Blurb:
Heidi adalah cerita dari Swiss tentang
seorang gadis periang berhati lembut. Kisah ini terus digemari pembaca sejak
diterbitkan lebih dari 100 tahun lalu.
Sepeninggal orang tuanya, Heidi tinggal
dengan Bibi Dete. Saat usianya delapan tahun, dia ditiitipkan pada kakeknya di
Gunung Alm. Heidi menghabiskan hari-harinya di gunung dengan riang bersama
kakek, Peter si gembala dan neneknya, juga kambing-kambingnya.
Belum lama merasakan kebahagiaan di
pegunungan, Bibi Date kembali dan membawanya ke Frankfurt untuk menemui Clara,
anak perempuan sakit-sakitan dari keluarga kaya. Walaupun keluarga Clara
memperlakukannya dengan baik, tetapi Heidi begitu merindukan gunungnya yang
indah.
Dengan kelembutan dan kebaikan hatinya, Heidi
mengubah hidup orang-orang yang dekat dengannya dan membuat segalanya menjadi
lebih baik.
==
Sudah lama saya selesai membaca buku ini
tetapi baru sempat atau lebih tepatnya ada keinginan untuk menulis review-nya. Akhir-akhir ini saya memang
sedang bersahabat dengan malas. Kalau sudah malas menulis, maka saya pun akan
malas membaca.
Di tengah buku yang semakin menumpuk saat
itu, buku Heidi-lah yang berhasil saya tamatkan.
Rasanya saya sungguh sangat beruntung bisa
menemukan novel klasik ini. Yah, meski agak menyesal juga karena terlambat baru
membacanya. Saat memosting buku ini di Facebook, kemudian ada salah satu editor
yang mengomentari postingan saya. “Pernah baca buku ini saat SD. Buku favorit
saya.”
Sedikit tertohok karena saya baru membaca dan
menemukan buku ini ketika usia saya sudah menginjak kepala dua.
==
Well, alasan
kenapa buku ini berhasil saya tamatkan di antara sekian buku atau novel yang
menarik, karena saya memang sedang menyukai novel klasik. Apalagi, ditambah
tokoh utamanya adalah anak kecil. Heidi mengingatkan saya pada Toto-chan. Toto-chan
adalah tokoh nyata di novel Toto-chan, kisah hidup si anak perempuan lucu yang
ditulis oleh penulisnya sendiri. Novel yang sangat berkesan dan sampai sekarang
saya pun masih ingat jalan ceritanya apalagi karakter Toto-chan. Pernah me-review-nya di Instagram dulu.
Oke, kembali lagi ke Heidi.
Seperti yang sudah dijelaskan di blurb, Heidi dulu tinggal bersama
bibinya—Bibi Dete. Karena suatu pekerjaan yang membuatnya tidak bisa mengurus
Heidi, Heidi lalu dititipkan ke kakeknya di gunung Alm. Kakek Alm dijelaskan
adalah seorang kakek yang menyeramkan, hidup menyendiri di pegunungan dan
memisahkan diri dengan manusia karena kejadian di masa lalu.
Saya sudah mulai tertarik ketika Heidi
diantarkan ke tempat tinggal sang kakek, saya juga penasaran bagaimana nanti
saat kakek bertemu dengan Heidi begitu juga dengan Heidi.
Ternyata, kakek tak semenyeramkan yang saya
duga, awalnya kakek merasa risih dengan kedatangan Heidi, tapi lama-lama karena
Heidi yang periang mampu membuat kakeknya berubah. Ya, bukan hidup kakeknya
saja yang berhasil Heidi ubah, tapi juga Peter—teman menggembala, nenek Peter,
dokter, juga Clara—si anak orang kaya namun sakit-sakitan.
Saya berhasil masuk ke cerita dan tinggal di gunung seperti Heidi. Mungkin karena efek saya tinggal di Jakarta—setiap
hari melihat bangunan menjulang, merasakan macet dan polusi. Mengingatkan saya
akan masa kecil yang indah, main di sawah, mencari jangkrik dan belalang,
setiap pelajaran kesenian kami juga berlari ke sawah membuat asbak dan karya
lainnya dari tanah liat. Syukurlah saya bisa menemukan bacaan menarik ini di
tengah setting yang selalu diangkat
perkotaan terus-menerus.
Saya ikut bahagia ketika Heidi bangun tidur
melihat pantulan sinar matahari menembus jendela kamar sederhananya. Mendengar
angin berbisik, juga setiap pulang menggembala, melihat matahari terbenam
menghadirkan pemandangan yang begitu takjub. Kasih sayang kakek pada Heidi pun
begitu besar, Heidi sangat bahagia tinggal di gunung bersama kakek.
Cerita mulai sedih ketika Heidi diambil oleh
Bibi Dete dan suruh tinggal di Frankfrut, menemani Clara—anak orang kaya namun
sangat kesepian. Ibu Clara—Nyonya Rottenmeier, yang sangat berbeda jauh
wataknya dengan Clara dan ayahnya tidak menyukai Heidi. Heidi selalu membuat
kekacauan di rumah. Tetapi, Clara menyukainya. Semenjak kehadiran Heidi, Clara
tidak lagi kesepian. Konflik batin di sini adalah ... Heidi sangat merindukan
kakeknya, gunung, pepohanan, nenek Peter, tetapi ia tidak bisa pulang karena tidak mau dibilang , “tidak tahu terima kasih”.
