Penulis | : Nuniek KR |
Penerbit | : Zettu |
Ukuran | : 13 x 19cm |
Cover | : Soft Cover |
Isbn | : 9786027999152 |
Oke.
Kembali lagi dengan saya Revalina S. Temat yang akan menamani kalian.
Kali ini saya akan mengupas novel Perahu Cinta karya Nuniek Kharisma
setajam SILETT! Haha. Sudahlah, serius, Dev. Oke, FOKUS!
Setelah
novel Perahu Kertas karya Dee Lestari yang dulu sempat booming,
ternyata ada novel yang berjudul Perahu lainnya seperti Perahu Cinta.
#Eaak.
Baiklah,
saya akan mulai me-review novel si Teteh geulis asal
Banjar ini. Kalau gak salah sih. :3
Novel
ini menceritakan tentang gadis bernama Mai yang hidup dengan seorang
neneknya tanpa orang tua. Dia adalah anak yatim piatu. Bersetting di
sebuah desa yang terpencil bernama Desa Cikahuripan, Ciamis. Di mana
kalau mau menyeberang masih harus pakai getek. Tahu kan gimana
ribetnya nyeberang pakai rakit kayak zaman dulu itu?
Mai
gadis berjilbab yang tekun beribadah, setiap sore Mai mengaji di
pesantren dan harus menyeberang menggunakan rakit. Dan si penggerek
rakit ini adalah seorang pria yang sebatang kara juga. Berkulit hitam
dan misterius. Membuat Mai penasaran termasuk saya juga. Jujur saja,
tokoh si penggerek rakit ini mengingatkan saya akan tokoh Ambo di
novelnya Tere Liye, Rindu.
Seperti
biasa, novel ini dihadirkan anak baru yang ganteng seperti
novel-novel remaja lainnya. Tetapi si penulis berhasil meraciknya
dengan bagus. Sekolah Mai kedatangan anak baru bernama Mirza yang
juga sekaligus tetangga Mai. Orangtua Mirza sama-sama dokter.
Keluarga mapan.
Novel Perahu Cinta mengingatkan saya akan kampung halaman, jadi ingat saat dulu
belajar ngaji kitab bareng santri-santri lain. Suasana di kampung pun
sangat saya rasakan. Ceu Nuniek mampu membuat saya masuk ke dalam
cerita yang ia suguhkan. Kerinduan akan kampung halaman pun sedikit
terobati.
Novel
ini tadinya saya kira adalah novel remaja yang menceritakan kisah cinta
anak-anak ABG seperti biasanya. Ternyata
novel ini masuk genre romance Islami.
Saya
membaca buku ini dalam sekali duduk saja. Kadang-kadang saya tertawa
ketika membaca novel ini, Ceu Nuniek bukan hanya pintar bercerita,
tetapi juga punya bakat melawak. Dan itulah yang harus dimiliki oleh
setiap penulis agar pembaca tidak merasa bosan saat membacanya.
Novel
ini juga bukan hanya sekadar berisi cinta-cintaan saja, tapi kaya
akan ilmu, termasuk akhlak dan ilmu agama. Mai digambarkan sebagai
gadis yang santun dan polos. Bahkan saya pun gemas sekali. Dia banyak melamun
ketika sosok Mirza dekat dengannya. Dari mulai menolong Mai yang
terkena pecahan beling, kemudian Mirza ikut belajar kitab di
pesantren bersama Mai, lalu dia pun ikut mengajar di sekolah RA
bersama Mai, dan Devi—teman Mai.
Ada
adegan ketika Mai mengantarkan obat untuk si penggerek rakit dengan
Mirza, Mai terkejut ternyata si penggerek rakit sedang mengajar
anak-anak dengan mengenakan baju koko. Dan sejak saat itulah Mai
mulai memerhatikan si penggerek rakit misterius yang ternyata namanya
adalah Hafidz.
Mai
dilanda kebingungan ketika ia dilamar oleh Mirza. Ia pun shalat
istikharah karena perasaannya selalu mengarah pada Hafidz. Lelaki yang
dewasa, selalu menjaga pandangannya apabila bertemu dengan Mai.
Apalagi ketika melihat perahu yang Hafidz buat, meninggalkan tanda
tanya besar di kepala Mai. Karena saat itu ketika melihat kaki Nai
diperban, Hafidz memberikan kantong plastik agar kaki Mai tidak
infeksi. Bentuk perhatian itu membuat Mai merasa kalau Hafidz juga
menyukainya. Namun sayang, ketika Mai memutuskan untuk memilih
Hafidz, tapi neneknya malah melarang Mai bertemu dengan Hafidz.
Dengan embel-embel Hafidz adalah anak sebatang kara yang tidak jelas
asal-usulnya. Intinya nenek Mai ingin yang terbaik untuk Mai.
Hmm.
Kira-kira gimana, ya, ending
dari novel ini?
Yang
penasaran, baca saja novelnya. :p
Tetapi
di balik kelebihan pasti tak lepas dari yang namanya kekurangan. Maaf, ya, Ceu. :D
Banyak
penempatan tanda baca yang diletakan seenaknya. Dan menurut saya
novel ini memang bagus dan recomended.
Tapi sayang sekali, si penulis terkesan seperti terburu-buru
menyelesaikan novel ini. Padahal novel ini akan sangat bagus jika
ditulis lebih tebal lagi. Banyak yang menarik untuk diceritakan. Contohnya
tentang kehidupan Resti yang masih sekolah tapi sudah dijodohkan.
Tentang Ustadz Furqon. Atau tentang kehidupan Devi misalnya. Haha.
*Yang ini abaikan :v Apalagi tentang Hafidz. Chemistry
antara Mai dan Hafidz itu kurang diperdalam lagi. Konflik batinnya
juga perlu ditambah biar bikin pembaca bisa sampai menitikkan air
mata. #Eaak.
Oh,
sungguh Ceu Nuniek, saya sangat menyayangkan sekali novel ini ditulis
sangat tipis. Saya pikir Ceu Nuniek cocok di genre
Romance Islami,
ditambah saya suka gaya bahasanya yang mengalir dan apa adanya, kalau
terus dilatih Insya Allah lama-kelamaan akan seperti karya
Habiburahman.
Semangat,
ya, Ceu!
Sekian
review
dari Revalina S. Temat. Haha.
Salam karya. ^_^