Pelangi
di Langit Mendung awalnya adalah sebuah naskah cerpen. Pernah
masuk 10 besar cerpen terbaik pilihan Loka Media.
Kenapa saya memilih Pelangi di Langit Mendung untuk
dikembangkan jadi novel?
Kenapa tidak juara satu atau dua saja yang saya tawari untuk terbit
gratis?
Alasannya, beberapa kali saya
membaca cerpen Pelangi di Langit Mendung, tidak pernah ada bosannya.
Saya suka Rositi menyajikan sebuah kisah dengan memasukkan nama-nama
tokoh yang unik. Mendung Srikandi, Langit Ramadhan, Raja, Ratu,
Pelangi, Awan—anak Mendung.
Sebenarnya, alasan yang paling
kuat kenapa saya menyuruh Rositi mengembangkannya jadi novel, saya
pikir ide Rositi keren sekali. Dia peka terhadap lingkungan sekitar,
teror bom di Sarinah yang terjadi 14 Januari 2016 kemarin, dia
jadikan suatu karya. Ya, dari semua cerpen yang masuk, hanya cerpen
Rositi yang beda. Beda dalam artian idenya keren dan beda dari semua
cerpen-cerpen yang masuk yang idenya sudah umum. Tapi saya tidak
selalu terfokus memilih cerita yang idenya segar dan keren. Tidak.
Saya justru malah memilih cerpen karya Widyastuti Putri sebagai juara
satu karena dia pintar memainkan alur. Saat membaca ending
ceritanya, saya sampai takjub, “Sialan, ini penulis berhasil
mengecoh saya. Ending-nya
membuat saya wow.”
Ya, saya selalu suka cerita yang
berakhir mengejutkan. Tidak bisa ditebak dan membuat pembaca
meninggalkan sebuah kesan yang tidak pernah terlupakan. Karena jarang
ada penulis yang bisa membuat si pembaca masuk ke dalam cerita
apalagi terkesan dengan karyanya.
Waktu saya bingung menentukan
juara dua dan tiga. Saya minta pendapat Kak Wulan. “Gadis porselen
saja, cerpen yang satunya gaya bahasanya bagus. Tapi beberapa hari
kemudian aku sudah lupa jalan ceritanya.”
**
Saat
itu Loka memang baru berdiri, saya juga was-was ketika menawarkan
terbit gratis pada Rositi. Dalam hati bilang, “Duh, Rositi mau
nggak, ya, kalau saya nggak bisa menjanjikan bukunya masuk toko buku
padahal dia sudah capek-capek mengembangkan cerpennya jadi novel.”
Beberapa hari kemudian, Rositi
membalas inbok saya. Saya tidak menyangka kalau dia begitu antusias
dengan tawaran saya dan mengucapkan banyak terima kasih pada Pimred
Loka.
2 Minggu dia menyelesaikan naskah
Pelangi di Langit Mendung, lebih dari 100 halaman. Berhubung saya
masih mengedit naskah lain saat itu, jadi saya serahkan ke Lisma
untuk di-edit dan
nanti tetap akan saya baca.
Lisma tiba-tiba mengeluh, dia
tidak cocok dengan gaya bahasa Rositi. Baiklah, sepertinya naskah
Rositi memang berjodohnya dengan saya untuk editing.
Sama halnya kemarin saat menyerahkan naskah Gusti Riant ke Kak Desi
untuk di-edit,
pada akhirnya naskah itu kembali pada saya lagi.
Naskah yang dikembalikan pada
saya itu bukan jelek. Bukan. Hanya perbedaan selera saja. Ada
beberapa orang yang memang cocok dengan gaya bahasa Raditya Dika
tanpa mengagungkan diksi, ada juga yang lebih suka gaya bahasa
mendayu-dayu dan nyastra.
Selama menyunting naskah Rositi,
saya sempat pusing dengan Ejaan Bahasa Indonesianya. Saya dulu juga
sempat kesal karena dia membuat bahasa seenaknya. Lalu baca statusnya
yang sampai asam lambung naik, duh ... saya jadi merasa bersalah.
Tapi itu juga saya lakukan demi kebaikan naskahnya. Saya tandai merah
untuk beberapa kata yang harus diganti, mengganti bagian yang kurang
sreg, juga mencoret bagian-bagian yang tidak perlu.
Setelah merevisi naskahnya,
Rositi mengirimkan naskahnya lagi ke saya. “Kak, aku takut.”
“Takut kenapa?”
“Takut bikin kecewa.” Sambil
kasih emoticon sad.
“Menulis memang butuh proses.
Saat selesai menulis naskah tidak langsung bagus. Perlu beberapa
polesan agar naskahmu menjadi semakin bagus.”
Kemudian saya membaca full
naskah Rositi yang
sudah dia edit
dan revisi. Saya terkagum-kagum dengan gaya bahasanya yang tidak
biasa, novel yang menurut saya agak seperti sinetron tapi dia
berhasil menyulapnya menjadi naskah yang sesuatu dan tidak
berlebihan.
Percaya tidak percaya, saya
sampai menangis ketika menamatkan novel ini. Ya, Rositi sudah
berhasil membuat saya masuk ke dalam cerita, membuat saya ikut
merasakan kepahitan Mendung. Dia sudah berhasil memberikan kesan
kepada saya sebagai pembaca.
Saat itu, dengan kondisi yang
masih berkabung. Saya ucapkan Alhamdulilah karena naskah Rositi sudah
SELESAI EDITING dan SIAP TERBIT.
Lisma yang merasa bersalah, dia
akhirnya membuatkan puisi untuk novel Pelangi di Langit Mendung. Jika
kamu sudah memiliki bukunya, kamu akan menemukan puisinya di bagian
terakhir.
Setelah naskah Rositi di-layout,
saya daftarkan ISBN. Rositi juga mengejar target agar novelnya bisa
segera terbit supaya bisa dipromosikan di Korea Selatan. Tetapi, ya
begitulah. Rencana manusia memang kadang tak sejalan dengan rencana
Tuhan. Novel Rositi ISBN-nya keluarnya setelah menunggu sebulan
kemudian.
Saya sampai mengucapkan maaf
beberapa kali karena merasa tidak enak.
Tetapi, saya selalu percaya,
novel Rositi pasti akan booming
meski terbit di penerbit indie. Ilustrasi yang dibuat Rizky Dewi
benar-benar keren dan hasil cetaknya juga memuaskan. Spesial untuk
novel Rositi karena sudah bersabar menunggu ISBN keluar sampai
sebulan lebih. Saya coba buat sesuatu yang unik, menyelipkan amplop
berwarna mendung dan di dalamnya ada surat dari Langit. Mengingat,
Langit sering memberikan surat rahasia kepada Mendung. Ide itu
akhirnya lahir.
Mendung bukanlah tanda
kepiluan yang dilumuri duka, alunan sakit atau malah dosa dari
kutukan. Karena pada kenyataannya, mendung merupakan bagian sekaligus
takdir dari Langit.
-Pelangi di Langit Mendung-
0 komentar:
Posting Komentar