA
MEDIA sudah jadi. Saya tersenyum lega. Alhamdulillah. Namun, saya baru sadar kenapa namanya
dipisah.
“Pak,
saya sudah bilang ke Bapak namanya disambung, lho. Lokamedia. Kenapa jadi
dipisah?”
“Peraturan
sekarang membuat CV namanya harus terdiri minimal dua suku kata.”
“Oh
begitu. Terima kasih, Pak.”
Saya langsung daftar penerbit ke
PNRI. Tiga hari sudah berlalu, tapi akun Loka Media belum juga divalidasi. Air
mata menetes lagi. Saya ingin menyerah. Bolehkah
saya menyerah saja?
Saya coba tenangkan diri dulu.
Mencoba daftar untuk kali kedua, dengan data yang tentunya sudah valid. Upload
scan-an akta notaris dari halaman pertama sampai akhir. Itu pun setelah
menemukan cara export ke pdf dengan mengatur ukurannya supaya
kecil. Sudah daftar. Saya langsung telepon PNRI untuk meminta kepastian karena
sudah pasti saya tidak akan tenang mengerjakan apa pun bila urusan ini belum
selesai. Diangkat oleh perempuan. Saya langsung tanya soal Loka.
"Datanya tidak valid, Mbak.
Harusnya akta notaris lampirkan keseluruhan dari awal sampai akhir."
"Sudah, Mbak. Saya sudah
daftar ulang, kok."
"Oh, oke sebentar. Saya cek
dulu."
Dag-dig-dug.
"Oh, ini sudah valid. Baik,
akan segera kami validasi."
Alhamdulillah. Beberapa menit
kemudian saya mendapat e-mail konfirmasi dari PNRI. Obrolan
saya berlanjut mengenai apakah benar lini yang divalidasi hanya satu, sedangkan
penerbit lain bisa.
"CV lingkupnya kecil, Mbak.
Kecuali PT. Tolong bilang ke teman Mbak, ya. Suruh buat CV saja seperti Loka
Media."
"Oh, oke, Mbak. Itu maaf,
ada yang ingin saya tanyakan lagi. Apakah benar jika penerbit sudah mencapai
kuota 500 judul, tidak bisa daftar ISBN lagi?"
"Wah, dapat informasi dari
mana itu, Mbak?"
"Dari X."
"Itu informasi yang salah, Mbak.
Sampai seribu judul pun kami layani. Asal mematuhi aturan undang-undang,
mengirim bukti terbit ke PNRI dan perpustakaan daerah."
"Oh, jadi begitu, ya. Saya
pikir X tidak bisa daftar ISBN karena sudah memenuhi kuota 500 judul."
Tim ISBN di sana tertawa.
"Itu salah. Akunnya kami kunci dulu, makanya tidak bisa daftar ISBN. Kalau
yang bersangkutan sudah menyelesaikan masalahanya, baru akunnya kami buka
lagi."
Ternyata ....
Ya Tuhan. Jadi inilah jawaban
kenapa ISBN keluarnya selalu lama?
Yang jelas, berkat masalah ini.
Berkat dia menipu saya, Loka jadi berdiri sendiri.
Setiap masalah, selalu ada
hikmahnya.
Allah, terima kasih.
==
Januari 2017, kami mengubah sistem penerbitan
naskah berbayar menjadi seleksi seperti mayor dan gratis.
Tahun 2018 sampai sekarang, kami masih fokus di
naskah novel dan nonfiksi.
Juli 2019, karena banyak permintaan dari
komunitas yang ingin menerbitkan buku di Loka Media, maka kami pun mendirikan
SAL (Sobat Aksara Loka), imprint dari Loka Media khusus menerbitkan naskah
komunitas dengan jalur berbayar.
Naskah yang diterbitkan antara lain:
√ Kumcer √ Puisi √ Resensi √ Kutipan √ Fiksi
Mini √ Novelet
Pencapaian
Loka Media
(2016-2019)
-
Mendapat
apresiasi “indie rasa mayor”
-
Berhasil
menggaet penulis mayor Lovya Diany, Citra Novy, Putu Felisia, dan penulis mayor
lainnya
-
Bekerja
sama dengan SCOOP yang sekarang diubah menjadi Gramedia Digital
-
Buku
didistribusikan di Togamas Surabaya dan Togamas Malang
-
Buku
didistribusikan di Graha Media Makassar
-
Bekerja
sama dengan perusahaan Tiongkok, i-Reader dalam menjual ebook
-
Artikel
tentang Loka Media dimuat Kumparan dan C2live
-
CEO
Loka Media, Devi, pernah menjadi bintang tamu di acara DK Show, Beritasatu TV
membahas seluk-beluk buku indie dan Loka Media
-
Berhasil
menggaet produser Beritasatu TV menerbitkan buku di Loka Media
-
Berhasil
mendistribusikan ke seluruh toko buku nasional yakni buku berjudul Ibu Pilihan Tuhan karya Rizka Azizah
(mantan redaktur Femina) bekerja sama dengan Penerbit Tiara Femina, lini
Serambi
-
Berhasil mendistribusikan buku berjudul Hijrah Asmara ke seluruh toko buku
nasional dengan mandiri (menggunakan logo full depan-belakang Loka Media)
-
Kolaborasi
lomba menulis dengan platform menulis Tinlit.com