Berkat kehadiran Nyonya Sesemann—oma Clara,
Heidi yang awalnya tidak bisa membaca karena teringat kata-kata Peter, “kau
tidak akan bisa membaca. Membaca itu sulit!” kalimat itu selalu Heidi rekam di
kepalanya. Namun, kehadiran oma mampu mengubah jalan pikiran Heidi, termasuk
mengenalkan Tuhan.
Jujur saja, saya tersentuh dengan adegan itu.
Bagaimana jika Heidi jatuh ke tangan orang tua yang salah, mungkin Heidi pun
akan menjadi anak yang tidak baik pula.
Heidi mulai berdoa dan percaya pada Tuhan. Tetapi,
ia mulai gelisah ketika doanya tidak pernah dikabulkan. Ia pun mengadu lagi
pada nenek.
“Sekarang katakan, Nak. Kenapa kau tidak
bahagia? Apa hatimu masih sedih karena masalah yang sama?”
Heidi mengangguk.
“Dan apakah kau berdoa setiap hari supaya Dia
membereskannya agar kau akan bahagia lagi?”
“Tidak, aku sudah berhenti berdoa.”
“Jangan bilang begitu, Heidi! Kenapa kau
berhenti berdoa?”
“Tidak ada gunanya, Tuhan tidak mendengarkan,”
jawab Heidi cemas.
“Dan kenapa kau begitu yakin soal itu, Heidi?”
“Karena aku sudah berdoa meminta hal yang
sama beminggu-minggu, tapi Tuhan belum mengabulkan permintaanku.”
“Kau salah, Heidi, kau tidak boleh memikirkan
Tuhan seperti itu. Tuhan lebih tahu apa yang baik untuk kita daripada kita
sendiri. Kalau kita meminta sesuatu yang tidak baik bagi kita, Dia akan
memberikan hal yang lebih baik, kalau saja kita terus memohon dengan
sungguh-sungguh dan tidak menjauhi-Nya dan kehilangan kepercayaan pada-Nya.
Tuhan pikir apa yang kau minta tidak baik bagimu sekarang, tapi yakinlah bahwa
Dia mendengarmu, karena Tuhan bisa mendengar dan melihat semua orang pada saat
yang sama. Karena Dia itu Tuhan dan bukan manusia seperti kita. Dan karena Dia
pikir lebih baik bagimu untuk tidak mendapatkan semua yang kau mau, Dia berkata
pada Dirinya sendiri: Ya, Heidi akan mendapatkan apa yang dia inginkan, tapi
sampai waktunya tepat, supaya dia bisa begitu bahagia. Kalau Aku memberikan apa
yang dia mau sekarang, dan kemudian suatu hari dia melihat bahwa ternyata lebih
baik dia tidak mendapatkan apa yang dia inginkan, dia akan menangis dan
berkata, ‘Kalau saja Tuhan tidak memberikan apa yang kuminta! Ternyata ini tak
sebagus yang kuharapkan!’ ‘Selamatkan aku Tuhan, karena tidak ada lagi yang
bisa menolongku. Tuhan berkata, ‘Kenapa kau menjauh dari-Ku? Aku tidak bisa
menolongmu kalau kau menjauh’. Jadi, maukah kau pergi dan meminta ampun
pada-Nya? Kau boleh yakin bahwa Dia akan membereskan semuanya dan membuatmu
bahagia lagi.”
“Aku akan pergi sekarang dan minta Tuhan
untuk memaafkan aku, dan aku tidak akan melupakan-Nya lagi,” jawab Heidi penuh
penyesalan.
(Hal 167-169)
Doa Heidi pun dikabulkan Tuhan di waktu yang
tepat. Ia akhirnya bisa kembali ke gunung dan bertemu kakeknya di saat ia sudah
bisa membaca, membawa cukup uang, dan banyak roti untuk nenek Peter. Heidi jadi
bisa membacakan buku puji-pujian dan membeli roti untuk nenek, juga mengajari
Peter membaca.
Saya menangis ketika Heidi kembali bertemu
dengan kakek, “Kakek, aku sangat merindukanmu.” Sambil memeluk kakek.
Saya tersentuh dengan kebaikan Heidi. Pantas saja
novel ini terus digembari pembaca sejak diterbitkan lebih dari 100 tahun lalu. Heidi
memang banyak mengubah hidup orang. Kakek yang tadinya ingin menjauh dari
manusia akhirnya mau bersosialisasi lagi dan rajin mengunjungi rumah Tuhan. Nenek
Peter yang buta, ia terhibur dengan keriangan dan kebaikan hati Heidi sehingga
nenek selalu bahagia ketika Heidi membacakan buku puji-pujian untuknya. Peter yang
tadinya tidak bisa membaca ia akhirnya bisa membaca berkat Heidi. Dokter yang
sudah lama kesepian—yang menyelamatkan Heidi hingga ia bisa pulang, ia kembali
menemukan kebahagiaan ketika bertemu dengan Heidi, lalu terakhir Clara—si anak
orang kaya tapi kesepian, berkat Heidi ia menjadi anak yang periang, ia yang
tadinya lumpuh pun bisa berjalan lagi.
Novel yang sangat berkesan.
Saya sangat beruntung bisa menemukan buku
ini.
Terima kasih untuk Eyang Johanna Spyri yang
sudah menulis buku sebagus ini.
==
“Kita harus terus berdoa untuk semua hal,
semuanya, supaya Tuhan tahu kita tidak lupa bahwa semua datang dari-Nya. Kalau kita
melupakan Tuhan, Dia akan membiarkan kita berjalan sendirian dan kita akan kena
masalah.”
-Heidi-
0 komentar:
Posting Komentar